Senin, 31 Oktober 2011

Paulo Freire dan Liberasi Pendidikan

Tags

Oleh Wira syafutra
Setiap manusia sangat membutuhkan apa yang namannya pendidikan. Pendidikan mengajarkan kepada manusia bagaimana beriteaksi dengan manusia lain lebih mudah. Pendidikan membantu manusia untuk mampu beradaptasi dengan  lingkungan luar. Sementara itu, usia pendidikan sendiri sama dengan manusia itu, berarti manusia akan mengalami proses pendidikan pada saat ia lahir, tentunya tanpa ia sadari. Apalagi, kalau di secara historis, pendidikan telah mulai dilaksanakan sejak manusia berada dimuka bumi.[1]
Adanya pendidikan adalah setua dengan adanya kehidupan manusia itu sendiri. Tentunya manusia itu akan membentuk budaya dan peradaban dimuka bumi dan itu sifatnya dinamis, selalu mengalami perkembangan. Dan hal tersebut (perkembangan peradaban) mempengaruhi perkembangan pendidikan pula. Dengan perkembangan peradaban manusia, berkembang pula pendidikan baik itu bentuk, isi bahkan termasuk penylenggaraannya. Tentunya hal ini selaras dengan perkembangan atau kemajuan manusia dalam pemikiran dan ide-ide tentang pendidikan.
Di Indonesia tokoh fenoemenal yang tertulis dalam sejarah Indonesia, pendidikan khususnya yakni Ki Hajar Dewantara, mengartikan pendidikan sebagai tuntutan hidup tumbuhnya anak. Adapun maksudnya pendidikan itu ialah, menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, ialah agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.Dan menurut Driyakarya, pendidikan merupakan usaha atau proses pemanusiaan manusia muda.[2]
Bisa diambil suatu garis besar terhadap pendidikan, pendidikan akan membentuk kepribadian manusia yang baik, dalam arti manusia tersebut benar-benar menjadi hakikatnya manusia dan tidak mengalami dehumanisasi. Dalam sejarah, dalam konteks-konteks nyata serta objetif, pemanusiaan maupun dehumanisasi merupakan kemungkinan-kemungkinan bagi manusia sebagai makhluk yang belum utuh, yang sadar akan ketidak-utuhan dirinya.
Meski keduanya merupakan alternatif, hanya pemanusiaan yang menjadi fitrah manusia. Fitrah ini selalu di injak-injak, namun justru tiap kali ia diinjak ia makin diteguhkan.[3] Dehumanisasi sendiri merupakan keadaan dimana manusia itu mengalami suatu kondisi yang menempatkan manusia itu dalam keadaan kurang manusiawi karena adanya pihak yang merampas kemanusiawiannya dan cita-cita untuk menjadi manusia utuh telah dihambat. Dehumanisasi juga merupakan produk tatanan yang tidak adil yang melahirkan kekerasan para penindas yang membuat kaum tertindas menjadi kurang dari manusia.[4]Untuk itulah diperlukan sebuah upaya menghapus semua bentuk penindasan.
Untuk menaklukkan situasi penindasan, pertama-tama manusia harus mengenali sebab-musababnya secara kritis, hingga ia dapat menciptakan situasi baru yang memungkinkan usaha mencapai keutuhan kemanusiaan. Tetapi, kaum tertindas yang telah menyesuaikan diri dengan stuktur dominasi yan menenggelamkan mereka, yang sudah pasrah, takkan bisa berjuang demi kebebasan selama mereka merasa tak mampu menghadapi risiko-risiko yang pasti ada dalam perjuangan semacam itu. Hal itu tidak diakibatkan oleh pendidikan yang masih “tragis” bagi kaum tetindas dan mesti diperhitungkan. Pendidikan harus dilaksanakan dengan bukan untuk, kaum tertindas ( secara individual maupun kelompok) dalam perjuangan tiada henti untuk meraih kembali kemanusiaan mereka. Pendidikan ini menjadikan penindasan beserta sebab-musababnya sebagai objek renungan kaum tertindas, dan dari situ mereka terlibat dalam perjuangan membebaskan diri mereka.[5]
Paulo Freire memandang bahwa perlunya sebuah pendidikan yang kritis  untuk menjadi pedoman, landasan, pijakan, dan tolok ukur bagi manusia dalam melihat fenoma yang ada, apalgi sebuah bentuk penindasan, tentu hal itu akan terjadi pada suatu kondisi yang tidak berimbang antara satu individu dengan individu lain maupun antara satu kelompok dengan kelompok lain, maka yang terjadi adalah penindasan. Bagi kaum tertindas akan mengalami dehumanisasi, maka dari itu diperlukan sebuah upaya sadar dan nyata untuk beranjak dari masa suram tersebut, alternatif yang paling cocok ialah pendidikan yang lebih baik dan perlunya liberasi pendidikan yang ujungnya akan membentuk manusia seutuhnya. Jadi, bukan hanya sebatas pendidikan “formal” belaka sebagai alat politisasi belaka yang hanya akan membuat manusia tetap berada pada manusia yang belum utuh bahkan jauh lebih parah apabila pendidikan dijadikan alat “penindasan” kemanusiaan.
Tentunya hal demikian akan berjalan dengan baik, apabila seperangkat sistem yang mengatur juga beroperasi dengan maksimal dan saling mendukung satu sam lain. Apabila kita melihat pada ranah lembaga pendidikan, tugas pendidik untuk mencarikan cara tepat bagi peserta  didik untuk belajar, dan fungsi yang paling baik yang bisa ditawarkan kepada peserta didik, sehingga mereka dapat memeranakan diri sebagai subjek belajar selama mengikuti pendidikan untuk memberantas buta huruf misalnya. Pendidikan harus secara konsisten menemukan dan terus  mencari cara-cara yang memudahkan peserta didik untuk melihat objek yang harus diketahui dan akhirnya dipelajari, sebagai sebuah masalah. Dalam hubungan antara pendidik dan peserta didik yang dimediatori oleh objek pegetahuan haruslah dengan di singkap, faktor yang paling penting adalah perkembangan adalah sikap kritis terhadap objek, bukannya apa yang diajarkan pendidik tentang objek. Maka ketika pendidik dan peserta didik sama-sama mendekati objek untuk dianalisa guna menemukan maknanya, mereka manemukan informasi yang benar untuk mendapatkan hasil analisa yang tepat. Mengetahui (to knows) tidak sama dengan menebak (to guees); informasi itu hanya akan bermanfaat jika kita dapat menangkap akar permasalahannya. Tanpa rumusan masalah yang tepat, maka proses mencari informasi bukanlah momentum belajar yang tepat dan proses tersebut hanya akan menjadi proses pengalihan informasi dari pendidik kepada peserta didik.[6]
