Bukan membatasi...”
“Dan
apabila kamu telah selesai dari satu urusan,
maka
kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain”
Oleh:
Ridhotun Rohmah
Hari ini hujan
turun dengan derasnya. Dari pagi buta hingga siang begini, agaknya rintiknya enggan
dihalau angin ke tempat lain yang mungkin saja lebih membutuhkan. Hari ini pula
hari terakhirku kuliah di semester tiga, di jurusan Geography Education. Satu hal
penting yang harus aku selesaikan hari ini adalah merampungkan Laporan Geografi
Tanah-ku. Lalu menumpuknya di atas tumpukan laporan teman-teman yang lain di
Laboratorium Geografi Fisik tepat jam empat sore. Jika melebihi itu aku harus
menerima konsekuensinya, poin berkurang.
“Kamu udah
sampe mana, Mah?” tanya sobat karibku yang juga sedang berkutat dengan
laptopnya, Dwi namanya.
“Tinggal bikin
daftar isi nih. Alhamdulillah, habis itu cuzz ke kampus deh, kumpul dan
selesai...”
Aku memang
sengaja menginap di kosan-nya. Berharap ada spirit lebih saat mengerjakan
bersama.
“Laporan
hidrologimu udah selesai?” tanyanya sembari membolak balik buku referensi
sumber.
“Eh..? Laporan
hidrologi juga dikumpul hari ini kah..?” aku terbengong. Wah sejujurnya aku
tidak ingat sama sekali kalo laporan hidrologi harus dikumpul hari ini juga.
“Iya,
Mah. Secara, hari ini kan hari terakhir kita kuliah semester ini. otomatis
semua pekerjaan kita harus selesai hari ini juga..” sambungnya.
“Waduh... oke
oke.. aku harus gercep nih, alias gerak cepat. Aku tinggal menyelipkan
tabel-tabel yang diperlukan dalam laporan hidrologiku. Tapi... lumayan banyak
sih tabelnya” jawabku sembari mengernyitkan dahi.
Serbuan hujan
dengan asiknya datang. Menyentuh atap dan pelataran, semakin menderas. Membuat melodi
syahdu yang nyaman didengar telinga. Semakin aku terlarut dengan pekerjaanku,
aku tenggelam menikmati suasana gemericik hujan. Merasakan perciknya satu dua
mendarat di ubin kos tempat aku dan karibku berjuang saat ini, mengejar
deadline.
Jam dinding
menampakkan jarum panjangnya mengarah ke angka dua. Itu artinya tinggal dua jam
lagi laporan ini harus sudah tertata rapi di meja Pak Arif di Laboratorium
Geografi Fisik.
“Duh...
kayaknya enak nih hujan-hujan kek gini buat rebahan sebentar, dengan sedikit
memejamkan mata. Itung-itung mengistirahatkan mata yang sudah aku dzolimi
semalaman bergadang bersamaku.. hehe” celetuk partner nglaprakku sambil
terkekeh. Sebenernya dia ngeledek aku, secara aku suka banget kalo tidur di saat
ujan-ujan kek gini.
“Oh tidak!
Plis.. my beloved friend.. aku harus menyelesaikannya sekarang juga. Tolong jangan
ganggu aku dengan memecahkan konsentrasiku dengan nyamannya bobo dikala hujan
yaa, Wiii....” dia malah tersenyum puas sekali. Sepertinya dia bahagia
melihatku sepanik ini.
Tik tok tik
tok... Jarum panjang terus berjalan menyusuri angka-angka yang ada. Sementara rintik
hujan masih saja riuh berlomba makin menderas. Jari jemariku terus menyentuh
keyboard sesuai titah sang empunya. Layar laptop memunculkan berbaris-baris
kalimat sesuai titah processornya. Sementara air dari langit itu masih
mengguyur dengan derasnya menuju bumi sesuai titah Tuhannya. Sesekali mereda
kemudian menderas kembali. Akhirnya aku menyelesaikannya juga. Kedua laporanku
sudah selesai dan siap untuk diprint tepat pukul tiga sore. Adzan berkumandang
sayup-sayup di antara suara derasnya hujan sore itu.
“Wi.. Wi..
bangun.. udah Asar nih.. Yok Sholat dulu baru ngeprint..” kubangunkan karibku
ini yang tanpa sadar dia sendiri yang ketiduran.
“Uaaaah... iya
to? Oke. Kita belum mandi yak? Uugh... bau banget. Dari pagi kan kita belum
mandi...” celetuknya.
“Enak aja. Yang
belum mandi kan kamu, bukan kita” timpalku dengan nada ngeledek dia.
“Oh iya.. benar
juga. Ya udah aku mandi lima menit. Maksimal jam tiga lebih lima belas menit
kita udah selesai sholat dan siap ngeprint yaa”
“Oke..”
jawabku.
Kuambil air
wudhu di tempat kucuran air depan kos. Untung kos kami khusus muslimah, jadi
tidak khawatir ada laki-laki yang melihat. Berrrrr.. dingin sekali air hujan
sore itu. Kami tunaikan sholat Asar berjamaah. Ya berdua, karena yang berada di
kos saat itu hanya kita berdua saja. Seusai sholat kami bersiap untuk meluncur
ke kampus tercinta. Namun hujan belum juga mereda.
“Kita tunggu
lima belas menit yaa.. kalo belum juga reda, kita terpaksa harus menerobos
hujan. Kamu cari payung, Mah. Atau mantol yang bisa melindungi kita dari hujan”
kata shohibku ini.
