Kamis, 24 Februari 2011

Bersama, Kita keluarga..!!!!

Tags

Belajar Sebuah makna kehidupan dari Kalimat “Bersama, Kita keluarga..!!!

Teruntuk keluargaku,

Semoga Allah menguatkan langkah kaki kitadan melapangkan dada kita

Sesungguhnya Allah swt telah berfirman dalam surat Ali-Imran ayat 103 yang artinya:

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingat...lah akan nikmat Allah keadaanmu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara.”,

dan pada surat Al-Hujurat ayat 10 yang artinya:

“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu adalah bersaudara.”,

pada surat At-Taubah ayat 71 yang artinya:

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain.”

Dan Rasul yang mulia, Muhammad saw. juga pernah bersabda:

“Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang saling bersaudara.”

Begitulah generasi Islam pertama -semoga keridhaan Allah atas mereka- dalam memahami makna persaudaraan dan kekeluargaan dalam Islam yang agung ini. Iman dalam dada telah menumbuhkan rasa cinta, kedekatan, dan persaudaraan yang paling luhur dan abadi di antara mereka. Mereka ibarat satu tubuh, satu hati, dan satu tangan. Dan inilah karunia Allah yang selalu diingat-ingatkan kepada mereka oleh-Nya pada surat Al-Anfal ayat 63 yang artinya:

“Dan yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang ada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka. Akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka.”

Dalam sirah yang nyata, kita dapat ambil hikmah Sang Muhajir yang telah pergi meninggalkan keluarga dan tanah tumpah darahnya (Mekkah) untuk menyelamatkan agamanya, akhirnya mendapati para pemuda Yatsrib menanti kedatangan mereka dengan penuh rindu dan kehangatan cinta. Mereka semua bergembira menyambutnya, walaupun mereka tidak mengenalnya sebelum itu, tak ada hubungan kekeluargaan yang mengikat mereka, dan tak ada ambisi atau kepentingan tertentu yang mereka harapkan.

Tapi begitulah, aqidah Islam membuat mereka (kaum Anshar) merindukan dan menyatu dengan kehidupan kaum Muhajirin. Orang-orang Anshar menganggap kaum Muhajirin sebagai belahan jiwanya yang tak terpisahkan, maka sesaat setelah tiba di masjid, orang-orang Aus dan Khazraj segera menghambur mengelilingi mereka. Masing-masing orang dari mereka mengajak kaum muhajirin untuk tinggal di rumahnya, dan untuk itu mereka bersedia mengorbankan harta, jiwa, serta kepentingan keluarganya, Situasinya semakin mengharukan ketika mereka berkeras dengan permintaan mereka, hingga akhirnya rumah kediaman kaum Muhajirin ditetapkan berdasarkan undian. Imam Bukhari meriwayatkan,

“Tak seorang pun Muhajir yang menetap di rumah seorang Anshar melainkan dengan undian.”

Begitulah, sehingga Allah berkenan mengabadikan keluhuran budi kaum Anshar itu dalam Al-Qur’an agar dikenang oleh manusia sepanjang zaman. Hingga kini keluhuran itu masih tampak bersinar terang di permukaan wajah zaman. Tentang kaum Anshar Allah berfirman,

“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan mereka (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al-Hasyr: 9)

Begitulah putera-putera Islam selanjutnya menapaki tangga keluhuran khususnya generasi pertama yang jiwa-jiwa mereka dipenuhi oleh rasa persaudaraan imani. Pada mereka tak ada perbedaan antara Muhajir dan Anshar, tak ada jarak antara orang Mekkah dengan orang Yaman. Bahkan dalam salah satu sabdanya, Rasulullah saw. pernah memuji kabilah Asy’ariyah dari Yaman.

“Sebaik-baik kaum adalah kaum Asy’ariyah, bila mereka kesusahan dalam perjalanan atau dalam keadaan menetap, maka mereka mengumpulkan semua yang mereka miliki, lalu mereka simpan di tempat perbekalan mereka, kemudian membaginya secara merata,”

Bila kalian membaca Al-Qur’an, Sunah Rasul yang agung, dan sejarah para leluhur dari putera-putera terbaik agama ini, niscaya akan kita temukan semua yang dapat menyejukkan mata dan menenteramkan telinga dan hati kita. Dan itulah arti keluarga bagi kita, keluarga yang bersatu atas dasar kekuatan aqidah dan kekuatan iman. Karena itulah saudaraku, mengapa kita bersatu dan bergerak bersama dalam langkah gerak meraih keridhoanNya. Karena kita keluarga…

Mengutip dari buku dalam dekapan ukhuwah..

Mendalami agungnya cerita para sahabat yang terlingkar dalam dekapan ukhuwah, membuatku banyak menerawang semua kisah yang mungkin sangat tak berbekas dibanding mereka..

Hanya saja, cerita-cerita sederhana itu, seperti menjadi kenangan-kenangan yang akan selalu membuat aku berkata ke dalam diri.. “bahwa dalam dekapan ukhuwah, kutemukan jalan cinta untuk Yang Maha Cinta..” Sejatinya, ia bukan hanya sekedar membuatku lapang dalam sempit, atau merasa sangat antusias meski lelah, lebih dari itu semua, dalam dekapan ukhuwah mengajarkan kepadaku untuk lebih memahami bahwa persaudaraan yang kokoh berdiri adalah jawaban dari setiap pertanyaan-pertanyaan dalam diri kita.. “Akankah kita mampu bertahan ?”…

Dalam dekapan ukhuwah islamiyah. Ku do’akan kita masih Istiqomah, kita tak mau kalah untuk berkeringat, kita tak mau resah untuk sebuah pekerjaan yang terasa berat..

Dalam dekapan ukhuwah islamiyah, kutitipkan semua kekuatan yang mungkin aku punya dan kau tak punya, agar ia terbang bersama, kemudian kita mampu saling bertukar semangat…

Dalam dekapan ukhuwah islamiyah. kukirimkan setumpuk harap yang sederhana, namun berharap ia mampu saling menguati, kalimat sederhana ini hanyalah catatan-catatan bagi cerita perjalanan kita yang tak banyak diketahui orang selain diri kita, Allah dan orang-orang yang ikhlas bersama-Nya..

Dalam dekapan ukhuwah islamiyah, kutanamkan ikhlas sebagai pedoman, kusemai iman sebagai kekuatan, dan kusuburkan keyakinan sebagai jawaban dari setiap persoalan.. Seperti hamparan kisah Hajar dengan keyakinannya pada Allah, seperti tumpukan rasa yakin Yunus as dalam do’a-do’a penuh penghambaannya.. Semuanya akhina, ikhlas, iman, dan keyakinan yang kokoh mengakar dalam diri kita yang akan membuat kita memahami kenapa Sayyid Qutb tersenyum tenang menjelang syahid, kenapa Yusuf Qardhawi dengan tenang melanjutkan syuro ketika masih dalam keadaan lapar, atau ketika para pendahulu dakwah ini berlelah-lelah untuk sekedar menyampaikan kalimat-kalimat tausyiah bagi para pejuang yang haus akan cinta-Nya..

Dalam dekapan ukhuwah islamiyah, kusadari, bahwa setiap perjuangan bukanlah hal yang mudah. Ia meleburkan semua kebahagiaan, menghapus semua sifat pengandaian kita, menghujam dan menusuk semua sifat kemalasan kita, hanya saja, disetiap akhir cerita yang panjang dan menguras tenaga ini, Allah selalu menggantinya dengan kebahagiaan yang merasuk, kenyamanan yang membumi, hingga getar-getar cinta yang agung dan merambat di dalam jiwa-jiwa kita agar selalu tunduk pada-Nya..

Dalam dekapan ukhuwah islamiyah, kupelajari satu yang tak pernah kudapat dari yang lain. Bahwa bekerja bukan hanya berarti melakukan apa-apa yang kita cintai. Namun bekerja, juga merupakan terjemahan dari berlelah-lelah bagi apa yang kita tidak sukai, bahkan sekalipun itu menyangkut dengan kenyamanan hidup kita. Maka karena kita telah berani untuk bersumpah dan bekerja bersama-Nya, jadilah hati dan jiwa kita takkan pernah habis di isi kekuatan oleh-Nya untuk bergerak, takkan pernah habis diisi dengan mata air segar yang selalu memancarkan kebaikan dalam episode-episode hari kita.. Dalam dekapan ukhuwah akhina.. Aku belajar semuanya…

Saudaraku,

Aku, kamu dan kita semua, pernah merasa tak layak untuk sekedar berjuang dalam dekapan ukhuwah.. Mungkin karena kurangnya ilmu, kurangnya amal dan kurangnya iman di dalam diri.. Namun, karena dalam dekapan ukhuwah telah menawarkan sejuta cinta yang menggetarkan untuk-Nya, maka karena-Nya, aku akan terus bertahan, terus meretas jalan perjuangan, dan terus berlelah-lelah untuk menggapai kemenangan.. Dalam dekapan ukhuwah berharap semuanya juga mampu kita rasakan dan kita amalkan..

Saudaraku,

Diakhir tulisan ini aku berharap, akhir dari dalam dekapan ukhuwah kita, bermuara pada telaga kautsar yang disampingnya telah ditunggu oleh Sang Lelaki Mulia, Nabi Muhammad SAW. (Witantri)

Up grading UKMF Al-Ishlah FISE UNY

Tags

Tiada yang Kami Inginkan, Selain Perbaikan

Sabtu pagi,(19/2) Diar bersama beberapa orang temannya berjalan menyusuri jalan-jalan sekitar kampus. Dengan menggendong ransel yang berisi botol minuman, beberapa bekal makanan dan berpakaian casual, mereka berjalan diselingi guyonan dan obrolan santai. Penampilan mereka lain dari hari biasanya yang selalu rapi. Pagi itu, mereka seperti anak-anak yang pergi piknik.

Tetapi pagi itu mereka tak hendak sekadar piknik dan berjalan-jalan. Tujuan mereka bukan tempat-tempat rekreasi penghilang penat. Tujuan mereka ialah masjid Al-Inayah, Samirono. Masjid bercat hijau ini terletak ditengah-tengah permukiman. Tempat yang cukup tak lazim untuk bersantai.

“Ada up grading pengurus,” ujar Diar, yang merupakan Ketua Al Ishlah, dengan penuh semangat. Ya, memang dimasjid itulah diadakan up grading pengurus UKMF Al Ishlah FISE UNY.

UKMF Al Ishlah memang bergerak dalam ranah kerohanian islam, maka tak heran apabila aktifitas up grading pun sering kali dilakukan di masjid-masjid. Muarif, mantan ketua Al Ishlah yang sekaligus penyelenggara up grading ini, menyampaikan bahwa pemilihan tempat mempunyai tujuan. “Masjid dipilih sebagai tempat up grading, dalam rangka mengenalkan dan memberikan orientasi kepada pengurus baru. Selain itu juga menumbuhkan kultur keislaman diantara pengurus Al ishlash,” ungkapnya.

“Dalam up grading kali ini, para pengurus juga diminta untuk mengenal lingkungan sekitar kampus, agar mereka memahami medan dakwah yang dihadapi,” tambah mahasiswa jurusan Pendidikan Ekonomi ini.


Makna dari hal sederhana

Pengurus Al-Ishlah tidak serta merta datang secara serempak, tetapi mereka datang secara berkelompok. Tiap kelompok terdiri dari 7 hingga 10 orang yang disusun lintas angkatan, jurusan dan departemen yang diamanahkan.

Setelah semua pengurus sampai di masjid, acara dilanjutkan dengan pemberian materi yang dilangsungkan di lantai dua. Disampaikan oleh Triyanto P. Nugroho, materi awal berisi tentang hal-hal sederhana yang sering kali dilupakan dalam keberlangsungan organisasi. Triyanto mengemas materi dalam bentuk game-game kecil dan perenungan. “Ini dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran, bukan sekadar memberikan pengetahuan,” ujar mahasiswa Pendidikan Geografi FISE UNY yang juga pernah menjabat sebagai Ketua BEM FISE UNY tahun 2009.

Rakhyan Risnu Sasongko, Kepala Departemen Jaringan UKMF Al-Ishlah, merasakan bahwa materi up grading ini berlangsung dengan seru dan luar biasa. Hal-hal sederhana mampu dikemas dengan indah dan bermakna. “Awalnya memang agak sedikit bosan, karena hanya jalan-jalan di sekitar kampus. Tetapi setelah tadi dijelaskan oleh pemateri tentang hal-hal sederhana yang seringkali dilupakan, semuanya jadi nampak dengan pelajaran-pelajaran berharga,” ujar mahasiswa jurusan PKnH FISE UNY ini.