Kembali lagi pada pendidikan (kaum tertindas), pendidikan yang mereka alami dijalankan oleh kemurah-hatian otentik, kedermawanan humanis ( bukan humanitarian), menampilkan diri sebagai pendidikan manusia. Pendidikan yang berawal dari kepentingan-kepentingan egoistis para penindas yang membuat kaum tertindas jadi objek-objek hunatiraianisme, melestarikan dan mengedepankan penindasan. Pendidikan seperti itu adalah alat mendehumanisasikan manusia. Inilah sebebnya pendidikan kaum tertindas tak bisa dikembangkan atau dipraktikkan oleh kaum penindas.[7] Selain itu pula, penerapan pendidikan yang membebaskan memerlukan kekuatn politik, sementara kaum tertindas tidak memiliki itu. Itulah mengapa, pendidikan erat kaitannya dengan politisasi. Sistem pendidikan menjadi sentralistik dan bahkan otoriter, pihak penguasa memiliki kekuatan untuk mengatur semuanya. Ya kalau penguasa (pemerintah) benar-benar memahami betapa pentingnya pendidikan, maka ia akan mencurahkan perhatian yang lebih kepada pendidikan yakni liberasi pendidikan. Jadi, artinya tidak ada unsur politik dalam pendidikan yang memberatkan manusia dalam menjalani pendidikan. Bukan berarti pemerintah “lepas tangan” terhadap perkembangan pendidikan, namum lebiih kepada bagaimana otoritas pemerintah tidak mutlak dan absolut serta bebas dari unsur politisasi.
Karena apabila dunia pendidikan sudah tercermar dengan aroma politisasi, maka akan berdampak buruk pada generasi muda (peserta didik). Mulai dari pusat, sampai ke tingkat birokrasi sekolah akan diwarnai saling menguntungkan kepentingan pribadi. Misalnya, dalam sebuah sekolah (apapun jenjangnya) menjadi sebuah pasar pengetahuan; profesor menjadi seorang ahli yang menjual dan mendistribusikan pengetahuan yang telah di paket, sedangkan peserta didik menjadi klien yang membeli dan mengonsumsinya. Sekali lagi, yang penting bagi pendidik dan peserta didik adalah berusaha untuk menghindar dari jebakan birokrasi karena sesungguhnya birokrasi hanya akan menghambat kreatifitas dan membentuk peserta didik menjadi sekadar orang yang pandai mengulang-ulang kata-kata yang klise.[8]Makanya pendidikan harus lebih menekankan pada konsep pemanusiaan yang murni bukan hanya pengetahuan manusia itu “apa”, tapi “untuk apa”.
Jadi, memang kebanyakan sistem pendidikan (pada zaman skarang) Indonesia khususnya, hanya menekankan pada aspek kognitif saja, sedangkan psiko-motorik dan afektif masih minim, apalagi psiko-motorik memang sangat sedikit pendidik yang sampai ke arah sana karena orientasi mereka hanya menajdikan peserta didik sebagai ‘ilmuan”, bukan orang yang “berilmu”, maksudnya out put yang dihasilkan hanya membentuk orang-orang yang  berfikir secara rasional tanpa menggunakan hati. Otak dijadikan otoritas utama dengan menomerdukan hati, bukan berarti pendidikan itu tidak menggunakan otak, hanya persentase penggunaan hati sangat minim. Ya, kita lihat saja, untuk mata pelajaran mengenai keagmaan hanya satu kali dalam seminggu, berbeda dengan disiplin ilmu yang lain.
Ya, walaupun, konsep pendidikan Paulo freire ini lebih kepada bagaimana usaha manusia dari kaum terindas untuk bangkit dari ketertindasannya itu, ya bisa dibilang suatu revolusinerisasi dari kaum tertindas melalui pendidikan, hal tersebut beliau lihat dari konteks pada wilayah yang sedang menglami penjajahan, bukan berarti pada zaman sekarang hal tesebut tidak relevan lagi, justru yang beliau katakan masih terlihat, walaupun bukan dalam bentuk formal (penjajahan).
Beliau juga menyatakan, faktor yang paling penting dalam dunia pendidikan ini bukanlah  belajar membaca dan menulis, yang bisa jadi proses tersebut tidak disertai dengan penglihatan yang kritis terhadap konteks sosial mereka. [9] Apa yang beliau katakan memang terjadi pada dunia pendidikan, khususnya Indonesia, hanya mengajarkan pengetahuan dari itu parahnya lagi terkadang peserta didik hanya menyalin apa yang ada di  buku. Peserta didik hanya identik dengan kelas, buku, pena, dan guru. Peserta didik tidak diaktualkan dalam konteks sosial yang ada.
Jadi, seyogyanya, guru (pendidik) dan murid (peserta didik), sama-sama bertindak dalam dan bertindak terhadap kenyataan, sama-sama menjadi subjek-subjek, bukan hanya dala tugas menyingkap kenyataan, supaya mengetahuinya secara kritis, namun juga dalam tugas menciptakan kembali pengetahuan tadi. Selagi mereka memperoleh pengetahuan tentang kenyataan melalui reungan dan tindakan bersama, mereka menemukan diri sebagai pencipta-pencipta yang permanen.[10] Dengan bagitu, maka tidak akan ada lagi peserta palsu, melainkan peserta yang terlibat penuh dengan komitmen terhadap pemanusiaan.


