Berbincang megenai pemuda, akan nada banyak hal yang terstigma dalam benak kita sebagai masyarakat. Pikiran tersebut akan bercabang pada dua hal, yakni pemuda sebagai seorang “agen perubahan” atau justru pemuda seringkali diidentikkan sebagai pemicu berbagai kerusuhan yang ada. Tentu kita lupa dengan peristiwa transformasi sosial yang terjadi 12 tahun lalu, tepatnya tahun 1998 silam. Masa dimana reformasi itu berdengung dan dikumadangkan di seantaro negeri. Potret yang terekam ialah, begitu jelasnya sebuah konsolidasi antar pemuda dengan mengatasnamakan masyarakat Indonesia dalam menjatuhkan rezim pemerintahan yang telah berkuasa 32 tahun lamanya. Betapa dengan begitu gamblangnya, pemuda menjadi simbol dari transformasi sosial yang sangat berpengaruh dalam menentukan arah kebijakan bangsa ini ke depan. Apakah nantinya perubahan sosial yang terjadi benar dalam koridor kesejahteraan rakyat, atau justru menjadi dilema tersendiri lantaran kebebasan reformasi yang menggurita tak berarah saat ini. Hingga detik ini, hal ini masih menjadi pembicaraan pro-kontra dalam setiap forum dan diskusi. Pemuda berada pada posisi ambigu yang kerap diidentikkan sebagai agen pembaharu dan tidak sedikit orang yang menjustifikasinya sebagai agen pemicu kerusuhan. Namun, perlu kiranya disadari bahwa peristiwa reformasi dapat menjadi catatan refleksi sekaligus kilas balik perjalananan pemuda di masa kini.
Namun, kiranya perjuangan atas nama perubahan sosial tersebut, sepatutnya belumlah berhenti, ada banyak pekerjaan rumah yang menjadi agenda utama bagi pemuda/i pada tataran substansi. Mengingat, saat ini secara tidak disadari, identitas pemuda telah menjadi wacana yang terkonstruksi secara parsial. Artinya, posisi pemuda mengalami pergeseran seiring dengan dengung perubahan sosial yang melanda bangsa. Sebagai contoh atas klaim ini misalnya, isu-isu sosial dan politik cenderung terabaikan dengan wacana yang diklaim sebagai budaya barat akibat westernisasi, atau demam culture asing yang secara tidak langsung menggeser kepribadian pemuda bangsa saat ini. Hedonisme, sikap apatis seolah menjadi suatu hal yang mengakar dalam kehidupan pemuda/i. Kecenderungan ini terjadi sebagai akibat dengan mudahnya pemikiran pemuda-pemudi kita dicecoki dengan hal-hal yang bersifat materi. Tidak lagi berpegang teguh pada Al Quran sebagai pedoman dan nilai moral yang mumpuni. Inilah yang disebut ghowzulfikri (perang pemikiran). Saat ini, tidak sulit rupanya menemui pemberitaan mengenai pemuda/i yang banyak mengarah pada dekandesi moral. Berbagai kasus di media saat ini menyorot berbagai kelakuan pemuda/i yang cenderung tak sesuai dengan nilai dan budi. Kasus pemerkosaan, kerusuhan, tawuran, kekerasan menjadi headline bacaan yang senantiasa menjadi headline utama. Pemuda kerap diidentikkan sebagai sosok yang radikal dan subversif. Berbagai kejadian yang dilakukan pun terlabel sebagai bentuk dekadensi moral yang semakin merajela dan tinggi. Bila menilik dari masa ke masa, sejarah mencatat bahwa perubahan sosial memang menjadi dasar adanya metamorphosis nilai dan budaya. Tentu kita ingat, pergerakan pemuda yang secara gamblang mempejuangkan perubahan dengan membingkai kerangka pikir sesuai keluhuran budi, masa pra kemerdekaan dan kemerdekaan bangsa ini bisa menjadi sebuah refleksi nyata, betapa peran dan fungsi pemudanya benar-benar dilakoni secara nyata dengan berdirinya budi utomo dalam satu visi. Ironi memang, tatkala sebuah perubahan yang semula diperjuangkan sebagai arena kebebasan namun saat ini cenderung dilunturi oleh kemerosotan moral yang semakin menjadi-jadi. Akibtanya, peran pemuda di satu sisi yang justru dapat dilibatkan dalam berbagai kebijakan dan kesejahteraan perlahan mulai dipinggirkan oleh lantaran stigma mayoritas yang dibangun oleh masyarakat. Potret ini menjadi sebuah gambaran bahwa ada satu hal yang kiranya perlu menjadi pemikiran kita bersama yakni mengembalikan fungsi dan peran pemuda sebagai substansi perbaikan moral bagi bangsa ini.