“Misalnya saja dengan berjalan-jalan secara berkelompok dapat membangun kebersamaan. Membawa bekal pun dimaksudkan untuk saling berbagi. Bertindak pro aktif apabila ada teman yang kesulitan, dan saling memahami potensi dan sifat masing-masing,” tambahnya.

Senada dengan Rakhyan, Wira dan Risang yang juga merupakan pengurus harian UKMF Al-Ishlah menyampaikan pula bahwa acara up grading sangat menarik dan memberikan wacana baru.


Esensi up grading

Muarif menyampaikan bahwa up grading tidak untuk refreshing semata, tetapi mempunyai esensi untuk “meningkatkan”. Maka keimanan menjadi bangunan pertama yang hendak ditingkatkan. Imanlah yang memberikan spirit untuk senantiasa berdakwah dan berkarya.

Ukhuwah dan kerja sama menjadi tujuan berikutnya. Dengan jumlah pengurus yang mencapai ratusan, maka harus ada jalinan ukhuwah dan kerja sama yang lebih solid. Jalinan ukhuwah tidak boleh berhenti pada persoalan lembaga semata, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari.

Tak kalah pentingnya ialah perecanaan program yang akan dilakukan setahun mendatang. Perlu adanya inovasi dan pengembangan program-program agar dapat menyentuh seluruh aspek dakwah di sivitas akademika FISE UNY.

Ujung tombak dakwah kampus di FISE UNY berada di tangan UKMF Al-Ishlah, maka tak ada pilihan selain melakukan usaha yang lebih baik dari waktu ke waktu. Cocok dengan jargon yang seringkali dijadikan landasan oleh pengurus UKMF Al-Ishlah, bahwa “tiada yang kami inginkan, selain perbaikan.” [triyanto]