[1] Dwi Sisiwoyo dkk, Ilmu Pendidikan, UNY Press: Yogyakarta, 2008, Hal;15
[2] Ibid,,,Hal; 18-19
[3] Paulo Freire dkk,Menggugat Pendidikan; Fundamentalis, Konservatif, Liberal, Anarkis, Pustaka Pelajar: Yogyakarta, Cetakan ke-VI, 2006, Hal: 434-435
[4] Ibid,,Hal: 435
[5] Ibid,,,Hal; 438-439
[6] Paulo Freire,Pendidikan Sebagai Proses, Pustaka Pelajar: Yogyakarta, Hal: 10-11
[7] Opcit,,,Paulo Freire dkk, Hal:444
[8] Opcit,,,Paulo Freire, Hal: 13
[9] Ibid,,,Hal:29
[10]Opcit,,,Paulo Freire dkk, Hal: 457

Indonesia Pimpin ASEAN 2011: Sebuah Politik Identitas

Tags

Oleh Wira Syafutra
Pada dasarnya tujuan suatu negara melakukan hubungan internasional adalah untuk memenuhi kepentingan nasionalnya yang tentunya tidak dimiliki di dalam negeri. Makanya untuk memperjuangkan kepentingan nasionalnya itu, diperlukan suatu kerja sama untuk mempertemukan kepetingan nasional antarnegara. Dalam nelakukan hubungan kerja sama internasional setidaknya harus memenuhi dua syarat utama. Pertama, masing-masing negara harus menghargai kepentingan nasional masing-masing anggota yang terlibat. Kedua, adanya keputusan bersama dalam mengatasi setiap persoalan yang timbul, tentunya dengan komunikasi dan komitmen diantar anggota secara berkesinambungan. [1] Dan yang paling penting dan utama menurut saya ialah bagaimana menunjukkan identitas suatu bangsa( dalam ranah domestic) maupun identitas yang di bangun dalam hubungan kerja sama dalam wadah bersama dan memiliki kesamaan.
Sejak Perang Dunia II berakhir, kerja sama regional [2] merupakan kerja sama yang lebih mudah dilakukan untuk menuju cita-cita yang terkandung dalam globalisasi yaitu sebagai bahan inspirasi yang ideal yang selalu jauh dari kenyataan politik internasional. Kerja sama regioanal ini juga dilakukan oleh beberapa negara Asia Tenggara dengan mendirikan  ASEAN (Association of South East Asian Nations) pada 8 Agustus 1967 yang dideklarasikan di Bangkok yang terkenal dengan “Deklarasi Bangkok”. Pada awalnya hanya ada lima anggota ASEAN yakni Indonesia yang di waklili oleh Adam Malik, Malaysia oleh Tun Abdul Razak, ada Thailand yang di wakili oleh Thanat Koman, lalu ada Filipina yang diwakili oleh Narcisco Ramos, dan ada Singapura oleh Rajaratnam. Kelima negara diatas yang mendirikan ASEAN dan juga menandatangani Deklarasi Bangkok.[3]
Tentunya apabila telah disepakati akan adanya suatu wadah atau organisasi makan aka nada maksud dan tujuan yang hendak dicapai dalam mendirikan organisasi tersebut. Entah itu meningkatkan hubungan antar anggota yang satu dengan yang lain dalam berbagai latar belakang, atau ingin membangun sebuah solusi baru dari fenomena yang sedang terjadi maupun telaj terjadi bahkan yang akan terjadi. Akan ada aturan, tata tertib, struktur, yang akan menjadi landasan bergerak lebih terarah dan jelas.
Sama saja dengan pembentukan organisasi ASEAN, tentu memiliki maksud dan tujuan yang hendak dicapai, seperti yang tercantum dalam Piagam ASEAN pada BAB I (Tujuan dan Prinsip), Pasal I (Tujuan) ayat I yang berbunyi, “memelihara dan meningkatkan perdamaian, dan Stabilitas serta memperkuat nilai-nilai yang berorientasi pada perdamaian di kawasan”, dan ayat II yang berbunyi, “meningkatkan pertahanan kawasan dengan memajukan kerja sama politik, social, ekonomi, budaya yang lebih luas”, dan lain sebagainya.  Dilihat dari kedua ayat di atas sudah jelas bahwa tujuan ASEAN adalah dalam upaya peningkatan di segala bidang yang berorientasi pada perdamain, memang apabila dilihat dari sejarahnya ialah empat dari anggota pertama ASEAN bekas negara jajahan.
Mengenai struktur dalam organisasi ASEAN yang waktu itu (pertama kali berdiri), terdiri dari Annual Ministreal Meeting (AMM), Standing Committee (SC), Permanent Committee (PC), Ad-Hoc Committee (AC), dan National Secretariats di setiap negara anggota. Sampai KTT Bali 1967, AMM merupakan instansi tertinngi ASEAN yang harus diadakan setiap setahu sekali secara bergilir di negara anggota. Struktur yang dibuat atau ditetaptapkan  oleh Deklarasi Bangkok 1967 membuat jalannya organisasi sangat lambat. Untuk itu diperlukan reorganisasi menyeluruh untuk mengatasi kemacetan-kemacetan yang timbul yang disebabkan oleh struktur organisasi yang dipakai. Untuk itu, dalam KTT Bali pada 1976, di  tetapkan struktur baru ASEAN, pada strukutur yang baru yang merupakan instansi tertinggi ialah KTT[4]. Seperti yang tercantum dalam Piagam ASEAN BAB IV (Badan) Pasal 7 ayat 2 (a); merupakan badan pengambilan kebijakan tertinngi ASEAN.
Sedangkan strukturnya yang baru seperti berikut, yang pertama atau tertinggi itu seperti yang tercantum dalam Piagam ASEAN yakni KTT diikuti dengan Dewan Koordinasi ASEAN, Dewan Komunitas ASEAN, Badan-badan Sektoral tingkat Menteri, Komite Wakil Tetap, Sekretaris Jenderal ASEAN, Sekretaris Nasional ASEAN, Badan Ham ASEAN, Yayasan ASEAN, dan terkahir Entitas yang berhubungan dengan ASEAN.[5]