“Oke. Jangan lima
belas menit lah. Kelamaan. Kita mau ngeprint broo.. nanti kalo ngantri dan lama
kan bisa jadi kita numpuknya telat” jawabku.
“Yawes sepuluh
menit yaa.. eh jangan. Lima menit aja.”
“Oke” kami
bersepakat. Jika lima menit kemudian hujan tak kunjung reda, maka kami harus
bersapa ria dengan rintik hujan yang menderas.
Satu, dua, tiga
menit berlalu. Hujan agak sedikit mereda, kemudian menderas kembali. Tepat di
menit terakhir kita menunggu. Diputuskanlah kami untuk bersiap dengan alat
termpur dan alat pelindung kami, mantol dan payung. Kami siap menerjang hujan
yang masih sedikit deras.
“Oke. Satu,
dua, tigaaa gooooooooo....”
Akupun merasa
seperti aku di saat delapan tahun yang lalu. Saat aku masih SD dan hujan-hujannan.
Bermain air. Flashdisk tak lupa ku taruh ditempat yang aman.
“Lari wiii...
lompati kubangan air itu!” teriakku.
“Jangan lari
lah.. capek tau.”
Oke kita sudah
sampai di tempat print. Tepat pukul setengah empat. Sepi. Hanya kami berdua
yang menjadi pelanggan print saat itu. Proses ngeprint butuh waktu lama, karena
kami ngeprint berlembar-lembar. Belum ngejilidnya. Jadi was-was nih. Cukup gak
yaa waktunya.
Tik tok tik
tok. Jam terus berjalan sesuai titah baterai yang menancap. Lima menit berlalu.
Sepuluh menit. Dan akhirnya jam tiga lewat lima puluh menit semua aktivitas print
dan jilid kelar juga. Jarak tempat kami ngeprint dengan Laboratorium Geografi
Fisik bisa dibilang lumayan. Membutuhkan waktu lima menit menuju ke sana, jika
memakai sepeda. Sementara saat ini, kami posisinya jalan kaki, hujan pula. Sudah
dipastikan kami akan telat.
“Oke.. simpan
laprak kita dalam kresek masing-masing dengan baik. Dan kita siap untuk berlari
menerjang hujan. Menembus jam empat tepat untuk sampai di Lab. Siiiap???”
“Siiiiap
komandan.”
“Semangat
Lillah...” kami berseru menyemangati diri kami sendiri.
Sejatinya jika
kami mengerjakan tanpa semangat, tak akan sampai kami membela untuk mengumpulkan
tugas sore itu juga. Bisa saja kami kumpulkan keesokan harinya dengan menerima
konsekuensi pengurangan poin yang sudah ditetapkan. Namun inilah rasa
perjuangan yang ada. Bahwa hujan itu (hanya) membasahi, bukan membatasi. Apapun
yang terjadi kami lakukan dengan sepenuh hati, sampai titik darah penghabisan. Mungkin
pekerjaan kami tidak sesempurna mereka yang mengerjakan dengan tenang. Namun inilah
hasil terbaik kami, hasil terbaik kami semaksimal kami bisa. Harapan kami
semoga pekerjaan kami bisa membuat Pak Arif bahagia. J
“Bahagia itu ada di sini (di hati). Dikala diri
ini bisa membuat orang lain bahagia dengan kemampuan terbaik kita.”
“Yooo. Tinggal beberapa
meter lagi nih, Wi.... tinggal dua menit lagi waktunya” teriakku. Aku berlari
lebih dulu daripada dia.
“Tungguin
laaah. Capek nih aku. Basah pula. Dingin tau.” Jawabnya. Dia benar-benar
terlihat kelelahan. Kuhampiri dia. Kusambar setumpuk laporannya.
“Sinih. Tak bawain
aku yaaa. Aku akan berlari sekencang-kencangnya.... oke” aku berlari. Di detik-detik
terakhir. Ada Azka di sana, asistennya Pak Arif.
“Azka, tungguin.
Ini laporanku sama punya Dwi” kataku sambil terengah-engah.
“Owalah. Kamu hujan-hujanan?
Oke lah. Presensi dulu yaa.. pas banget jam empat tepat. Siiip” jawabnya
sekenanya.
“Terima kasih.”
Jawabku dengan senyum terlebarku.
Hujan sudah
mereda sekarang. Aku kembali ke Dwi yang masih mematung di tempat yang sama.
“Alhamdulillah.
Sudah terkumpul di waktu yang tepat. Jam empat tepat. Bersyukurlah kita.
Tinggal mempersiapkan responsi esok hari.” Kataku sambil memamerkan senyum
puasku mengumpulkan tepat waktu.
“Alhamdulillah...”
lirihnya.
Kami berjalan
beriringan. Menikmati rintik hujan yang bersisa. Menikmati karuniaNya yang
begitu syahdu. Mengantarkan kami pada sebuah pembelajaran bahwa tidak ada
kemuliaan tanpa kesungguhan. Hujan bukanlah berarti rintangan untuk tetap
berjuang hingga titik darah penghabisan. Belajar itu selain membutuhkan waktu
yang lama, juga membutuhkan perjuangan yang maksimal. Tidak akan ada perjuangan
yang begitu besar jika niat di dalam diri belum mengakar kuat. Akhirnya semua
berawal dari niat. Jika niat kita lurus, Lillah.. insyaAlloh semua kan
dimudahkan.
“Dan
apabila kamu telah selesai dari satu urusan,
maka
kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain”
Sekarang
saatnya untuk bersungguh-sungguh mempersiapkan responsi esok hari... ^^
Bersambung...
Ditulis bersama
senja, di Rumah Cahaya. Flash back 2 semester yang lalu..