Rabu, 23 Februari 2011

URGENSI DAKWAH

Tags

Keberadaan atau eksistensi manusia di muka bumi ini mempunyai misi yang
jelas dan pasti. Misi yang merupakan tujuan asasi. Ada tiga misi yang
diberikan Allah untuk diemban manusia; yaitu misi utama untuk beribadah
(QS. 51:56), misi fungsional sebagai khalifah (QS. 2:30) dan misi
operasional untuk memakmurkan bumi (QS. 11:61).
Namun keberlangsungan dan kelestarian misi ini baru akan terjaga secara benar
apabila manusia mau mendengar dan mentaati risalah yang dibawa para
Rasul. Hanya saja sayangnya tidak semua manusia mau mengikuti dan
menerima seruan mereka, bahkan sebagian besar manusia justru
mendustakan dan mengingkari risalah ilahiah tersebut. Allah berfirman:
”Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat(untuk
menyerukan); ”Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thagut itu”, maka di
antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada
pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka
berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan
orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).” (QS. 16:36)
Maka, manusia yang mampu menerjemahkan tiga misi tersebut ke dalam
bahasa lisan, sikap dan tindakan adalah manusia yang beriman kepada Allah
SWT. Manusia yang senantiasa merespon seruan dan khitob rabbani dengan
mengucapkan kalimat; “sami’na wa atho’naa”. Inilah syi’ar kehidupan
manusia qurani dan rabbani. Hamba-hamba Allah yang akan dijanjikan
kepada mereka istikhlaf di muka bumi-Nya. Allah berfirman:
“Sesungguhnya jawaban orang-orang mu’min, bila mereka dipanggil kepada
Allah dan Rasul-Nya agar Rasul mengadili di antara mereka ialah ucapan
“Kami mendengar dan kami patuh”. Dan mereka itulah orang-orang yang
beruntung.” (QS. 24:51)
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu
dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan
menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia akan meneguhkan
bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benarbenar
akan merubah (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam
ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan
tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang
(tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang yang fasik.” (QS.24:55)
Berdasarkan ayat di atas bisa kita simpulkan bahwa umat Islamlah yang
diberi beban amanah ilahiah dan yang sanggup mengimplementasikan ke
dalam seluruh dimensi kehidupan. Maka umat Islamlah yang seharusnya
memimpin dunia, yang berkewajiban mengajarkan manusia tentang sistem
ilahiah dan membimbing mereka untuk melakukan islamisasi dalam
kehidupannya secara totalitas sehingga benar-benar bisa keluar dari
kegelapan jahiliah menuju cahaya Islam. Renungkanlah apa yang telah
dikatakan seorang jundi, Rib’i bin Amir kepada Rustum, panglima Persia
dalam perang Qodisiah, ketika ia bertanya:”Gerangan apa yang membuat
anda datang ke negeri kami?” , lalu ia menjawab dengan kalimat ini:
“ Allah telah mengutus kami untuk mengeluarkan manusia yang
dikehendaki-Nya dari penghambaan hamba menuju pengabdian kepada
Allah semata, dari sempitnya dunia menuju luasnya dunia dan akhirat dan
dari kezaliman agama-agama menuju keadilan Islam.”
Oleh karenanya, tugas ini bukanlah tugas yang ringan, sampingan ataupun
juz’iah (parsial) tanpa dibarengi dengan usaha-usaha maksimal, melainkan
urusan yang besar nan agung. Urusan yang berkaitan dengan pembentukan
syakshiah islamiah, kelestarian sistem-sistem ilahiah dan kebahagian
manusia di dunia dan akhirat. Sayyid Qutb mengatakan: “Barangsiapa
menganggap ringan kewajiban (dakwah ini), padahal ia merupakan
kewajiban yang dapat mematahkan tulang punggung dan membuat orang
gemetar, maka ia tidak bisa melaksanakan secara berkesinambungan
kecuali atas pertolongan Allah. Ia tidak bisa memikul dakwah kecuali atas
bantuan Allah SWT dan tidak akan bisa teguh di atasnya kecuali dengan
keikhlasan pada-Nya. Orang yang berada di jalan ini siangnya berpuasa,
malamnya qiyam (shalat) dan ucapannya penuh dengan dzikir. Sungguh
hidup dan matinya hanya untuk Allah rabbal Alamin, yang tiada sekutu bagi-
Nya.” (Sayyid Qutb, Tafsir Fii Zhilaalil Qur’an)
Dan untuk mensukseskan pelaksanaan amanat yang agung ini dibutuhkan
manusia-manusia yang memiliki iman yang kuat, keikhlasan, hamasah yang
membara dan tadhhiat serta amal yang mustamir (berkesinambungan).
Sehingga nilai-nilai kebenaran Islam yang termuat dalam gerbong dakwah
benar-benar terealisir dan bisa dirasakan oleh semua manusia. Al-Imam
asy-Syahid Hasan al-Banna dalam “risalah ilaa asy-syabab”
berkata:”Sungguh fikrah ini bisa sukses apabila ada iman yang kuat,
keikhlasan yang penuh di jalannya, hamasah yang membara dan adanya
persiapan yang melahirkan tadhhiat dan amal yang merealisasikannya. Dan
empat pilar ini (iman, ikhlas, hamasah dan amal) merupakan karakteristik
bagi para pemuda. Karena dasar keimanan adalah hati yang cerdas, dasar
keikhlasan adalah nurani yang suci, dasar hamasah adalah syu’ur yang kuat
dan dasar amal adalah ‘azm yang menggelora.”
Urgensi Berdakwah
Berdakwah yang bertujuan dan berorientasi kepada perbaikan individu
muslim, pembentukan keluarga muslim, pembinaan masyarakat Islam,
pembebasan tanah air dari hegemoni asing, perbaikan hukumah
(pemerintahan) agar menjadi hukumah islamiah yang senantiasa
memperhatikan kemaslahatan umat dan menjadi “ustadziatul ‘alaam” (soko
guru dunia) merupakan risalah para Nabi dan Rasul. Setiap Nabi
berkewajiban mendakwahkan wahyu dari Allah –azza wa jalla- yang
diterimanya kepada umatnya. Ia harus mentablighkan risalat ilahiah ini
dengan penuh amanah, kejujuran, kecerdasan dan kesabaran di tengah
masyarakatnya. Allah berfirman:
”Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk
menyerukan);”Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thagut itu”, maka di
antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada
pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka
berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan
orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).” (QS. 16:36)
“Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa
kabar gembira dan pemberi peringatan, dan untuk jadi penyeru kepada
agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi.” (QS.
33:45-46)
Berdakwah juga merupakan kewajiban syar’i yang harus dilakukan oleh
setiap umat Islam berdasarkan beberapa dalil berikut ini:
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar;
mereka adalah orang-orang yang beruntung.” (QS. 3:104)
Ayat ini secara jelas menunjukkan wajibnya berdakwah, karena ada “lam
amr” di kalimat “wal takun”. Begitu juga Rasulullah SAW bersabda:
“Sampaikanlah dariku meskipun satu ayat.” Hadits ini secara eksplisit
mengisyaratkan bahwa setiap muslim harus mentablighkan apa-apa yang
telah dibawa Rasulullah SAW kepada seluruh manusia, walaupun hanya satu
ayat ataupun satu hadits.
“Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak
melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang
haram ?. Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu.”
(QS. 5:63)
Ibnu Jarir at-Thabari meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra bahwa ia
berkata:”Tidak ada di dalam Al-Quran suatu ayat yang lebih keras
mengolok-olok daripada ayat ini.” (Tafsir Ibnu Jarir). Sedangkan Ibnu Abi
Hatim meriwayatkan dari Yahya bin Ya’mar, ia berkata: “Ali bin Abi Thalib
pernah berkhotbah, setelah memuji Allah dan menyanjung-Nya, ia berkata:
“Wahai manusia, sesungguhnya umat sebelum kamu itu hancur disebabkan
mereka berbuat maksiat sedangkan orang-orang alim dan para pendeta
mereka tidak melarangnya sampai akhirnya ditimpa siksa di saat mereka
terus menerus asyik dalam kemaksiatannya. Oleh karena itu, perintahkanlah
mereka untuk berbuat ma’ruf dan cegahlah mereka dari kemungkaran
sebelum turun adzab seperti yang turun kepada mereka. Ketahuilah
bahwasanya amar ma’ruf dan nahi munkar itu tidak akan memutuskan rizki
dan tidak pula mendekatkan ajal.” (Tafsir Ibnu Katisr, 2/74)
Berkaitan dengan masalah ini, Allah juga menggambarkan fenomena
masyarakat mukmin yang selalu melakukan ta’awun dan amar ma’ruf nahi
munkar di antara mereka. Allah berfirman:
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka
(adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh
(mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan
sembahyang, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul4
Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.”(QS. 9:71)
Selain merupakan kewajiban syar’i, dakwah juga merupakan kebutuhan
masyarakat. Karena dengan dakwah, masyarakat mampu memahami nilainilai
kebenaran Islam, mampu membedakan antara yang hak dan yang batil
serta akhirnya bisa mengaplikasikan ajaran Islam ini lewat sentuhan lembut
tangan para da’i yang bijak, para penunjuk jalan yang tegar dan para
mubaligh yang sabar. Dakwah merupakan muara segala kebaikan, benteng
penangkal siksa dan sarana yang menghantarkan do’a para hamba kepada
Rabbnya. Rasulullah SAW bersabda:
“Demi Dzat yang jiwaku ada ditangan-Nya, sungguh kamu harus melakukan
amar ma’ruf dan nahi munkar atau Allah akan menimpakan kepada kamu
adzab, kemudian kamu berdo’a maka do’a itu tidak akan dikabulkan.” (HR.
At-Tirmidzi, hadits hasan)
Jadi, jelaslah bahwasanya setiap muslim yang sadar dengan identitasnya,
harus berpartisipasi dalam mengemban amanah dakwah ini. Apalagi kita
sebagai pemuda atau orang tua yang berjiwa muda. Kita harus dinamis
membangun jaringan dakwah dan pro aktif dalam memperbaiki
masyarakatnya. Imam Syafi’i dalam antologi puisinya berkata:
“Siapa yang tidak mau ta’lim (dakwah/membina) pada masa mudanya,
maka takbirkan kepadanya empat kali takbir. Karena ia telah mati (sebelum
ia mati).”
Begitu juga Imam asy-Syahid Hasan al-Banna menginginkan manusiamanusia
yang kuat dari kalangan pemuda atau orang tua yang berjiwa muda
saja sebagai pengemban amanah dakwah yang berat ini. Maka dalam risalat
“dakwatunaa fii thaurin jadid” beliau berkata:
“Kami menginginkan jiwa-jiwa yang hidup, kuat dan tegar. Hati-hati yang
baru nan berkibar-kibar dan ruh-ruh yang memiliki thumuhat, visi jauh ke
depan yang merenungkan teladan dan tujuan-tujuan yang mulia.”
Oleh karena itu setiap ucapan, gerak dan tindakan seorang al akh yang telah
bergabung dalam dakwah ini harus benar-benar mencerminkan nilai-nilai
Islam dan mampu menjadi pesona Islam di tengah-tengah masyarakatnya.
Nakhtalithu (berbaur dan berinteraksi)
Setelah kita memahami dengan benar urgensi dakwah di atas, maka
seyogyanya tidak boleh lagi ada yang hanya berpangku tangan, menikmati
rehat yang berlebihan dan mengatakan kalimat ini: “Pergilah kamu sendiri
ke medan dakwah, aku di sini menunggu natijah akhirnya saja.”
Sebagaimana yang telah diabadikan Al-Quran dalam sebuah ayatnya
tentang ungkapan Bani Israil kepada Nabinya, Musa as. Allah berfirman:
“Mereka berkata:”Hai Musa, kami sekali-kali tidak akan memasukinya
selama-lamanya, selagi mereka ada di dalamnya, karena itu pergilah kamu
bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami
hanya duduk menanti di sini saja.” (QS. 5:24)
Ayat ini mengisyaratkan kepada kita bahwa Bani Israil takut turun ke medan
pertempuran menghadapi musuh-musuh Allah, takut akan kematian, takut
memikul beban berat dakwah dan membiarkan qiyadah berjuang sendirian
dalam liku-liku terjal medan dakwah dan perjuangan. Inilah sebuah
pengkhianatan jundiah terhadap qiyadah, sebuah kedustaan di antara
mereka untuk menolong syari’at Allah dan agama-Nya dan sebuah
pengingkaran terhadap nilai kebenaran dan jalan kebaikan yang dipilihnya.
Haihaata, haihaata (jauh dan juah) perbedaan antara Bani Israil dengan
sahabat-sahabat Rasulullah, di saat menghadapi Kuffar Quraisy dalam
perang Badar. Di mana Abu Bakar bersama sebagian besar sahabat
Muhajirin dan Anshor (Sa’ad bin Mu’adz dan al-Miqdad bin ‘Amr al-Kindy)
begitu semangat mendukung keinginan Rasulullah untuk maju dalam medan
pertempuran. Sebagian mereka mengatakan:”…Demi Dzat yang telah
mengutus engkau dengan haq, sekiranya kita berjumpa dengan lautan
kemudian engkau menyeberanginya niscaya kami akan bersamamu. Tidak
ada seorangpun yang boleh tertinggal. Kami juga tidak suka menunda
pertempuran sampai besok. Sungguh kami adalah orang-orang yang sabar
dalam pertempuran…”
Dan sebagian yang lain berkata: “Demi Allah…wahai Rasulullah, kami tidak
akan mengatakan sebagaimana yang pernah dikatakan Bani Israil kepada
Nabi Musa: ‘idzhab anta wa rabbuka faqootilaa innaa haa hunaa qoo’iduun”,
akan tetapi kami akan berperang bersamamu, kami tetap berada di
sampingmu, kanan, kiri, depan maupun belakang.” (Mukhtahor Tafsir Ibnu
Katsir, II/503)
Oleh karenanya, setelah kita mampu mengishlah diri kita dan
mempersiapkan bekal dakwah yang memadai baik secara jasadiah, ruhiah,
maupun aqliah, maka kita harus “nakhtalith” (bergaul dan berinteraksi)
dengan masyarakat untuk menyerukan nilai-nilai kebenaran Islam yang
termuat dalam gerbong dakwah kita. Kita harus proaktif melakukan interaksi
sosial di tengah-tengah masyarakat untuk menebarkan cahaya Islam.
Karena kita tidak boleh berhenti di saat kita sampai di terminal kesalehan
pribadi. Namun kita dituntut terus menerus mentransfer nilai-nilai kesalehan
yang ada di terminal ini ke terminal selanjutnya, yaitu terminal kesalehan
sosial. Ingat syi’ar dakwah kita adalah kalimat ini: “Ashlih nafsaka awwalan
wad’u ghairaka tsanian.” Artinya setiap kita setelah mampu melakukan
perbaikan diri harus menyeru dan mengajak orang lain untuk kembali
kepada nilai-nilai Islam. Agar mereka sama-sama merasakan lezatnya
beriman dan bertakwa dalam shaf dakwah. Di sini, al-Imam asy-Syahid
Hasan al-Banna mengatakan: “Maka awal kewajiban kita sebagai Ikhwan
menjelaskan kepada manusia tentang batasan-batasan agama Islam dengan
penjelasan yang sempurna dan jelas tanpa ada tambahan dan
pengurangan…” (Imam asy Syahid Hasan al-Banna, Majmu’ah ar Rasa-il, hal
451)
Dan inilah sosok pribadi muslim yang diharapkan oleh Islam. Manusia
muslim yang senantiasa berjalan dan berinteraksi di tengah-tengah
masyarakat dengan cahaya Islam. Perhatikan ayat di bawah ini:
“ Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia dia Kami hidupkan dan
Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia
dapat berjalan ditengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang
yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat
keluar dari padanya.” (QS. 6:122)
Ustadz al-Bahy al-Khuly dalam “Tadzkiraat ad-Du’aat” mengingatkan kepada
seorang akh yang telah bergabung dalam dakwah ini, tetapi masih memiliki
kegamangan dan keraguan untuk memikul beban berat mas’uliah dakwah.
“Kami berkata :” Kenapa kamu ini, tidaklah kamu ingin menjadi da’iah.
Sementara kami telah menjelaskan sebagian beban-beban dakwah ini. Maka
apabila kamu merasa mampu, lakukanlah sesuai dengan kemampuanmu.
Dan jikalau tidak, maka sesungguhnya Allah mengabaikan (tidak
memperhitungkan) orang-orang semacam kamu. Duduklah bersama barisan
orang-orang yang lemah. Dan bertakwalah kepada Allah dalam barisan yang
berbahaya ini.” (hal 208)
Dan untuk sampai kepada tujuan akhir yang kita inginkan, dakwah ini harus
didukung oleh “katsratul anshor” (banyaknya penolong) yang memiliki
kemampuan merekayasa masyarakat dan membentuk “ar-ra’yul ‘aam”
(opini umum). Hal ini mustahil bisa kita realisasikan tanpa ada usaha
maksimal dalam menjaring dan merekrut obyek dakwah yang ada di
masyarakat. Dan tausi’ah (perekrutan) ini, tidaklah berhasil kecuali kita
harus berbaur dan berinteraksi (ikhtilath) di tengah-tengah ummat. Jadi
berbaur dan berinteraksi dengan masyarakat dalam qaidah dakwah kita
merupakan suatu keniscayaan sekaligus kewajiban yang tidak mungkin
diabaikan oleh setiap kader dakwah. Mungkinkah kita melahirkan generasigenerasi
rabbani dengan berpangku tangan saja? Membangun umat dengan
berdiam di rumah tanpa melakukan gerakan dan aktivitas? Dan mungkinkah
menuju ustadziatul ‘alam dengan kemalasan, sikap statis dan keinginan
rehat yang berlebihan?
Oleh karenanya, dalam melahirkan dan menjaring generasi-generasi rabbani
dan generasi penolong-penolong agama harus ada gerakan dakwah yang
teroganisir serta dibarengi dengan kehendak yang kuat, kehendak yang
tidak pernah mengenal kejenuhan dan kelemahan. Harus ada “wafa’ tsabit”
yang tidak pernah mengenal kepura-puraan dan pengkhianatan. Harus ada
tadhhiat (pengorbanan) luhur yang tidak pernah mengharapakan imbalan
dan harus diiringi dengan pemahaman yang benar tentang “mabda” (dasar
atau prinsip) dakwah ini. Perhatikan ungkapan sang Da’i di bawah ini:
“Sesungguhnya tujuan akhir dan natijah yang sempurna tidak pernah
terealisir kecuali setelah (adanya tiga kekuatan ini): “ ‘umuumud di’aayat
(gencarnya dan tersebarnya pesan sponsor dakwah yang membentuk opini
umum),”katsratul anshor” (banyaknya pendukung yang mampu membentuk
jaringan-jaringan dakwah) dan “matanatut takwiin” (kekokohan pembinaan
yang mampu membangun wajihat-wajihat amal).
Sesungguhnya membangun bangsa, mentarbiyah masyarakat,
merealisasikan cita-cita dan memperjuangkan serta menancapkan tonggaktonggak
(dakwah) membutuhkan –dari umat atau kelompok yang berusaha
atau menyeru kepadanya- minimal kepada kekuatan jiwa yang agung
dengan ciri-ciri: (memiliki) iradah qowiah yang tidak pernah melemah, wafa
tsabit (kesetiaan yang teguh) yang tidak pernah disusupi kepura-puraan dan
pengkhianatan, pengorbanan yang tidak terbatasi oleh keserakahan dan
kekikiran, pemahaman, keyakinan dan penghormatan yang tinggi terhadap
prinsip atau dasar (dakwah) yang mampu menghindarkannya dari
kesalahan, penyimpangan, tawar-menawar dan tertipu oleh prinsip atau
ideologi lain.
Hanya di atas pilar-pilar utama ini –yang sepenuhnya menjadi kekhususan
jiwa- dan hanya di atas kekuatan ruhiyah yang dahsyat, prinsip-prinsip
dakwah ini dibangun, umat yang sedang bangkit terbina, bangsa yang
berjiwa muda terbentuk dan sungai kehidupan terus mengalir dalam jiwa
orang-orang yang sekian lama mengalami kekeringan….” (Risalat Ilaa Ayyi
Syai-in Nad’u an-Naasa)
Natamayyazu (tampil beda dan istimewa)
Dan saat ini berikhtilath (berbaur) dan berdakwah di tengah-tengah
masyarakat, kita akan berhadapan dengan beragam sikap, watak, budaya
dan nilai-nilai sosial yang jauh dari bingkai moral keagamaan. Bisa jadi kita
berada dalam sebuah lingkungan sosial yang rentan terhadap budaya
negative desdruktif dan yang mampu menumbangkan tonggak-tonggak
pemikiran serta prinsip yang selama ini kita yakini akan kebenarannya.
Sehingga terjadi “idzbatusysyakhsyiah islamiah” dalam diri kita. Kemudian
sedikit demi sedikit kita larut dalam kubangan budaya dan kebiasaan yang
tidak islami. Dan akhirnya kita lupa akan prinsip-prinsip kebenaran yang
selama ini kita bangun.
Maka meskipun berbaur dengan seluruh segmen masyarakat, kita harus
terus-menerus mempertahankan prinsip kebenaran Islam. Kita tetap
memiliki benteng “mumaayazah wa muwaashalah” (pembeda dan
pembatas) yang mampu menjembatani antara diri kita dan nilai-nilai
destruktif yang ada di masyarakat. Karena prinsip dakwah kita adalah
“nakhtalithu walakin natamayyazu” (berinteraksi tanpa terkontaminasi). Kita
tidak boleh mengikuti keinginan-keinginan obyek dakwah yang tidak
mencerminkan nilai-nilai Islam atau malahan bertentangan dengannya. Allah
berfirman;
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa
yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.
Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak
memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah
kepadamu.” (QS. 5:48)
“Andaikan kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit
dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah
8
mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling
dari kebanggaan itu.” (QS. 23:71)
Kader dakwah yang menjadi politikus atau yang duduk di tiga lembaga
tinggi negara harus mampu menjaga “mabadi islamiah” yang berkaitan
dengannya, mengutamakan pelayanan masyarakat, menjunjung tinggi
prinsip keadilan dan supremasi hukum serta menjaga citra identitas
keislamannya. Sehingga seorang kader senantiasa berhias dengan etika dan
moral islami ketika memainkan peran di lembaga tinggi ini. Dan tidak
sebaliknya, bersikap dan bertindak yang tidak mencerminkan sikap seorang
kader dan bahkan mencoreng citra serta nilai-nilai luhur Islam.
Sebagai ekonom, enterpreneur dan budayawan muslim, ia harus senantiasa
berpegang teguh dengan aturan-aturan yang telah digariskan oleh Islam.
Sehingga semua muslim yang terjun di berbagai dimensi kehidupan tetap
menjadi cahaya yang terus menerus menyinari lingkungan sekitarnya.
Mereka tidak pernah mendukung atau ikut-ikutan KKN, mereka tidak
terjangkit penyakit dekadensi moral (perselingkuhan, wil dan pil, perzinaan
dan mabuk/nyimeng) dan mereka juga tidak berfoya-foya serta
menghambur-hamburkan uang negara. Sebaliknya, mereka bisa menjadi
uswatun hasanah terhadap apa yang diserukannya, qudwah hasanah dalam
ucapan, perbuatan, sikap keseharian dan harus menjadi model-model
muslim yang mempesona.
Oleh karenanya, seorang kader sebelum terjun dalam medan dakwah harus
membekali dirinya dengan bekal ruhiah yang kokoh selain bekal ilmiah dan
manajerial. Hal ini dimaksudkan untuk membentengi antara diri seorang
kader dari virus-virus budaya dan moral yang tumbuh bak jamur dalam
masyarakat. Sehingga kekuatiran akan munculnya “idzbatu syakhsyiah
islamiah” tidak terjadi pada diri seorang kader.