POLITIK INDONESIA: Identitas
ASEAN kini berjumlah 10 anggota (negara).  Piagam ASEAN sendiri di berlakukan pada tanggal 15 Desember 2008 setelah semua anggota ASEAN menyampaikan ratifikasi kepada Sekretaris Jenderal[6] ASEAN. Peresmian mulai berlakunya Piagam ASEAN tersebut dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di secretariat ASEAN. Untuk Indonesia, pemberlakuan Piagam ASEAN ini di sahkan melalui UU RI Nomor 38 Tahun 2008 tentang pengesahan Piagam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (Charte Association of Southeast Asian Nation)[7].
Pada KTT ke-16 ASEAN bulan April 2010 si Hanoi, para Pemimpin telah menyepakati ataupun  menyetujui bahwa untuk kepimpinan ASEAN tahun 2011 ialah Indonesia. Tahun 2011 dianggap sebagai tahapan penting bagi ASEAN guna memperkokoh komitmen politis agar semakin menguatnya landasan dalam mengimplementasikan secara penuh Cetak Biru Politis-Keamanan, Ekonomi, dan Sosial-Budaya menuju komunitas ASEAN 2015. Maka darai itu, Indonesia yang memegang tampuk kepemimpinan diarahkan pada beberapa capaian implemnentasi Cetak Biru Komunitas ASEAN yang fundamenatal untuk memperkuat kesatuan ASEAN. Indonesia memiliki peranan yang sentral dalam ketercapaian pengimplemintasian dari Cetak Biru ASEAN tersebut.[8]
Selain itu, Kementrian luar negeri Indonesia dalam kepemimpinan ASEAN 2011 memprioritaskan tiga aspek yakni, pertama, memajukan upaya pencapaian komunitas ASEAN. Kedua, memelihara tatanandan situasi  wilayah yang kondusif bagi upaya pencapaian tujuan pembangunan. Ketiga, menggulirkan pemnahasaan perlunya Visi ASEAN  pasca 2015 yang bertumpu pada peran masyarakat ASEAN  dalam masyarakat dunia. Lalu satu usulan dari delegasi Indonesia pada sidang ASEAN Inter-Parlementary Assembly (AIPA) yang ke-3 yang dilaksanakan di Kamboja. Yakni Dr. Marzuki Ali (Ketua DPR) yag sekaligus menjadi pimpinan sidanng kala itu, ia menyatakan dalam pidato resminya,  ia mendorong penggunaan Bahasa Indonsia sebagai bahasa resmi dalam sidang parlemen ASEAN tersebut.[9] Ia juga berpendapat, Indonesia menghargai nilai-nilai bahwa demokrasi dibangun melalui kearifan local. Sehingga wajar jika Indonesia berpendapat  bahwa harus ada satu bahasa yang bisa mempersatukan semua warga  ASEAN.
Hal ini tentu terkait dengan sebuah identitas bangsa serta kearifan local yang di bangun oleh luhur. Yang semestinya kita jaga dan lestarikan bahkan di kancah Internasioanl sekalipun. Salah satunya ialah bahasa, sebagai sebuah identitas. Karena bahasa merupakan sebuah alat untuk saling menghubungkan antara satu ke yang lainnya, sama akan halnya dengan bahasa Indonesia yang bila dirunut melihat sejarahnya bahwa bahasa Indonesia merupakan perkembangan bahasa Melayu (Riau) yang juga menjadi bahasa persatuan atau lingua franca Asia Tenggara.` Hingga dalam perkembangannya, sejalan dengan berjalannya sejarah bahasa di Indonesia (Melayu) sejalan dengan wawasan Negara-bangsa modern.[10]Hal senada juga disampaikan oleh H.A.R. Tilaar, bahwa peranan bahasa Indonesia yang mempersatukan suku bangsa Indonesia sebagai lingua franka untuk membentuk identitas bangsa Indonesia. Bahasa menunjukkan bangsa.[11]
Sekiranya apa yang sedang di planingkan oleh Indonesia dala kepemimpinan ASEAN dengan mengusulkan bahasa resmi ASEAN adalah bahasa Indonesia bias dikatakan sebuah politik Identitas Indonesia dalam kancah perpolitikan serta hubungan internasionalnya.



[1] Sjamsumar Dam Riswandi, Kerja sama ASEAN; latar Belakang, Perkembangan, dan Masa Depan ASEAN, Ghalia Indonesia: Jakarta, 1995, Hal: 15-16
[2] Suatu kerja sama yang dilakukan oleh negara-negara yang sama-sama terletak di wilayah tertentu, maka bentuk kerja sama demikian di sebut dengan kerja sama regional. Tidak hanya itu, biasanya kerja sama regional terbentuk selian adanya ikatan  goegrafi, tujuan bersama, serta nasib yang sama, seperti yang tercantum dalam pembukaan dalam Piagam ASEAN,”Mengingat adanya kepentingan-kepentingan bersama dan saling ketergantungan antar rakyat dan negara-negara anggota ASEAN yang terikat oleh geografi, tujuan bersama, dan nasib bersama,”.
[3] Ibid,,,Hal: 57
[4] Ibid,,, Hal: 59
[5] ASEAN SELAYANG PANDANG, Edisi ke-19, Tahun 2010, Hal: 14-15
[6] Dalam Piagam ASEAN,Pasal 11 ayat 1, menyatakan, Sekretaris Jenderal di angkat oleh  KTT ASEAN untuk masa jabatan lima tahun yang tidak dapat di perbaharui, yang dipilih dari warga negara dari Negara-negara Anggota ASEAN berdasarkan rotasi secara alfebetis, dengan pertimbangan integritas,kemampuan dan pengalaman professional, serta kesetaraan jender.
[7] ASEAN SELAYANG PANDANG, Edisi Ke-19, Tahun 2010, Hal: 5
[8] Ibid,,, Hal: 234
[9] detikNews.com
[10] Nurkholis Majid, Indonesia Kita, PT. Gramedia Pustaka Umun: Jakarta, 2004, Hal: 35-36
[11] H.A.R. Tilaar,MENGINDONESIA; Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia: Tinjauan dari perspektif Ilmu Pendidikan, RinekaCipta: Jakarta, 2007, Hal: 39

Ikan Paus..