Mengembalikan fungsi dan peran pemuda memang bukanlah sesuatu yang dengan mudahnya dilakukan. Berbagai tahapan menjadi satu gambaran agar transformasi sosial tidak lagi dinilai sebagai utopis semata. Boleh jadi, tahapan tersebut kelak menjadi proses yang justru mendewasakan dan mengembalikan peran pemuda sesuai dengan peran dan fungsinya. Peran yang merupakan bagian dari perilaku yang diharapkan pada diri seseorang yang memiliki suatu status tertentu menjadi dasar bagi perubahan gerak yang hendaknya dilalui para pemuda yang notabennya memiliki status pemikiran yang idealis dimata masyarakat. Peran tersebut dapat dilakukan melalui pengembalian identitas dan pembentukan modal sosial yang mumpuni. Keduanya memiliki relevansi yang saling berkaitan. Baik identitas maupun modal sosial sendiri dibangun dari dua sisi, baik melalui pemuda itu sendiri maupun masyarakat sebagai lingkungan komunalnya dalam berinteraksi. Identitas sendiri secara sederhana diartikan sebagai kategori sosial yang kehadirannya selalu ditandai dengan adanya entitas”diri”self dan entitas “yang lain” . Identitas menjadi suatu tanda yang meliputi aspek kepercayaan, minat, komitmen moral hingga atribut fisik dari suatu bentuk pemikiran atau sikap terntentu yang harus diikuti dan ditaati . Artinya, bila selama ini identitas yang terbentuk pada pemuda sebagai individu yang terlabel sukanya hura-hura, pemicu konflik moral dalam perspektif adult sentries menjadi suatu wacana yang perlu dibenahi. Pemuda yang semula dianggap liyan “yang lain” perlu kembali ditempatkan sejajar dan memiliki kedudukan sebagai subyek dalam sebuah kajian dan permasalahan, tidak semata-mata sebagai objek yang dengan mudahnya terstigma yang dibenahi oleh dimensi kultur dan nilai. Artinya, pemuda memiliki hak untuk membenahi, bukan melulu dibenahi. Ia memiliki ruang untuk mengkonsep secara sistematis apa saja yang diperlukan sebagai bentuk perubahan kea rah kebaikan. Bukan melulu dinasihati dengan ancaman. Dalam konteksnya, pemuda dengan pikirannya biarlah berfikir secara struktural untuk memperbaiki diri dengan sikap dan pemikiran segaranya dengan tetap berjalan pada koridor nilai dan norma yang luhur. Bukan menjadi objek yang melulu dikenai sebuah sistem, karena secara psikologis, pemuda dengan kategori usia 18-24 tahun berada pada kondisi kebebasan menentukan ruang sendiri, mereka tidak suka dan mudah untuk diatur begini-begitu. Proses tersebut menjadi satu pembelajaran sekaligus pendewasaan dalam menyikapi mana yang benar dan mana yang salah.