Sumber: Tarbiyah Menjawab Tantangan, Rabbani Press, 2002

Minggu, 20 Februari 2011

Sepenggal kisah "UP Grading"

Tags

Ketika ku dengar dan lihat sejanak, seakan aku tak percaya.

Begitu menghegemoninyakah emansipasi wanita?

Atau memang tiada batasan yang jelas jika menyangkut dengan Pekerjaan?



Sepenggal kisah saat aku bersama keluarga cintaku selesai melaksanakan agenda UP Grading, salah seorang berkata kalau supirnya ibu-ibu. Hmmmmmmmmm... Memang saat awal aku tak percaya, hingga kemudian saat kami sedang asyik membicarakan beliau, bus yang sudah cukup tua namun saya yakin masih punya tenanga untuk bolak-balik majenang-jogja atau jogja majenang, seolah mengesankan bahwa ibu-ibu supir bus itu panjang umur.



Mungkin tak begitu menarik dengan ibu-ibu yang manyetir bus itu, karena memang sudah banyak kita dengar di kota-kota besar seperti jakarta, bandung, dan jogja tentunya serta kota besar lainnya banyak ditemui supir atau bahkan tukang becak perempuan. (Tapi dahsyat juga saat ibu itu mengendalikan stir busnya, seolah dia siap untuk membawa kita dengan kecepatan penuh siap menuju kampus tercinta).



Teringat sejenak dengan ibuku di rumah. Beliau yang saat aku izin pergi untuk kembali kejogja setelah rabu kemarin saya pulang kampung dan tentunya dengan sambutan luar bisa dari ibu, santap sup, tempe goreng, dan sambal pedas buatan ibuku tercinta. Apalagi saat menyantap ayam berkaldu, hmmmmmmm jadi mau pulang lagi nih....

Berbeda sekali dengan karakter ibuku yang tentunya sangat lembut, beliau bisa mengendarai sepeda motor saja baru saat aku menginjak usia 19 tahun (Tapi masih belum lancar juga sih, hehehe...), sedangkan ibu-ibu supir bus itu, hmmmmmmm sudah sangat mahir dengan stir busnya. Mungkin saja tak hanya ibuku, aku sendiri juga masih belum lancar jika disuruh nyetir mobil. (Pengen nih belajar nyetir, kali aja bisa punya mobil keren, amin...).



Jadi poinnya bukan sekedar bisa nyetir atau tidaknya, coba bayangkan jika calon istri kita nanti atau anak putri kita nanti jadi supir bus atau tukang narik becak, atau tukang ojek mungkin, apakah kita akan setegar saat memuji ibu-ibu supir bus itu?

Jika memang emansipasi wanita itu sudah sangat menghegemoni, apakah layak jika seorang perempuan menjadi supir bus?

Apa memang sudah tidak ada lapangan pekerjaan yang lebih layak untuk perempuan?



Memang jika difikir-fikir lebih baii menjadi supir bus daripada harus menjadi TKI/TKW di negeri orang. Belum tentu kita akan mendapat perlauan selayaknya manusia. Tentu masih segar dalam ingatan kita dengan para TKI Indonesia yang terdampar di bawah jembatan (saudi Arabia) atau masih juga terngiang dengan para TKI yang pulang hanya tinggal jasad dan beberapa potongan kayu yang tersusun rapi untuk membawa jasad itu bertuliskan nama X alamat Y.



Sepenggal kisah saat aku bersama keluarga cintaku selesai melaksanakan agenda UP Grading yang sungguh membuat aku semakin yakin bahwa Allah tidak akan merubah keadaan, kecuali dia berusaha untuk merubahnya.

Semoga sepenggal kisah ini bermanfaat, afwan jika banyak kata atau penulisan yang salah.

Semangat perbaikan, semangat inovasi, percaya diri, kita pasti bisa.

Rabu, 09 Februari 2011

Kenapa Harus Wanita Shalihah?

Tags
Oleh: Yusuf Al Bahi


Terkadang orang heran dan bertanya, kenapa harus mereka?
Yang bajunya panjang, tertutup rapat, dan malu-malu kalau berjalan..
Aku menjawab.. Karena mereka, lebih rela bangun pagi menyiapkan sarapan buat sang suami dibanding tidur bersama mimpi yang kebanyakan dilakukan oleh perempuan lain saat ini..
Ada juga yang bertanya, mengapa harus mereka?
Yang sama laki-laki-pun tak mau menyentuh, yang kalau berbicara ditundukkan pandangannya.. Bagaimana mereka bisa berbaur…
Aku menjawab.. Tahukah kalian.. bahwa hati mereka selalu terpaut kepada yang lemah, pada pengemis di jalanan, pada perempuan-perempuan renta yang tak lagi kuat menata hidup. Hidup mereka adalah sebuah totalitas untuk berkarya di hadapan-Nya.. Bersama dengan siapapun selama mendatangkan manfaat adalah kepribadian mereka.. Untuk itu, aku menjamin mereka kepadamu, bahwa kau takkan rugi memiliki mereka, kau takkan rugi dengan segala kesederhanaan, dan kau takkan rugi dengan semua kepolosan yang mereka miliki.. Hati yang bening dan jernih dari mereka telah membuat mereka menjadi seorang manusia sosial yang lebih utuh dari wanita di manapun..
Sering juga kudengar.. Mengapa harus mereka?
Yang tidak pernah mau punya cinta sebelum akad itu berlangsung, yang menghindar ketika sms-sms pengganggu dari para lelaki mulai berdatangan, yang selalu punya sejuta alasan untuk tidak berpacaran.. bagaimana mereka bisa romantis? bagaimana mereka punya pengalaman untuk menjaga cinta, apalagi jatuh cinta?
Aku menjawab..
Tahukah kamu.. bahwa cinta itu fitrah, karena ia fitrah maka kebeningannya harus selalu kita jaga. Fitrahnya cinta akan begitu mudah mengantarkan seseorang untuk memiliki kekuatan untuk berkorban, keberanian untuk melangkah, bahkan ketulusan untuk memberikan semua perhatian.
Namun, ada satu hal yang membedakan antara mereka dan wanita-wanita lainnya.. Mereka memiliki cinta yang suci untuk-Nya.. Mereka mencintaimu karena-Nya, berkorban untukmu karena-Nya, memberikan segenap kasihnya padamu juga karena-Nya… Itulah yang membedakan mereka..
Tak pernah sedetikpun mereka berpikir, bahwa mencintaimu karena fisikmu, mencintaimu karena kekayaanmu, mencintaimu karena keturunan keluargamu.. Cinta mereka murni.. bening.. suci.. hanya karena-Nya..
Kebeningan inilah yang membuat mereka berbeda… Mereka menjadi anggun, seperti permata-permata surga yang kemilaunya akan memberikan cahaya bagi dunia. Ketulusan dan kemurnian cinta mereka akan membuatmu menjadi lelaki paling bahagia..
Sering juga banyak yang bertanya.. mengapa harus mereka?
Yang lebih banyak menghabiskan waktunya dengan membaca Al-Qur’an dibanding ke salon, yang lebih sering menghabiskan harinya dari kajian ke kajian dibanding jalan-jalan ke mall, yang sebagian besar waktu tertunaikan untuk hajat orang banyak, untuk dakwah, untuk perubahan bagi lingkungannya, dibanding kumpul-kumpul bersama teman sebaya mereka sambil berdiskusi yang tak penting. Bagaimana mereka merawat diri mereka? bagaimana mereka bisa menjadi wanita modern?
Aku menjawab..
Tahukah kamu, bahwa dengan seringnya mereka membaca al Qur’an maka memudahkan hati mereka untuk jauh dari dunia.. Jiwa yang tak pernah terpaut dengan dunia akan menghabiskan harinya untuk memperdalam cintanya pada Allah.. Mereka akan menjadi orang-orang yang lapang jiwanya, meski materi tak mencukupi mereka, mereka menjadi orang yang paling rela menerima pemberian suami, apapun bentuknya, karena dunia bukanlah tujuannya. Mereka akan dengan mudah menyisihkan sebagian rezekinya untuk kepentingan orang banyak dibanding menghabiskannya untuk diri sendiri. Kesucian ini, hanya akan dimiliki oleh mereka yang terbiasa dengan al Qur’an, terbiasa dengan majelis-majelis ilmu, terbiasa dengan rumah-Nya.
Jangan khawatir soal bagaimana mereka merawat dan menjaga diri… Mereka tahu bagaimana memperlakukan suami dan bagaimana bergaul di dalam sebuah keluarga kecil mereka. Mereka sadar dan memahami bahwa kecantikan fisik penghangat kebahagiaan, kebersihan jiwa dan nurani mereka selalu bersama dengan keinginan yang kuat untuk merawat diri mereka. Lalu apakah yang kau khawatirkan jika mereka telah memiliki semua kecantikan itu?
Dan jangan takut mereka akan ketinggalan zaman. Tahukah kamu bahwa kesehariannya selalu bersama dengan ilmu pengetahuan.. Mereka tangguh menjadi seorang pembelajar, mereka tidak gampang menyerah jika harus terbentur dengan kondisi akademik. Mereka adalah orang-orang yang tahu dengan sikap profesional dan bagaimana menjadi orang-orang yang siap untuk sebuah perubahan. Perubahan bagi mereka adalah sebuah keniscayaan, untuk itu mereka telah siap dan akan selalu siap bertransformasi menjadi wanita-wanita hebat yang akan memberikan senyum bagi dunia.
Dan sering sekali, orang tak puas.. dan terus bertanya.. mengapa harus mereka?
Pada akhirnya, akupun menjawab…
Keagungan, kebeningan, kesucian, dan semua keindahan tentang mereka, takkan mampu kau pahami sebelum kamu menjadi lelaki yang shalih seperti mereka..
Yang pandangannya terjaga.. yang lisannya bijaksana.. yang siap berkeringat untuk mencari nafkah, yang kuat berdiri menjadi seorang imam bagi sang permata mulia, yang tak kenal lelah untuk bersama-sama mengenal-Nya, yang siap membimbing mereka, mengarahkan mereka, hingga meluruskan khilaf mereka…
Kalian yang benar-benar hebat secara fisik, jiwa, dan iman-lah yang akan memiliki mereka. Mereka adalah bidadari-bidadari surga yang turun ke dunia, maka Allah takkan begitu mudah untuk memberikan kepadamu yang tak berarti di mata-Nya… Allah menjaga mereka untuk sosok-sosok hebat yang akan merubah dunia. Menyuruh mereka menunggu dan lebih bersabar agar bisa bersama dengan para syuhada sang penghuni surga… Menahan mereka untuk dipasangkan dengan mereka yang tidurnya adalah dakwah, yang waktunya adalah dakwah, yang kesehariannya tercurahkan untuk dakwah.. sebab mereka adalah wanita-wanita yang menisbahkan hidupnya untuk jalan perjuangan.
Allah mempersiapkan mereka untuk menemani sang pejuang yang sesungguhnya, yang bukan hanya indah lisannya.. namun juga menggetarkan lakunya.. Allah mempersiapkan mereka untuk sang pejuang yang malamnya tak pernah lalai untuk dekat dengan-Nya.. yang siangnya dihabiskan dengan berjuang untuk memperpanjang nafas Islam di bumi-Nya.. Allah mempersiapkan mereka untuk sang pejuang yang cintanya pada Allah melebihi kecintaan mereka kepada dunia.. yang akan rela berkorban, dan meninggalkan dunia selagi Allah tujuannya.. Yang cintanya takkan pernah habis meski semua isi bumi tak lagi berdamai kepadanya.. Allah telah mempersiapkan mereka untuk lelaki-lelaki shalih penghulu surga…
Seberat itukah?
Ya… Takkan mudah.. sebab surga itu tidak bisa diraih dengan hanya bermalas-malasan tanpa ada perjuangan…
Taipei, 02 Juni 2010

Sabtu, 05 Februari 2011

Mewariskan Kata

Tags

Oleh Triyanto Puspito Nugroho
Ketika Longstride dipenggal oleh pasukan Inggris di depan mata Robin, Ia tidak mewariskan pedang atau pun harta untuk putranya. Tetapi Ia hanya mewariskan sebuah kalimat, yang terukir di bawah batu monument yang Ia bangun untuk menentang kediktatoran dan terkubur selama puluhan tahun. “Rise and rise again, until lambs become lions”, begitu bunyi kalimat itu.