Tags
Oleh Witantri Swandini
Setitik jadilah lautan.

Siang itu di sebuah taman kanak – kanak. Ibu guru meminta anak – anak untuk menggambar bebas. Ada yang menggambar pemandangan, ada gunung dan sawah. Ada sungai dan pantai. Ada hutan dan taman. Ada yang menggambar suasana. Ayah dan ibu bergandengan tangan dengan 2 anaknya. Bibi berbelanja ke pasar dengan sepeda. Nenek menyulam dan kakek membaca koran. Dan beberapa gambar – gambar lain yang ‘biasa – biasa saja’.

Seorang anak lelaki di kelas itu agak lain. Dia penuhi kertas gambarnya yang berukuran A3 dengan sapuan crayon berwarna hitam. Hanya hitam. Hitam seluruhnya, sepenuhnya. Gurunya tercenung. Tapi bu guru tak sempat bertanya karena sebentar kemudian waktu pulang tiba.. sambil menepukkan tangan di depan dada buguru berkata “gambarnya diselesaikan di rumah ya anak – anak. Minggu depan dikumpulkan”.

Tak dinyana, di rumahnya pun anak ini meneruskan keanehannya. Berlembar – lembar kertas ukuran A3 dipenuhinya dengan sapuan warna hitam hingga berkali – kali sang ibu harus ke toko alat tulis untuk membelikannya satu set crayon. Dan ia hanya memakai crayon berwarna hitam.. hari demi hari, setiap ada kesempatan dan waktu, anak ini selalu menambah karya gelapnya. Di rumah juga di sekolah. Tumpukan kertas gambar yang telah dikerjakannya membuat sang ayah geleng – geleng kepala. sang ibu cemaas. Dan mereka pun mengintak sekolah hingga menyepakati satu kata: psikiater! Anak mereka akan ditangani sekelompok psikiater anak kenamaan.

Para psikiater itu berhasil membujuk si anak untuk melanjutkan gambar hitamnya di laboratorim pengamatan mereka.
Dan sia anak terus bekerja seperti kerasukan tanpa memperdulikan tempat dan waktu. Pengamatan para ahli selama berjam – jam tak menghasilkan diagnosis atau analisis apapun.. sampai akhirnya si anak berkata “Ahh...!”. dia telah menyelesaikan 400 gambar di atas kertas A3. Dan ternyata, ada yang tak hitam seluruhnya.
Ia mulai memberi instruksi pada para psikiater untuk menata ke 400 kertas itu di lantai. Oh, ternyata ini adalah puzzlle.. ukurannya 20 x 20 kertas A3. Dan hasilnya? Menakjubkan!! Gambar seekor anak paus bongkok tepat sesuai ukuran aslinya!!!

Sang anak terkekeh bangga melihat hasil karyanya. Dan para psikiater kita takjub, geleng – geleng kepala. tak seperti yang lain, anak ini ingin agar gambar anak paus bongkoknya  sesuai ukuran ‘aslinya’. Ia berfikir besar. Awalnya dia tak difahami, dianggap aneh, bahkan harus diserahkan pada para psikiater. Tapi akhirnya, semua orang takjub padanya.
Mungkin begitulah resiko berfikir besar.. disalahfahami. Lalu dikagumi.

***************
Ah.. di jalan cinta para pejuang, kita hanya layak berurusan dengan hal – hal besar. Atau setidaknya memikirkan hal – hal yang besar.. di dalam pikiran, yang setitik harus dijadikan lautan. Yang sekepal harus dijadikan gunung.