Tatkala pembentukan identitas telah menjadi sebuah ruang publik melalui pencitraan moral yang baik, maka akan memicu munculnya modal sosial. Dalam hal ini, konteks modal sosial dibangun sebagai sarana dalam membentengi diri dari berbagai dekadensi. Seperti yang dijelaskan oleh Fukuyama (2000) bahwa modal sosial didefinisikan sebagai rangkaian nilai atau norma informal yang dimiliki bersama antara para anggotanya dalam suatu masyarakat, sehingga memungkinkan terjalinnya kerjasama. Artinya, modal sosial yang dalam konteks ini didasarkan pada komponen reciprocity, norms, trust dan network. Pada dasarnya komponen tersebut secara historis telah ada dan bukan merupakan fenomena baru di Indonesia khususnya. Modal sosial sejatinya telah mengakar dan terinternalisasi dalam kehidupan masyarakat sehari-hari . Sehingga, permasalahan dekandensi tidak serta merta hanya diartikan hanya masalah sepihak dari pemuda saja, melainkan menjadi masalah kolektif yang harus diselesaikan secara bersama-sama. Untuk itu, secara perlahan pula, kerjasama tersebut dapat di munculkan melalui identitas pemuda yang notabennya idealis dengan beragam ide dan pemikiran. Dengan demikian, akan mewujudkan suatu bentuk pemberdayaan dalam meminimalisir dekandensi moral yang sudah semakin meroket tinggi. Artinya, dalam menghadapi benturan dekadensi, modal sosial sebagai suatu dimensi yang dibangun berdasarkan nilai, kultur, persepsi, institusi serta mekanisme entitas pemuda dalam kegiatan positif sebagai sarana pemberdayaan terhadap pemuda dan masyarakat lainnya. Sebagai komponen dasar dalam modal sosial, rseiprosity, norma, kepercayaan dan jaringan menjadi scenario besar bagi perubahan karakter yang ada dalam diri. Melalui mekanisme ini, faktor eksternal yang dapat mengeksekusi perilaku pemuda yang sudah mengalami kemerosotan moral dapat coba diminimalisir. Artinya, peran pemuda disatu sisi ialah meunculkan dan konsisten terhadap kesadaran kolektifitas pemuda dan masyarakat lainnya sehingga mampu terjaga berdasarkan nilai kearifan lokal dan pedoman yang ada, yakni Al Qur’an yang secara teks dan kontekstual telah menjabarkan dengan jelas makna modal sosial yang akan menimbulkan hubungan timbal balik antar sesama manusia. Di ranah reprosity pula, peran pemuda dapat diwujudkan melalui kecenderungan untuk saling bertukar kebaikan antar individu dalam suatu kelompok. Artinya, islam sendiri secara relevan telah menjelaskan bahwa menyampaikan kebenaran menjadi sebuah kewajiban bagi pemuda/i muslim serta mementingkan kepentingan orang lain (kelompok) menjadi dasar bagi sebuah amal jama’i. Melalui hal ini, maka kebaikan antar sesame dapat ditularkan melalui tindakan persuasive yang mengarah pada kebaikan, istilanya “berdakwah melalui proses step by step”.