Selang puluhan tahun kemudian, Robin yang telah manyamar sebagai Robert Loxley, menemukan kembali batu monument itu. Dan persis dengan ayahnya untuk menentang diktator, Robin pun menentang otoriter Raja Inggris dan mempersatukan Inggris untuk mempertahankan wilayah dari serbuan pasukan Prancis.



Itulah yang digambarkan dalam film Hollywood yang berkisah tentang legenda pahlawan Inggris, Robin Hood.

Manusia ialah mahkluk lemah yang selalu terbawa arus waktu. Tak ada yang abadi dari seorang manusia. Ia berjuang dengan keras selama hidupnya, mengumpulkan emas yang bertumpuk-tumpuk, mempunyai nama besar dan akhirnya berakhir pada lubang dua kali tiga mater.



Manusia satu mati, kemudian diganti oleh kehadiran manusia baru lainnya.



Tetapi sejarah manusia bukanlah sejarah secara individu semata. Sejarah manusia ialah sejarah generasi. Memang dalam satu generasi akan muncul orang-orang yang menonjol, yang bertindak sebagai pahlawan. Seperti Robin Longstride, prajurit pemanah biasa yang tiba-tiba menjadi tokoh pemersatu Inggris melawan Prancis (walaupun pada akhirnya dengan “kebijakan” Raja, Ia menjadi buronan seantero Inggris). Tetapi Robin hanyalah tokoh dari generasi Inggris yang mempunyai kesadaran “demokratis” untuk menentang kediktatoran seorang raja.



Karena adanya regenerasi itulah manusia kemudian akan mempunyai kecenderungan untuk mewariskan sesuatu kepada generasi berikutnya. Dengan begitulah maka sejarah akan terbentuk.



Apakah yang pantas untuk diwariskan kepada generasi berikutnya ? Banyak sekali orang yang mewariskan hartanya untuk putra-putranya, tetapi harta itu malah akan habis ditangan putranya itu sendiri. Banyak kejadian orang mewariskan kekuasaan, tetapi dengan itu tidak sedikit pula yang menimbulkan perpecahan dan perang saudara.



Serupa pohon

Daun-daun adalah kita

Putik-putiknya adalah kata

Daun berganti daun

Putik berganti buah



Sajak dari Indrian Koto ini mengingatkan kita akan satu hal. Bahwa materi pada generasi saat ini hanya akan berganti materi pada generasi berikutnya. Materi yang berujung kefanaan. Tetapi kata, pesan, atau bahkan nasehat, akan bertumbuh dan berkembang. Laksana putik yang akan berganti dengan buah.



Mungkin harta ataupun kekuasaan yang kita wariskan, tak ada gunanya untuk menjawab tantangan generasi berikutnya. Atau malah bisa jadi kita tak mewariskan keberhasilan dan membuat keadaan pada generasi selanjutnya malah tambah kacau dan amburadul.



Tapi, sama dengan Longstride Sr. yang mewariskan semangat untuk tak kenal menyerah kepada Robin. “Rise and rise again, until lambs become lions”, yang dengan “kata” itu Robin mampu menjadi penyelamat di kala Inggris berada di titik gentingnya.



Ya, kita hanya mampu mewariskan “kata”. Maka berkatalah untuk generai berikutnya. Karena bisa jadi “kata” adalah awal dari segala sesuatu. Awal dari yang buruk menjadi lebih baik. Awal dari sejarah satu generasi. Seperti yang disampaikan Subagyo Sastrowardoyo bahwa “awal mula adalah kata, jagad tersusun dari kata, dibalik itu hanyalah ruang kosong dan angin pagi”.

Jumat, 04 Februari 2011

Bantul km 9,5

Tags
Sabtu kemarin baru saja kami travelling bareng PH, atau kami namai agenda "Bantul km 9,5".

Alhamdulillah hari itu adalah travelling kedua kami, setelah sebelumnya kami sempat silaturahim ke rumah saudari kami, ukhti aulia.

Jarang memang kami bisa meluangkan waktu bersama, bahkan dua kali travelling kami belum bisa dihadiri oleh semua PH. ada yang sedang mudik, sakit, dan ada pula yang sedang ada agenda.

Tapi bagaimanapun kondisi saat itu, travelling PH tetap berjalan dengan penuh tawa.



Tujuan pertama kami adalah kediaman ukhti pipin.

Disana kami disambut dengan hidangan kue bolu, bakwan jagung, kacang, dan tentu tak lupa dengan hadirnya teh manis hangat. (Alhamdulillah, tanda-tanda kehidupan)

Subhanalla, rugi deh buat PH yang gax bisa ikut...



Tapi buka itu poin utamanya, ada hal yang lebih penting dari sekedar makanan yang sekali lahap langsung habis. (Apalagi yang ikhwan sedang menderita kelaparan)

Travelling ini sedikit menunjukkan kesoliddan kami, khususnya diawal-awal kepengurusan 2011. Jika kata ukhti suryati, kepengurusan 2011 terlalu solid, hehehe.. (Afwan ukh, sedikit mengutip kata-kata anti). Tapi memang benar, mulai dari yang ikhwan sampai yang akhwat, kami rasa sangat akrab dan solid. Jadi ini meripakan modal yang cukup untuk mengarungi kepengurusan satu tahun kedepan.



Dalam travelling kami ini, atau wisata kuliner kami (Kata akh, ahda) akmi juga sempat membahas terkait evaluasi ketika di kepengurusan 2010, membahas tentang jargon kami, dan yang paling utama terkait visi dan misi Kepengurusan 2011.

Alhamdulillah, sedikit namun berisi, dalam bahasan kami ini terdapat beberapa poin tentang inklusif-eksklusif. Tentunya ini juga tidak terlepas dari sikap dan tingkah laku para pengurus saat berada atau di luar lingkungan kampus yang terkesan berbeda.

Jika direnungi, memang telah terjadi demikian, oleh karenannya kita juga mulai mencoba mengusung jargon "BERSAMA, KITA KELUARGA" meski belum disepakati, tapi diharapkan konsep keluarga disini mampu mengkontruski pemikiran kami, untuk tidak terkesan eksklusif.

Jamais, atau Jama'ah Al-ishlah adalah suatu lembaga yang sesungguhnya tidak eksklusif, namun hanya oknum atau orang-orang di dalamnya yang terkesan demikian. Koreksi diri inilah yang diharapkan akan membawa perubahan bagi kepengurusan 2011.



Dzuhur pun datang, saatnya kami shalat.

pasca halat dzuhur kami sempat sedikit melanjutkan pembicaraan kami ini dan tak selang lama, ayam goreng beserta teman-temannya datang menghampiri kami yang sedang fokus berbicara tentang visi misi kami.

Alhamdulillah, akh wira dan akh rakhyan gax jadi kelaparan. ^_^



Oya ada cerita sedikit tentang kah panca dan akh risang.

Saat kami berangkat menuju kediaman ukh pipin, mereka tertinggal karena sedang membeli bensin.

Kami fikir, beliau akan segera sampai ditempat tapi ternyata mereka malah tersesat sampai hampir ke pantai parangtritis. (kasihan banget sih.... hehehe)

Hmmmmmmmm, eh malah semapat-sempatnya saat mereka tersesat mampir ke butik buat beli baju batik. (Duuuuhh akh risang, gax tahu po banyak makanan di rumah ukh pipin?)



Kembali kecerita. Setelah kami telah menyelesaikan santap siang, kami pun melanjutkan travelling kami ke kediaman pembina Jamais, Pak Mustofa , S.Pd,. Alhamdulillah, tak sampai satu jam kami sampai di kediaman beliau.

Tak berbeda dengan saat dirumah ikh pipin, kami juga disambut baik oleh pak mustofa sekeluarga, apalagi dengan hadirnya anak-anak pak mustifa yang lucu-lucu lagi riang. (Gax kaya akh wira yang sudah muda)



Disana, kami juga membahas terkait evaluasi kepengurusan sebelumnya. Ada hal menarik dalam pembahasan kami, dimana saat ini dibutuhkan seorang kader yang ga cuma pinter ceramah tentang Islam saja, tapi saat ini dibutuhkan seorang aktivis dakwah yang berprestasi, atau bahkan bisa menjadi asisten dosen, dan hisa membantu dosen dalam penelitiannya. Sehingga, aktivis dakwah gax cuma datang ke ruang dosen untuk sekedar minta tanda tangan dan meminta sumbangan untuk agenda lembaga dakwah. Tpai, aktivis dakwah juga harus mampu berprestasi dalam hal akademik. Inilah pesan yang disampaikan oleh pak mustofa pada kami.

Semoga pesan ini pula yang akan membawa perubahan besar dalam lembaga dakwah kami, dan khususnya kepada para pengursunya, agar gax cuma sibuk buat acara-acara seminar, atau tarining-training tapi hasilnya tidak menunjang hal akademik.

Akademik dan organisasi khususnya organisasi seperti Jamais ini, harus bisa berjalan beriringan, sehingga tidak terjadi berat sebelah yang akhirnya menjadikan negatif bagi lembaga dakwah tersebut. Seorang aktivis juga harus mampu berprestasi dalam bidang akademik, karena ini hal yan sangat mungkin. Jangan sampai gara-gara dakwah, kuliah kita terabaikan.

Kita sudah berada dalam jalur yang benar, jalan yang insyaAllah diridhai oleh Allah, oleh karennya kita juga harus mampumemanfaatkan ini untuk mampu berprestasi dalam hal akademik.



Semoga coretan ini bisa memberikan inspirasi pada kita sekalian.

(Rakhyan)

Khalifah Ali bin Abi Thalib

Tags

Sahabat yang lahir dalam keprihatinan dan meninggal dalam Kesunyian.

Dialah, khalifah Ali bin Abi Thalib ra.



Ali kecil adalah anak yang malang. Namun, kehadiran Muhammad SAW telah memberi seberkas pelangi baginya. Ali, tidak pernah bisa bercurah hati kepada ayahnya, Abi Thalib, selega ia bercurah hati kepada Rasulullah. Sebab, hingga akhir hayatnya pun, Abi Thalib tetap tak mampu mengucap kata syahadat tanda penyerahan hatinya kepada Allah. Ayahnya tak pernah bisa merasa betapa nikmatnya saat bersujud menyerahkan diri,kepada Allah Rabb semesta sekalian alam.



Kematian ayahnya tanpa membawa sejumput iman begitu memukul Ali. Kelak dari sinilah, ia kemudian bertekad kuat untuk tak mengulang kejadian ini buat kedua kali. Ia ingin, saat dirinya harus mati nanti, anak-anaknya tak lagi menangisi ayahnya seperti tangis dirinya untuk ayahnya, Abi Thalib. Tak cuma dirinya, disebelahnya, Rasulullah pun turut menangisi kenyataan tragis ini...saat paman yang selama ini melindunginya, tak mampu ia lindungi nanti...di hari akhir,karena ketiaadaan iman di dalam dadanya.



Betul-betul pahit, padahal Ali tahu bahwa ayahnya sangatlah mencintai dirinya dan Rasulullah. Saat ayahnya, buat pertama kali memergoki dirinya sholat berjamaah bersama Rasulullah, ia telah menyatakan dukungannya. Abi Thalib berkata, ""Janganlah kau berpisah darinya (Rasulullah), karena ia tidak mengajakmu kecuali kepada kebaikan".



Sejak masih berumur 6 tahun, Ali telah bersama dan menjadi pengikut setia Rasulullah. Sejarah kelak mencatat bahwa Ali terbukti berkomitmen pada kesetiaannya. Ia telah hadir bersama Rasulullah sejak awal dan baru berakhir saat Rasulullah menghembuskan nafasnya yang terakhir. Ali ada disaat yang lain tiada. Ali adalah tameng hidup Rasulullah dalam kondisi kritis atau dalam berbagai peperangan genting, saat diri Rasulullah terancam.