Minggu, 30 Oktober 2011

Karena Dia akan cemburu

Tags
oleh Inung Pratiwi
“Sepertinya kamu sudah memikirkannya terlalu dalam dan membiarkannya menyita hidupmu terlalu banyak.” Ibu tiba-tiba ikut duduk bersamaku yang diam mematung di ruang tamu. Ia seolah sangat mengerti apa yang sedang berada dalam pikiranku.
“Hemmm….” Hanya itu kata spontan yang dapat ku perdengarkan.
“Hati-hati… akan ada yang sangat cemburu.”
“Hemmmm…” seperti orang dungu, lagi-lagi hanya itu yang keluar dari mulutku.
“Dia yang sangat mencintaimu juga sangat mencintai orang yang tanpa sadar telah menggeser posisi-Nya.” Yah... aku mulai paham arah pembicaraannya.
“Ibu, apa ada yang salah? Bahkan aku tidak pernah dengan sengaja mendatangkannya. Pun aku tidak mudah mengusirnya.” Aku mencoba protes agar aku tidak menjadi pihak yang disalahkan.
“Rasa itu datang bukanlah sebuah kesalahan. Hanya, ia akan menjadi salah ketika kamu terbawa untuk menikmatinya pada waktu yang tidak tepat.”
 “Kalau memang belum waktunya kenapa dia datang?” Aku masih protes
“Rasa itu datang karena Dia ingin menguji cintamu kepada-Nya.”
“Benarkah?”
“He emmm. Kau termasuk kekasih setia atau tidak.” Ibu tersenyum menggoda. Dia masih sangat cantik.
“Lalu, bagaimana dengan ayah dan ibu yang akhirnya bersama dan saling mencintai? Bukankah itu lebih membuat-Nya cemburu?”
“Apakah kamu sudah pernah mendengar tentang rumus segitiga cinta?” Aku menggeleng tak mengerti. perasaan yang biasa aku dengar cinta segitiga. Beda nggak sih?
“Cinta tulus manusia hanya akan bertemu pada satu cinta yang sama. Cinta-Nya. Sepanjang bisa merasa, pasti akan kamu temukan rasa itu. Mungkin sekali, dua kali, tiga kali, atau bahkan lebih. Tugasmu hanyalah mengontrol diri hingga Dia benar-benar mendatangkannya untukmu. Jadikanlah setiap langkah kita untuk mendapatkan cinta-Nya. Maka akan kita temukan cinta yang indah meski entah pada siapa.Jangan fokuskan dirimu pada 'SIAPA' karena itu bukan daerah kekuasaanmu untuk memilih dan menentukannya. Fokuslah pada 'SEPERTI APA' karena itu akan memicumu untuk menjadi yang terbaik yang pantas dipilih oleh orang-orang pilihan yang akan membawamu pada cinta-Nya.”

Terdiam.... Merenung.....

DIALOG POHON TALOK

Tags
Oleh Inung Pratiwi
Sudah lama tidak mengunjungiku. Kenapa sore ini kau tiba-tiba muncul? oh, kau menangis? ya...ya...ya... kau memang hanya akan mengunjungiku saat tembok-tembok ketegaran itu runtuh, saat simpul-simpul keikhlasan itu tak lagi terkait dan saat anak-anak sungai kesabaran itu tlah sampai pada muara murka. Aku tahu kau datang bukan untuk memohon pertolongan, karena kau sangat setia pada penolongmu yang tak pernah terganti. Kau hanya ingin bernaung dari pancaran-pancaran pijar yang semakin membuat tubuhmu ingin meledak. iyakan?
"Hei, kau!" Kau tidak menghiraukan sapaanku? Kau ingin jadi tamu tidak sopan rupanya. atau kau tidak mendengarku?
"Hei. Ada apa." Aku mencoba sok perhatian. Kau tetap tidak menghiraukan.