Meski kemudian, dalam konsep resiprosity ini diperlukan adanya rasa percaya diri (trust) dalam diri pemuda-pemudi tersebut dalam menyampaikan kebaikan dan keyakinan yang dianggap benar sesuai dengan nilai, norma dan Al Qur’an. Dengan demikian, trust (kepercayaan) ini berakar pada pandangan bahwa menjadi seorang pemuda memiliki rasa percaya diri untuk mencapai suatu keinginan yang didasari suatu tindakan yang berpola dan saling mendukung. Dengan demikian, tatkala hal itu terjadi, maka modal sosial lanjutannya ialah membangun jaringan. Jaringan dijelaskan sebagai kelompok agen yang terdiri dari individu yang berbagi norma dan nilai informal yang melampau nilai dan norma penting untuk transaksi di berbagai aspek dalam kehidupan ini. Artinya, peran pemuda yang dimunculkan melalui modal sosial memang tidak serta merta terbentuk secara individu semata melainkan secara kolektif dan bersama-sama. Modal sosial sebagai sarana dalam meminimalisir dekandensi, perlu kiranya disikapi layaknya bencana besar di negeri ini. Seperti isu bencana alam tsunami, banjir hingga meletusnya gunung merapi, dimana saat itu, masyarakat diberbagai kalangan bahu membahu dalam membantu, memperbaiki segala kondisi hingga akhirnya mampu mewujudkan sikap mau peduli dan solidaritas dalam merekonstruksi ulang agar semuanya pulih kembali. Yang perlu juga menjadi catatan ialah isu dekandensi merupakan isu crusial yang sangat berpengaruh bagi bangsa ini, ia layaknya sama seperti wacana kebencanaan lainnya, meski sifatnya imateri. Dekadensi moral perlu untuk dibenahi dan direkonstruksi ulang sehingga menjadikannya pulih kembali. Mengingat moral sangat berelevansi dengan peradaban dan kemajuan suatu bangsa. Kiranya, pemuda-pemudi sebagai generasi mampu berkiblat kembali pada nilai dan ketetapan yang telah ada, yakni Al Quran, hadist serta nilai yang bersumber dari keduanya dalam sistem masyarakat kita.
Kita tentu tidak lupa mengenai perjalanan sejarah kekhalifahan dimasa nabi hingga islam mampu menguasai peradaban secara masif. Nabi Muhammad beserta khulafaur Rasyidin sejatiya telah menerapkan modal sosial sudah sejak berabad-abad lamanya. Nabi selalu mengedepankan shiddiq (benar), tablig (menyampaikan pesan kebaikan),amanah (dapat dipercaya), fathonah (bijaksana) yang menjadi pondasi dalam membangun nilai modal sosial saat ini. Ditambah lagi, kedudukan para pemuda di zaman nabi senantiasa berakhlak mulia dengan dasar nilai Al Qur’an. Pemuda seperti Khalid Bin Walid, di usia mudanya mampu menyusun strategi perang hingga akhirnya berhasil menang, Ali Bin Abi Thalib yang memimpin secara mumpuni serta Aisyah ra yang berilmu pengetahuan luas. Mereka segelintir dari pemuda/i sahabat nabi lainnya yang dapat dijadikan patokan sebagai agent perubahan yang bermoral tinggi. Tentu kita tidak lupa, semua yang dilakukan oleh Rasullulah selalu berjama’i (bersama-sama) sehingga bangunan itulah yang justru semakin memperkokoh ukhuwah diantara pemuda. Untuk itulah, keberadaan pemuda memegang peranan penting dalam meminimalisir dan menyikapi dekadensi moral saat ini. Pemuda memiliki potensi besar sebagai agent perubahan. Modal sosial menjadi salah satu celah yang kiranya perlu diinternalisasi dalam menciptakan tatanan moral yang berdasarkan pada Al Qur’an dan nilai struktural dalam suatu masyarakat. Melalui berbagai komponen dan kerjasama yang sinergis dari berbagai lapisan masyarakat tidak mustahil kiranya dapat terwujud nyata. Sehingga kedepan, pemuda yang semula terstreotype negative tidak lagi bernegasi dan menjadi beban bagi negara saat ini. Melainkan kembali pada makna semula, bahwa pemuda merupakan agent perubahan melalui moral yang mulia dan karya nyata yang berguna bagi bangsa ini.
BIODATA PENELITI
Nama Lengkap: Dianita Prasetiwi
Tempat, Tanggal Lahir: Wonogiri, 11 Januari 1993
Jenis Kelamin: Perempuan
Alamat Rumah: Blok E22A KarangMalang Sleman-Yogyakarta
No.Hp: 085664947395 / 082135498020
E-mail: kasca_fokus@yahoo.com
Agama: Islam
Fakultas/Jurusan: FIP/Teknologi Pendidikan
Motto: Menjadi penting itu baik namun menjadi baik itu lebih penting
EmoticonEmoticon