Kecintaan Ali pada Rasulullah, dibalas dengan sangat manis oleh Rasulullah. Pada sebuah kesempatan ia menghadiahkan kepada Ali sebuah kalimat yang begitu melegenda, yaitu : "Ali, engkaulah saudaraku...di dunia dan di akhirat..."



Ali, adalah pribadi yang istimewa. Ia adalah remaja pertama di belahan bumi ini yang meyakini kebenaran yang disampaikan oleh Rasulullah. Konsekuensinya adalah, ia kemudian seperti tercerabut dari kegermerlapan dunia remaja. Disaat remaja lain berhura-hura. Ali telah berkenalan dengan nilai-nilai spiritual yang ditunjukkan oleh Rasulullah, baik melalui lisan maupun melalui tindak-tanduk beliau. "Aku selalu mengikutinya (Rasulullah SAWW) sebagaimana anak kecil selalu membuntuti ibunya. Setiap hari ia menunjukkan kepadaku akhlak yang mulai dan memerintahkanku untuk mengikuti jejaknya", begitu kata Ali mengenang masa-masa indah bersama Rasulullah tidak lama setelah Rasulullah wafat.



Amirul mukminin Ali, tumbuh menjadi pemuda yang berdedikasi. Dalam berbagai forum serius yang dihadiri para tetua, Ali selalu ada mewakili kemudaan. Namun, muda tak berarti tak bijaksana. Banyak argumen dan kata-kata Ali yang kemudian menjadi rujukan. Khalifah Umar bahkan pernah berkata,"Tanpa Ali, Umar sudah lama binasa"



Pengorbanannya menjadi buah bibir sejarah Islam. Ali-lah yang bersedia tidur di ranjang Rasulullah, menggantikan dirinya, saat rumahnya telah terkepung oleh puluhan pemuda terbaik utusan kaum kafir Quraisy yang hendak membunuhnya di pagi buta. Ali bertaruh nyawa. Dan hanya desain Allah saja semata, jika kemudian ia masih tetap selamat, begitu juga dengan Rasulullah yang saat itu 'terpaksa' hijrah ditemani Abu Bakar seorang.



Keperkasaan Ali tiada banding. Dalam perang Badar, perang pertama yang paling berkesan bagi Rasulullah (sehingga setelahnya, beliau memanggil para sahabat yang ikut berjuang dalam Badar dengan sebutan " Yaa...ahlul Badar..."), Ali menunjukkan siapa dirinya sesungguhnya. Dalam perang itu ia berhasil menewaskan separo dari 70an pihak musuh yang terbunuh. Hari itu, bersama sepasukan malaikat yang turun dari langit, Ali mengamuk laksana badai gurun.



Perang Badar adalah perang spiritual. Di sinilah, para sahabat terdekat dan pertama-tama Rasulullah menunjukkan dedikasinya terhadap apa yang disebut dengan iman. Mulanya, jumlah lawan yang sepuluh kali lipat jumlahnya menggundahkan hati para sahabat. Namun, doa pamungkas Rasulullah menjadi penyelamat dari jiwa-jiwa yang gundah. Sebuah doa, semirip ultimatum, yang setelah itu tak pernah lagi diucapkan Rasulullah..."Ya Allah, disinilah sisa umat terbaikmu berkumpul...jika Engkau tak menurunkan bantuanmu, Islam takkan lagi tegak di muka bumi ini..."



Dalam berbagai siroh, disebutkan bahwa musuh kemudian melihat jumlah pasukan muslim seakan tiada batasnya, padahal jumlah sejatinya tidaklah lebih dari 30 gelintir. Pasukan berjubah putih berkuda putih seperti turun dari langit dan bergabung bersama pasukan Rasulullah. Itulah, kemenangan pasukan iman. Dan Ali, menjadi bintang lapangannya hari itu.



Tak hanya Badar, banyak peperangan setelahnya menjadikan Ali sebagai sosok yang disegani. Di Uhud, perang paling berdarah bagi kaum muslim, Ali menjadi penyelamat karena dialah yang tetap teguh mengibarkan panji Islam setelah satu demi satu para sahabat bertumbangan. Dan yang terpenting, Ali melindungi Rasulullah yang kala itu terjepit hingga gigi RAsulullah bahkan rompal dan darah mengalir di mana-mana. Teriakan takbir dari Ali menguatkan kembali semangat bertarung para sahabat, terutama setelah melihat Rasululah dalam kondisi kritis.



Perang Uhud meski pahit namun sejatinya berbuah manis. Di Uhud, Rasulullah banyak kehilangan sahabat terbaiknya, para ahlul Badar. Termasuk pamannya, Hamzah --sang singa padang pasir. Kedukaan yang tak terperi, sebab Hamzah-lah yang selama ini loyal melindungi Rasulullah setelah Abi Thalib wafat. Buah manisnya adalah, doa penting Rasulullah juga terkabul, yaitu masuknya Khalid bin Walid, panglima musuh di Perang Uhud, ke pangkuan Islam. Khalid kemudian, hingga akhir hayatnya, mempersembahkan kontribusi besar terhadap kemenangan dan perkembangan Islam.



Bagi Ali sendiri, perang Uhud makin menguatkan imagi tersendiri pada sosok Fatimah binti Muhammad SAW. Sebab di perang Uhud, Fatimah turut serta. Dialah yang membasuh luka ayahnya, juga Ali, berikut pedang dan baju perisainya yang bersimbah darah.



Juga di perang Khandak. Perang yang juga terhitung genting. Perang pertama yang sifatnya psyco-war. Ali kembali menjadi pahlawan, setelah cuma ia satu-satunya sahabat yang 'berani' maju meladeni tantangan seorang musuh yang dikenal jawara paling tangguh, ‘Amr bin Abdi Wud. Dalam gumpalan debu pasir dan dentingan suara pedang. Ali bertarung satu lawan satu. Rasulullah SAW bahkan bersabda: “Manifestasi seluruh iman sedang berhadapan dengan manifestasi seluruh kekufuran”.



Dan teriakan takbir menjadi pertanda, bahwa Ali menyudahinya dengan kemenangan. Kerja keras Ali berbuah. Kemenangan di raih pasukan Islam tanpa ada benturan kedua pasukan. Tidak ada pertumpahan darah. kegemilangan ini, membuat Rasulullah SAW pada sebuah kesempatan : “Peperangan Ali dengan ‘Amr lebih utama dari amalan umatku hingga hari kiamat kelak”.



Seluruh peperangan Rasulullah diikuti oleh Ali, kecuali satu di Perang Tabuk. Rasulullah memintanya menetap di Mekkah untuk menjaga stabilitas wilayah. Sebab Rasulullah mengetahui, ada upaya busuk dari kaum munafiq untuk melemahkan Mekkah dari dalam saat Rasulullah keluar memimpin perang TAbuk. Kehadiran Ali di Mekkah, meski seorang diri, telah berhasil memporakporandakan rencana buruk itu. Nyali mereka ciut, mengetahui ada Ali di tengah-tengah mereka.



Perubahan drastis ditunjukkan Ali setelah Rasulullah wafat. Ia lebih suka menyepi, bergelut dengan ilmu, mengajarkan Islam kepada murid-muridnya. Di fase inilah, Ali menjadi sosok dirinya yang lain, yaitu seorang pemikir. Keperkasaannya yang melegenda telah diubahnya menjadi sosok yang identik dengan ilmu. Ali benar-benar terinspirasi oleh kata-kata Rasulullah, "jika aku ini adalah kota ilmu, maka Ali adalah pintu gerbangnya". Dari ahli pedang menjadi ahli kalam (pena). Ali begitu tenggelam didalamnya, hingga kemudian ia 'terbangun' kembali ke gelanggang untuk menyelesaikan 'benang ruwet', sebuah nokta merah dalam sejarah Islam. Sebuah fase di mana sahabat harus bertempur melawan sahabat.





Kenangan Bersama Fatimah Az-Zahra

Sejatinya, sosok Fatimah telah lama ada di hati Ali. Ali-lah yang mengantarkan Fatimah kecil meninggalkan Mekkah menyusul ayahnya yang telah dulu hijrah. Ali pula yang menyaksikan dengan mata kepala sendiri, betapa Fatimah menangis tersedu-sedu setiap kali Rasulullah dizhalimi. Ali bisa merasakan betapa pedihnya hati fatimah saat ia membersihkan kotoran kambing dari punggung ayahnya yang sedang sholat, yang dilemparkan dengan penuh kebencian oleh orang-orang kafir quraisy.



Bagi Fatimah, sosok rasulullah, ayahnya, adalah sosok yang paling dirindukannya. Meski hati sedih bukan kepalang, duka tak berujung suka, begitu melihat wajah ayahnya, semua sedih dan duka akan sirna seketika. Bagi Fatimah, Rasulullah adalah inspirator terbesar dalam hidupnya. Fatimah hidup dalam kesederhanaan karena Rasulullah menampakkan padanya hakikat kesederhanaan dan kebersahajaan. Fatimah belajar sabar, karena Rasulullah telah menanamkan makna kesabaran melalui deraan dan fitnah yang diterimanya di sepanjang hidupnya. Dan Ali merasakan itu semua. Karena ia tumbuh dan besar di tengah-tengah mereka berdua.



Maka, saat Rasulullah mempercayakan Fatimah pada dirinya, sebagai belahan jiwanya, sebagai teman mengarungi kehidupan, maka saat itulah hari paling bersejarah bagi dirinya. Sebab, sesunguhnya, Fatimah bagi Ali adalah seperti bunda Khodijah bagi Rasulullah. Teramatlah istimewa.



Suka duka, yang lebih banyak dukanya mereka lewati bersama. Dua hari setelah kelahiran Hasan, putra pertama mereka, Ali harus berangkat pergi ke medan perang bersama Rasulullah. Ali tidak pernah benar-benar bisa mencurahkan seluruh cintanya buat Fatimah juga anaknya. Ada mulut-mulut umat yang menganga yang juga menanti cinta sang khalifah.



Mereka berdua hidup dalam kesederhanaan. Kesederhanaan yang sampai mengguncang langit. Penduduk langit bahkan sampai ikut menangis karenanya. Berhari-hari tak ada makanan di meja makan. Puasa tiga hari berturut-turut karena ketiadaan makanan pernah hinggap dalam kehidupan mereka. Tengoklah Ali, dia sedang menimba air di pojokkan sana, Setiap timba yang bisa angkat, dihargai dengan sebutir kurma. Hasan dan Husein bukan main riangnya mendapatkan sekerat kurma dari sang ayah.



Pun, demikian tak pernah ada keluk kesah dari mulut mereka. Bahkan, mereka masih bisa bersedekah. Rasulullah...tak mampu menahan tangisnya... saat mengetahui Fatimah memberikan satu-satunya benda berharga miliknya, seuntai kalung peninggalan sang bunda Khodijah, ketika kedatangan pengemis yang meminta belas kasihan padanya. Rasulullah, yang perkasa itu, tak mampu menyembunyikan betapa air matanya menetes satu persatu...terutama mengingat bahwa kalung itu begitu khusus maknanya bagi dirinya... dan fatimah rela melepasnya, demi menyelamatkan perut seorang pengemis yang lapar, yang bahkan tidak pula dikenalnya.



Dan lihatlah...langit tak diam. Mereka telah menyusun rencana. HIngga, melalui tangan para sahabat, kalung itu akhirnya kembali ke Fatimah. Sang pengemis, budak belaian itu bisa pulang dalam keadaan kenyang, dan punya bekal pulang, menjadi hamba yang merdeka pula. Dan yang terpenting adalah kalung itu telah kembali ke lehernya yang paling berhak...Fatimah.



Namun, waktu terus berjalan. Cinta di dunia tidaklah pernah abadi. Sebab jasad terbatasi oleh usia. Mati. Sepeninggal Rasulullah, Fatimah lebih sering berada dalam kesendirian. Ia bahkan sering sakit-sakitan. Sebuah kondisi yang sebelumnya tidak pernah terjadi saat rasulullah masih hidup. Fatimah seperti tak bisa menerima, mengapa kondisi umat begitu cepat berubah sepeninggal ayahnya. Fatimah merasa telah kehilangan sesuatu yang bernama cinta pada diri umat terhadap pemimpinnya. Dan ia semakin menderita karenanya setiap kali ia terkenang pada sosok yang dirindukannya, Rasulullah SAW.