"Assalamualaikum?!" Kali ini bersamaan dengan salam kusertakan peluru kecilku yang tepat mengenai keningnya yang menengadah.
"Waalaikumsalam! Kalau mau salam yang baik, jangan main lempar peluru." Dia akhirnya merespon sambil mengunyah peluru kecilku yang tertangkap pangkuannya.
"Pelurumu sangat manis. Ini yang membuatku sangat suka mengunjungimu. Lempar lagi!" Tambahmu.
"Satu peluru, satu pertanyaan." Kau mendengus kesal tapi kemudian tersenyum sangat manis. Mungkin lebih manis dari peluruku. Sayang aku belum pernah merasakan peluruku sendiri.
"Kau kenapa?"
"Tidak. Aku hanya menyesal pada diriku sendiri."
"Kenapa?"
"Waktu terus berlari tanpa memberiku kesempatan untuk bernafas dengan sebuah penundaan. Umurku semakin menipis tapi, bahkan kau tidak melihat aku lebih baikkan?"
"Aku melihatnya. Aku melihatnya banyak."
"Tapi masih banyak celah yang harus di tambal karena celah-celah itu sering menenggelamkan orang lain dalam prasangka dan kecewa."
"Sudah kau periksa belum sholatmu?"
"Aku tidak pernah meninggalkan shalat 5 waktu, bahkan aku selalu menunaikannya tepat waktu dan berjamaah. Aku juga menambahnya dengan banyak shalat sunnah."
"Subhanallah... coba cek al-fatihahmu!"
"Aku membacanya dengan baik dan hati-hati. Tidak pernah satu pun dari 11 tasydid dalam Al-Fatihah yang tertinggal."
"Subhanallah... coba periksa lagi artinya."
"Bahkan aku sangat menghafalnya."
"Subhanallah... coba teliti lagi di ayat ke enam!"
"Ihdinashirothol mustaqiim. Tunjukkanlah kami ke jalan yang lurus. Apakah ada yang salah?"
"Tidak. Tapi, Memaknai shirothol mustaqim sebagai jalan yang lurus hanyalah ¼ makna saja. Mustaqim lebih bermakna istiqomah. Dan... jalan itu perlu untuk dicari. Bukan di peta, bukan di web, bukan di buku, bukan juga di bawah naunganku. Tapi di dalam dirimu sendiri. jika kau memaknainya dengan benar harusnya kau menjadi pribadi yang menawan karena kriteria Shirathal mustaqiim adalah jalan yang lurus dengan sabar, jalan yang mulus hasil dari kesabaran, jalan yang sepi dengan zuhud dan jalan yang menurun dengan tawadhu'."
aku melihat kau mengerutkan kening hingga alis tebalmu menyatu.
"Separah itukah ibadahku?"
"Ya... manusia emang demen memisahkan apa-apa yang seharusnya berkaitan. Akhlaq itu cermin dari aqidah dan ibadah. Jadi periksalah aqidah dan ibadahmu jika akhlaqmu tidak beres. peneliatian aja sekarang sudah mulai beralih pada metode kualitatif. Masa, kita masih ngitung-ngitung jumlah amal? gaul dikit dong. saatnya beralih pada analisis menuju penilaian secara kualitatif. walau pun penilaian teradil itu dari Allah, tapi tidak ada larangan untuk mengevaluasi diri sendirikan?"
"Berat ya?"
"Pengecut."
"Aww!!!" Hahaha... peluruku tepat mengenai mata hitamnya yang berkilau indah.
"Oh... untuk berapa pertanyaan kau tidak melemparkan pelurumu? curang!"
"Oh iya, aku lupa."
"Dasar, pohon talok pelupa. berapa usiamu?"
"Tidak perlu kau tahu berapa usiaku. Yang pasti aku selalu bisa membuatmu kembali tersenyumkan?"
Kau tidak menjawab. Hanya senyum menawan yang kau suguhkan kepadaku penuh sipu lugu.