Pada masa ketika kekalutan tengah berada di puncaknya, Fatimah teringat pada sepenggal kalimat rahasia ayahnya. Pada detik-detik kematian Rasulullah...di tengah isak tangis Fatimah...Rasulullah membisikkan sesuatu pada Fatimah, yang dengan itu telah berhasil membuat Fatimah tersenyum. Senyum yang tak bisa terbaca. Pesan Rasulullah itu sangatlah rahasia, dia hanya bisa terkatakan nanti setelah Rasulullah wafat atau saat Fatimah seperti sekarang ini...terbujur di pembaringan. Ya, Rasulullah berkata, "Sepeninggalku, ...diantara bait-ku (keluargaku), engkaulah yang pertama-tama akan menyusulku..."



Kini, Fatimah telah menunggu masa itu. Ia telah sedemikian rindu dengan ayahanda pujaan hatinya. Setelah menatap mata suaminya, dan menggenggam erat tangannya...seakan ingin berkata, "kutunggu dirimu nanti di surga...bersama ayah...", Fatimah Az-Zahro menghembuskan nafasnya yang terakhir.



Dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya... dalam deraian air mata... Ali menguburkan jasad istrinya tercinta itu...yang masih belia itu...sendiri...di tengah malam buta...Ali tidak ingin membagi perasaannya itu dengan orang lain. Mereka berdua larut dalam keheningan yang hanya mereka berdua yang tahu. Lama Ali terpekur di gundukan tanah merah yang baru saja dibuatnya. Setiap katanya adalah setiap tetes air matanya. Mengalir begitu deras. Hingga kemudian, dengan dua tangan terkepal. Ali bangkit berdiri...dan berteriak sekeras-seKerasnya sambil menghadap langit...." A L L A H U ... A K B A R".





Pertempuran Antar Sahabat

Amirul Mukminin Ali ra., kemudian berkonsentrasi membenahi kondisi umat. Terutama pada sisi administrasi pemerintahan, ekonomi dan stabilitas pertahanan. Beberapa reformasi fundamental, seperti penggantian pejabat dan pengambilan kembali harta yang pernah diberikan oleh khalifah sebelumnya (Ustman bin Affan) menyulut kontroversi. Terutama, dalam kacamata awam, Ali tak pula kunjung menyeret pelaku pembunuhan Khalifah Ustman ke pengadilan.



Yang harus dihadapi Ali tak tanggung-tanggung, sahabatnya sendiri. Sahabat yang dulu pernah berjuang bersama Rasulullah menegakkan Islam, kini berada dalam barisan yang hendak melawannya. Bahkan ada pula sahabat yang dulu membaiatnya menjadi khalifah. kini turut pula menghadangnya. Kondisi yang betul-betul pahit.



Ali tidak pandang bulu. Baginya hukum menyentuh siapa saja. Tidak ada istilah 'orang kuat' di mata Ali. BAgi beliau, "orang lemah terlihat kuat dimataku, saat aku harus berjuang keras mengembalikan hak miliknya yang terampas. Orang kuat terlihat lemah di mataku, saat aku terpaksa mengambil sesuatu darinya yang bukan menjadi haknya".



Di masa Khalifah Ali, pusat pemerintahan di pindahkan ke Kuffah. Dari sini kemudian ia mengendalikan wilayah Islam, yang saat itu telah meluas termasuk Syam. Kondisi saat itu benar-benar membutuhkan ketegasan. Sebagai khalifah terakhir dalam bingkai Khulafa Ar-rasyidin, Ali dihadapkan pada masa pelik. Dimana akar dari permasalahannya adalah makin bertambahnya Islam dari segi jumlah namun makin berkurang pula dari segi kualitas. Interest pribadi (nafs), kesukuan (nasionalisme sempit) yang dibalut atas nama agama, menjadi awal mulanya masa kemunduran Islam.



Ketidaksempurnaan informasi yang diterima bunda Aisyah di Mekkah terhadap beberapa kebijakan Khalifah Ali telah membuatnya menyerbu Kuffah. Perang Jamal (Unta), demikian sejarah mencatatnya. Sebab bunda Aiysah ra memimpin perang melawan Ali dengan menunggangi Unta. Bersama Aisyah, turut pula sahabat Zubair bin Awam dan Thalhah. Di akhir peperangan, Khalifah Ali menjelaskan semuanya, dan Asiyah dipulangkan dengan hormat ke Mekkah. Ali mengutus beberapa pasukan khusus untuk mengawal kepulangan bunda Aisyah ke Mekkah.



Berikutnya adalah Perang Shiffin. Bermula dari GUbernur Syam, Muawiyyah bin Abu Sofyan yang menyatakan penolakannya atas keputusan Ali mengganti dirinya sebagai gubernur. Kondisi serba tak taat ini membuat Ali masygul. Mereka bertemu dalam Perang Siffin. Dan di saat-saat memasuki kekalahannya, pasukan Syam kemudian mengangkat Al-Quran tinggi-tinggi dengan tombaknya, yang membuat pasukan Kufah menghentikan serangan. Dengan cara itu, kemudian dibukalah pintu dialog.



Perundingan inilah yang kemudian membawa babak baru dalam kehidupan Ali, bahkan dunia Islam hingga saat ini. Sebuah tahkim (arbitrase) yang menurut sebagian pihak membuat Ali di bagian pihak yang kalah, namun menunjukkan kemuliaan hati Ali di sisi lain. Syam mengutus Amru Bin 'Ash yang terkenal dengan negosiasinya dan Ali mengutus Abu Musa Asyari, yang terkenal dengan kejujurannya. Ali nampak betul-betul berharap terhadap perundingan ini dan menghasilkan traktat yang membawa kedamaian diantara keduanya. Namun, kelihaian mengolah kata-kata dari pihak Syam membuat arbitrase itu seperti mengukuhkan kemunduran Ali sebagai khalifah dan menggantikannya dengan Muawiyah.



Dan ini menimbulkan ketidakpuasan dari beberapa elemen di pasukan Ali. Dari sini, lahirlah para Khawarij yang kelak kemudian, bertanggung jawab terhadap kematian Khalifah Ali.



Khawarij itu, Tiga untuk Tiga... Mereka membentuk tim berisi tiga orang yang tugasnya membunuh tiga orang yang dianggap paling bertanggung jawab terhadap perundingan tersebut. Abdurahman bin Muljam ditugasi untuk membunuh Ali bin Thalib, Amr bin Abi Bakar ditugasi untuk membunuh Muawiyah, dan Amir bin Bakar ditugasi untuk membunuh Amr bin Ash. Mereka kemudian gagal membunuh tokoh-tokoh ini, kecuali Abdurahman bin Muljam.



Menjelang wafatnya Khalifah Ali ra, Ali sempat bermuram durja. Sebab, penduduk Kuffah termakan propaganda dan kehilangan ketaatan kepada dirinya. Saat Ali meminta warga Kuffah untuk mempersiapkan diri menyerbu Syam, namun warga Kuffah tak terlalu menanggapi seruan itu. Ini berdampak psikologis amat berat bagi Ali. Tidak hanya sekali dua kali. tapi acapkali seruan Khalifah Ali di anggap angin lalu oleh warga Kufah.



Karena itu, Ali sempat berkata," “Aku terjebak di tengah orang-orang tidak menaati perintah dan tidak memenuhi panggilanku. Wahai kalian yang tidak mengerti kesetiaan! Untuk apa kalian menunggu? Mengapa kalian tidak melakukan tindakan apapun untuk membela agama Allah? Mana agama yang kalian yakini dan mana kecemburuan yang bisa membangkitkan amarah kalian?”



Pada kesempatan yang lain beliau juga berkata, “Wahai umat yang jika aku perintah tidak menggubris perintahku, dan jika aku panggil tidak menjawab panggilanku! Kalian adalah orang-orang yang kebingungan kala mendapat kesempatan dan lemah ketika diserang. Jika sekelompok orang datang dengan pemimpinnya, kalian cerca mereka, dan jika terpaksa melakukan pekerjaan berat, kalian menyerah. Aku tidak lagi merasa nyaman berada di tengah-tengah kalian. Jika bersama kalian, aku merasa sebatang kara.”



"Jika bersama kalian, aku merasa sebatang kara". Pernyataan pedih mewakili hati yang pedih. Dalam kehidupan kekinian, mungkin bertebaran di tengah-tengah kita pemimpin-pemimpin baru atau anak-anak muda berjiwa pembaharu yang dalam hatinya sama dengan dalamnya hati Ali ra saat mengucapkan kalimat itu. Mereka menawarkan jalan cerah tapi, kita umatnya memilih kegelapan yang nampak menyilaukan. Kita abai terhadap ajakan mereka, dan malah mungkin memusuhinya...mengisolasinya. Ahhh...semoga kita terhindar dari kelakuan keji itu...



Usaha Khalifah Ali ra untuk menyusun kembali peta kekuatan Islam sebenarnya telah diambang keberhasilan. Satu demi satu yang dulunya tercerai berai telah kembali berikrar setia pada beliau. Namun , Allah berkehendak lain, setelah berjuang keras sekitar 5 tahun menjaga amanah kepemimpinan umat, dan setelah melewati berbagai fitnah dan deraan, Khalifah Ali menyusul kekasih hatinya, Rasulullah SAW dan FAtimah Az-Zahra menghadap Sang Pencipta, Allah SWT.



Hari itu, tanggal 19 ramadhan tahun 40 H, saat beliau mengangkat kepala dari sujudnya, sebilah pedang beracun terayun dan mendarat tepat di atas dahinya. Darah mengucur deras membahasi mihrab masjid. “Fuztu wa rabbil ka’bah. Demi pemilik Ka’bah, aku telah meraih kemenangan.”, sabda Ali di tengah cucuran darah yang mengalir. Dua hari setelahnya, Khalifah Ali wafat. Ia menemui kesyahidan seperti cita-citanya. Seperti istrinya, Ali juga dimakamkan diam-diam di gelap malam oleh keluarganya di luar kota Kuffah.



Di detik-detik kematiannya, bibir beliau berulang-ulang mengucapkan “Lailahaillallah” dan membaca ayat, “Faman ya’mal mitsqala dzarratin khairan yarah. Waman ya’mal mitsqala dzarratin syarran yarah.” yang artinya, “Siapapun yang melakukan kebaikan sebiji atompun, dia akan mendapatkan balasannyanya, dan siapa saja melakukan keburukan meski sekecil biji atom, kelak dia akan mendapatkan balasannya.”



Beliau sempat pula mewasiatkan nasehat kepada keluarganya dan juga umat muslim. Di antaranya : menjalin hubungan sanak keluaga atau silaturrahim, memperhatikan anak yatim dan tetangga, mengamalkan ajaran Al-Qur’an, menegakkan shalat yang merupakan tiang agama, melaksanakan ibadah haji, puasa, jihad, zakat, memperhatikan keluarga Nabi dan hamba-hamba Allah, serta menjalankan amr maruf dan nahi munkar.



Islam telah ditinggalkan oleh satu lagi putra terbaiknya. Pengalaman heroik hidupnya telah melahirkan begitu banyak kata-kata mulia yang mungkin akan pula menjadi abadi. Ia menjadi inspirasi bagi setiap pemimpin yang ingin membawa bumi ini pada ketundukan kepada Allah SWT.



Saat ia dicerca dari banyak arah, lahirlah perkataan beliau : “Cercaan para pencerca tidak akan melemahkan semangat selama aku berada di jalan Allah”.



Saat beliau mesti menerima kenyataan pahit berperang dengan sahabatnya sendiri, dan juga mendapatkan persahabatan dari oarng yang dulunya menjadi musuh,lahirlah : "Cintailah sahabatmu biasa saja, karena mungkin ia akan menjadi penentangmu pada suatu hari, dan bencilah musuhmu biasa saja, karena mungkin ia akan menjadi sahabatmu pada suatu hari".



Beliau juga sangat menghormati ilmu. Tidak terkira banyaknya, kalmat bijak yang keluar dari mulutnya tentang keutamaan mencari ilmu. Ia juga menyarankan orang untuk sejenak merenungi ilmu dan hikmah-hikmah kehidupan. Kata beliau, "Renungkanlah berita yang kau dengar secara baik-baik (dan jangan hanya menjadi penukil berita), penukil ilmu sangatlah banyak dan perenungnya sangat sedikit".