Manusia kecilku. Kini kau tak lagi ingusan. Kau sudah menjelma menjadi gadis cantik sekarang. Teruslah ajak hati dan akalmu untuk merasa dan berfikir, nak. Karena itu yang akan membawamu pada kedewasaan iman, amal, dan akhlaq. Kau akan selalu merasa kurang dengan dirimu. Itu wajar. Karena selain menganugerahkan TAQWA, Allah juga menganugerahkan FUJUR kepadamu. Tapi, di sinilah kau punya peluang untuk melakukan kebaikan yang nilai timbangannya lebih berat daripada malaikat. Jadi, jangan pernah mengeluh anakku, karena pada perinsipnya hidup ini keseluruhanya adalah kebaikan.
Teruslah berjuang untuk menjadi lebih baik dan terbaik, nak. Jangan pernah kecewakan Allah yang hanya ingin engkau menyembah kepada-Nya.

Untuk Yang Kutemui dan yang tak tertemui

Tags
oleh Inung Pratiwi pada 28 Oktober 2011 jam 17:06

Hari ini sebuah Message datang

"baarakallahu yauma wulida, wayauma amuutu, wayauma 'ub'atsu hayya."

Pasti...!!! saya nggak ngerti artinya... belum ding. Ya udah dengan polos saya jawab sebagai berikut

"Walaupun tidak tahu persis artinya saya yakin adalah doa. Jazakillah khairan."

Tet... Tet... Tet... jawaban datang

"emm suatu ketika, kalau tilawah mesti ketemu penggalan ayat itu, key word dilahirkan, dimatikan, dibangkitkan kembali."
gubrakkk....!!! benar-benar terjatuh, terguling dan terjungkal. Rasanya sudah tidak berbentuk.
secepat kilat hati tergelitik tanya..
"Astaghfirullah.... benarkah saya islam? bahkan kitab pedoman hidup saya, saya tidak tahu apa yang ada di dalamnya."

Ampun... Ampun ya Rabb....


Dalam diam kutetapkan

Aku Islam tapi sedang berusaha untuk mengislamkan diri secara penuh....

perubahan itu tak kan telihat sebelum proses....


ayo berproses... ayo berproses... ayo berproses...

Ayo bergerak... ayo bergerak... terus bergerak...



Karena Cintaku tidak ingin hanya sekedar menerima, memilih atau menetapkan.

Azamku ya Rabb... Cinta ini sampai pada menikmati

menikmati menjalankan perintah-Mu

menikmati menjauhi larangan-Mu

menikmati apa yang Engkau harapkan atas diri...

Untuk saudara-saudaraku... saudari-saudariku... yang pernah kutemui dan yang tak tertemui

Semoga Allah membalas kebaikan kalian lebih dan lebih...

Laman