Khalifah Ali ra adalah sebuah legenda. He is a legend. Dan legenda tidak akan pernah mati. Bisa jadi, saat lilin-lilin di sekitar kita mulai padam satu persatu, dan kita kehilangan panduan karenanya, maka pejamkanlah saja sekalian matamu. Hadirkan para legenda-legenda Islam itu, termasuk beliau ini, dalam benakmu dan niscaya ia akan menjadi penerang bagimu...seterang-terangnya cahaya yang pernah ada di muka bumi.



Sumber dipetik dari http://doniriadi.blogspot.com/2008/04/cinta-di-atas-cinta-1-khalifah-ali-bin.html

GURU DAN KARAKTER BANGSA

Tags
Oleh Wira


Segala sesuatu yang di buat oleh manusia tentu saja ada tujuannya. Misalnya saja pancasila yang di buat oleh bangsa Indonesia juga ada tujuannya. Tujuannya yaitu untuk di pergunakan sebagai dasar Negara kita melalui perdebatan yang sangat panjang dari kaum elit Indonesia pada saat itu,.Jadi dilihat dari fungsinya, pancasila memiliki fungsi utama sebagai dasar Negara RI. Dilihat dari materinya, pancasila di gali dari pandangan hidup bangsa Indonesia yang merupakan jiwa dan kepribadian bangsa. Dasar Negara pancasila terbuat dalam materi atau bahan dalam negri yang yang merupakan asli murni dan menjadi kebanggan bangsa. Dasar Negara kita ini bukan imporan dari luar, ya walaupun mungkin saja sedikit banyaknya mendapat pengaruh dari luar negri. Mengenai nilai-nnilai apa saja yang terkandung dalam pancasila pada hakiaktnya ialah tidak lepas dari pandangan hidup, kesadaran, serta cita-citahukum dan watak bangsa Indonesia yang pada tanngal 18 agustus 1945 telah dimurniakn dan di padatkan oleh PPKI, pancasila menjadi dasar Negara RI.



Sekarang, kita lihat tentang pendidikan, pada hakikatnya adalah upaya sadar dari suatu masyarakat dan pemerintah suatu Negara untuk menjamin kelangsungan hidup dan kehidupan generasi penerusnya, selaku warga masyarakat, bangsa, dan Negara, secara berguna(berkaitan dengan kemampuan spiritual) dan bermakna (berkaitan dengan kemampuan kognitif dan psikomotorik) serta mampu mengantisipasi hari depan mereka yang senantiasa berubah dan selalu terkait dengankonteks dinamika budaya, bangsa, negara dan hubungan internasionalya.[1]

Di atas telah di uraikan sekilas mengenai pancasila dan pendidikan. Nah, untuk apa sih di ceritakan keduaduanya. Jadi di antara ke duanya itu memiliki hubungan yang sangat erat sekali apabila kita menerawang Negara kita ini dalam hal dunia kependidikannya. Kedua-duanya itu harus disatukan menjadi satu paket yang komplit guna pengajaran yang lebih kependidikan dan berpancasilais(dalam artian memliki karakter bangsa atau akhlak yang baik) tidak hanya dalam hal menyerap ilmu pelajaran tapi juga dalam hal budi pekerti yang seharunya menjadi karakter bangsa yang seperti di cita-citakan.



Nah, dewasa ini dunia pendidikan kita mendapat tanatangan pengaruh kebudayaan dari luar yang kebanyakan kebudayaan yang tidak mendidik dan malah akan mengahncurkan bangsa ini. Itu semua efek dari globalisasi yang tengah berlangsung,bukannya tidak boleh kita menerima rangsangan dari luar, namun rangsangan yang seperti apa dulu yang kita adopsi itu, kalu itu untuk kemajuan bangsa dalam catatan tidak menghilangkan karakter asli bangsa itu tidak masalah, jangan malah sebaliknya. Nah untuk mencegah hal yang buruk itu perlu di adakan atau di munculkan kembali sifat-sifat atau lebih tepatnya nilai-nilai yang terkandung di dalam pancasila yang di terapkan melalui pendidikan.



Nah apabila kita bicara mengenai pendidikan itu tidak lepas dari peranan guru sebagai jembatan yang menghubungkan pancasila itu kepada para murudnya. Guru dalam hal ini memeiliki peranan yang sangat penting dalam membentuk atau membentengi diri generasi bangsa(dalam hal ini menekannkan kaum muda) agar tidak goyah akan perkembangan arus globalisasi serta westernisasi.[2] Oleh sebab itu, untuk membentuk orang lain maka kita harus membentuk diri kita sendiri dulu. Dalam hal ini guru yang sebagai ujung tombak dalam membentuk karakter pancasilais ini kepada anak didiknya maka ia harus terlebih dahulu membentuk dirinya memjadi seorang yang memiliki atau berkarakter pancasilas.



Jadi guru tersebut memang memahami benar arti penting nilai-nilai, norma, sikap, tingkah laku, yang di jabarkan oleh kelima sila tersebut dan menjadi bagian yang utuh serta tidak terpisahkan dari seluruh cara hidupnya. Dalam artia lagi segala aspek yang terkan dung di dalam pancasila tersebut sudah mendarah daging di dalam diri guru tersebut, baru setelah itu beliau terpkan secara bertahap kepada para anak didiknya, dilakukan secara teratur dan terencana agar nilai-nilai yang terjkandung di dalam pancasila tersebut dapat tertanam dengan baik pula dan mendarah daging di dalam jiwa anak didiknya.[3]



Namun dalam pembentukan nya, karakter pancasilais ini tidak hanya pada golongan dunia pendidikan saja yang mayoritas yang mendapatkan pembinaann itu hanya segelintir golongan(pelajar), tapi mencakup segala aspek yang ada di dalam masyarakat. Hidup bermasyarakat merupakan hidup bersama. Kehidupan bersama ini dapat dilihat dari beberapa segi, mulai dari ekonomi sampai pada pndidikan tadi. Dalam kehidupan bermasyarakat ini selalu Nampak unsure-unsur social yang menjadi objek studi sosiologi. Unsur-unsur social yang pokok ialah norma-norma atau kaidah-kaidah social, lembaga-lembaga social, kelompok-kelompok seryta lapisan social. Unsur-unsur itu saling terkait satu sama lain dan keseluruhannay btiu di sebut struktur social.[4]



Jadi maksudnya ialah tidak hanya dalam dunia pendidikan saja yang di tekankan utnutk memiliki karakter yang pancassilais ini, namun segenap unsure masyarakat yang ada di dalam masyarakat. Jadi semua nya mendapat dan memiliki karakter itu demi membentengi diri dari arus globalisasi serta westarnisasi yang datng dari luar guna mengembang kan kebudayaan mereka di tanah air kita yang kita cintai ini. Apakah mau kita terus di jajah oleh bangsa asing dan tidak mau berdiri sendiri seperti apa yang pernah di ucapaka oleh mendiang presiden kita yang pertama yakni Bapak Presiden Soekarno, yaitu berdikari. Kita di amantkan untuk mau bekerja sendiri, berusaha sendiri tanpa adanyacampur tanga pihak asing yang malah akan membuat kaki kita itu pincang bukan malah berdiri malah cacat dan tergantung pada orang lain.



Nah hal-hal seperti inilah yang harus di hindari dengan menumbuhkan serta menanamkan dan menerapkan semangat karakter asli bangsa kita yang termuat dalam pancasila. Untuk itu segenap aspek yang ada di dalam masyarakat di terapkan karakter itu, ya walapun sulit. Namun lama-kelamaan akan terbentuk dengan sendirinya, dan harus ada yang mengakomodir itu semuatermasuk pemerintah kita. Tapi dalam hal ini dunia pendidikan sangat berperan penting demi memperjuangkan itu semua agar terlaksana dengan baik. Lagi-lagi guru menjadi sebuah figure yang amat menentukan dalam perkembangan karakter generasi muda, apa akan berkarakter pancasila atau barat malah bahkan ga punya karakter sama sekali, jadi tidak jelas mau dibawa kemana nantinya bangsa ini.



Mungkin menjadi sebuah pertanyaan kenapa dunia pendidikan perlu bahakn sangat menetukan dalam hal pembentukan karakter bangsa ini yang smayoritas mereka merupakan golongan muda. Itu di karenakan bahwa para golongan muda lah yang amat berperan penting dalam menetukan arah kapal Negara ini akan tetap kokoh walau ada ombak yang menghadang yang di sebabkan jiwa yang penuh semangat. Nah kalu di lihat dari konteks sejarah pun para golongan nuda lah yang benar-benar bersemngat penuh untuk lepas dari jajhan. Mulai dari gerakan intifadah yang mayoritas pemuda-pemuda palestina yang menginginkan kemrdekaan penuh dari jajahan Israel. Begitu juga Indonesia yang mulai dari sumpah pemuda samapai pelaksanaan dan detik-detik kemerdekaaan Indonesia.



Misalnya, hari-hari setelah 29 agustus adalah hari-hari penuh pergolaka. Hal itu terjadi karena kurang tanggapnya KNI Daerah sehingga memunculkan Peristiwa Tiga Daerah(Pekalongan, Brebes, dan Tegal), konflik pemuda dan tentara Jepang yang meletuskan Perang Semarang, atau Bandung Lautan Api bulan Oktober-November Perang Surabya, dan berbagai Peristiwa lain. Semua dalam upaya menegakkan Republik yang oleh para sejarawan periode kritis 1945-1949 itu di masukkan sebagai Perang Revolusi. Mahasiswa dan pemuda yang sejak awal terlibat, serentak dengan semangat bersama mempertahankan Republik, membentuk sebagai lascar dan barisan perjuangan. Catatan detik-detik sebelum dan sesudah Proklamasi, akhirnya adalah catatan-catatan kecil, sekadar mengingatakan mata rantai proses kelahiran sebuah bangsa dan Negara Republik Indonesia.[5]

Jadi sudah jelas lah kiranya bahwa pemuda itu berperan penting dalam membangun dan menjaga kestabilsan sebuah bangsa dan Negara. Bukan berarti para golongan tua tidak mempunyai peranan, mereaka tetap berjasa dan berperan untuk sampai saat ini. Namu di tangan pemuda itu lebih memiliki jiwa semangat yang lebih di bandingkan yang sudah berumur, ya di sini butuh kerjasama di antara mereka. Yang tua berbagi pengalaman kepada yang muda dan yang muda jangan main seenak nya sendiri saja mentang-mentang sudah di beri keprcayaan. Maka dari itu ddalam dunia pendidikan yang mayoritas pelajar yang pstinya golongan muda butuh arahan dari yang lebih berpengalaman yaitu guru yang menjadi panutan mereka di sekolah maupun di tingkat universitas nantinya. Jadilah seorang pendidik yang menanamkan nilai-nilai luhur bangsa ini, bagaimana etika, nilai, sikap, prilaku, baik itu sesame manusia maupun dengan sang pemcipta. Karena semua itu tercakup di dalam pancasila yang menjadi karakter bangsa ini. Apabila itu semua telah tercapai maka akan terbentuk karakter bangsa yang selama ini di cita-citakan dan guru amat sangat berperan dalam memperjuangkannya.



Menjadi seorang pendidik yang berkarakter pancasilais itu sulit namun itu bias, bagi yang benar-benar memahami nilai-nilai apa saja yang tekandung di dalam ancasila tersebut, misalnya sifat lebih menghargai usaha anak didiknya yangt sungguh-sungguh ingin belajar tidak hanya melihat atau menilai itu dari hasil nya saja, jadi lebih sedikit menghargai usahanya mauppun prosesnya. Sekali lagi untuk menumbuhkan karakter itu butuh perjuangan panjang dan penuh tantangn untuk menerapkannya, apalagi membinaanya ke dalam jiwqa para pelajarnya, ya yang sekarang ini lebih suka dengan kebarat-baratan, memenag itu sulit namun bisa.





[1] Rukiyati,M. hum, dkk. (2008). Pendidikan Pancasila.Yogyakarta: UNY Press. Hal.2





[2] http://tuanmalam.blogspot.com/2009/05/pancasila-di-zaman-presiden-soekarno.htm



[3] Bakry, Noor MS. (1985). Pancasila Yuridis Kenegaraan . Yogyakarta: Liberty. Hal. 185





[4] DR. Suwarno, P.J, S.H. (1993). Pancasila Budaya Bangsa Indonesia. Yogyakarta : Kanisius. Hal. 133



[5] Yunarti D. Rini (2003). BPUPKI, PPKI, Proklamasi Kemerdakaan RI. Jakarta : Kompas. Hal. 155

Laman