Kamis, 29 Desember 2011

Ada cerita saat terakhir

Tags
Oleh Cholid Faisal

Waktu yang mempertemukan kita, waktu yang mengubah segalanya, dan waktu pula yang telah membuat kita bersatu. Betapa banyak keluhan yang ingin aku katakan saat kita berjauhan. Walaupun aku sering acuh didepan kalian tetapi saat tak melihat kalian, aku merasa kehilangan seorang sahabat yang bisa membuat aku tersenyum dan saat ini aku lebih senang membungkam daripada bersuara karena aku sadar bahwa aku sudah jauh dari jangkauan ukhuwah dari seorang sahabat.

Aku mau semuanya seperti yang dulu yang penuh senyum, canda, tawa, penghibur, dan tidak terdiam. Aku mohon maaf atas segala kesalahan yang aku pernah aku lakukan sungguh aku tak ingin bersifat acuh dan menghindar. Semua itu terjadi dengan sendiriku karena aku tidak ingin kehilangan rasa ukhuwah yang pernah kalian berikan padaku.
Dalam diam kita bertemu, dalam rasa kita menyatu, dalam mimpi kita berjanji, dalam angan kita berharap, dalam senyum kita bahagia dan dalam segalanya pertemuan telah menyatukan sebuah janji yang kini membuatku terharu. Perbaikkan, perbaikkan, dan perbaikkan. Itulah kata yang ingin kita lakukan.

hari ini hampir berakhir....

kita sepakat bahwa hari ini kita adalah saudara selamanya…
lalu satu yang kita pahami dan kita sama-sama paham bahwa hari ini kita tidak ada kata perpisaha dan pada akhirnya hari ini, esok ataupun lusa kita tetap saudara selamanya, karena bersama kita keluarga
Ku hanya berdoa satu untuk ukhuwah ini biarkanlah kita selalu bersama dalam keluarga.

Saat-saat MUBES Al ishlah, 26 Desember 2011.
Islamic Education Center lt.2, UNY

Minggu, 25 Desember 2011

Kebangkitan Islam: Belajar dari Sejarah Perang Salib

Tags
Oleh Akur Wijayadi

Islam menjadi bagaikan bulan purnama yang bersinar setelah sebelumnya gelap gulita dan matahari keimanan bersinar setelah cahayanya raib.” (Ibnu Katsir)

Seperti yang disampaikan oleh Ibnu Katsir di atas, Umat Islam sebelumnya mengalami masa kegelapan atau periode terburuk dalam perjalanan sejarah umat manusia setelah mengalami kekalahan pada Perang Salib pertama. Titik balik kemudian diperoleh umat Islam setelah jatuhnya Edessa ke tangan umat Islam pada tahun 539 H/1144 M, yang saat itu dipimpin oleh Imam al-Din Zanki/Imaduddin Zengi, ayah dari Nur al-Din Zanki/Nuruddin Zanki yang merupakan paman dari Shalahuddin al-Ayyubi yang kemudian lebih dikenal sebagai pahlawan Islam pembebas Jerusalem pada tahun 1187.[1]
Perang Salib dimulai pada tahun 1095, dan pada tahun 1099, Jerusalem jatuh ke tangan pasukan salib/Frank. Meskipun memiliki negara dan pemerintahan (kekhalifahan Abbashiyah), umat Islam saat itu sangat lemah dan terpuruk. Khalifah di Baghdad tidak mempunyai wibawa di mata rakyatnya, wilayah Islam terpecah-pecah dengan para panglima militer/atabegh sebagai para pemimpin pemerintahan di wilayah tersebut.

Sekitar 88 tahun kemudian tepatnya pada tahun 1187, Jerusalem dapat dikuasai kembali oleh umat Islam yang dipimpin oleh Shalahudin al-Ayyubi. Akan tetapi jarang diketahui oleh umat Islam saat ini bahwa pembebasan Jerusalem/Al-Aqhsa, bukanlah produk instan dan keajaiban yang turun dari langit dalam waktu yang singkat. Dalam bidang politik dan militer, Imaduddin Zengi dan Nuruddin Zanki telah bersusah payah terlebih dahulu untuk membukakan jalan bagi Shalahudin. Di bidang spritual, dua ulama besar saat itu Imam Al-Ghazali dan Abdul Qadir al-Jilani, berusaha sangat keras memperbaiki akhlak dan moral masyarakat pada saat itu, sehingga kemudian muncul generasi baru yang hebat seperti Shalahudin al-Ayyubi dsb. Dalam hal ini, penulis akan lebih menitik beratkan pada hal spritual terlebih dahulu.

Seperti yang disampaikan oleh seorang ulama pada masa awal Perang Salib yang bernama al-Sulami, saat jatuhnya Jerusalem ke tangan pasukan Salib, menurutnya berjihad melawan orang-orang kafir adalah kepura-puraan bila tidak didahului dengan jihad yang lebih besar (al-jihad al-akbar) atas diri sendiri. Dalam hal ini, al-Sulami berpendapat hal pertama yang harus dilakukan oleh umat Islam sebelum ia melakukan jihad ialah memperkuat kembali dimensi moral untuk mengakhiri proses kemunduran spiritual umat Islam. Al-Sulami menegaskan bahwa jihad yang lebih besar tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu bila ingin meraih kemenangan dalam jihad melawan orang-orang kafir/tentara salib.

Dalam hal ini, al-Ghazali kemudian mencari faktor utama dari kelemahan umat Islam dan kemudian berusaha mengatasinya, daripada menyibukan diri dengan menuding dan menghujat para tentara salib. Menurutnya, masalah paling utama yang dihadapi oleh umat Islam pada saat itu ialah rusaknya pemikiran dan jiwa umat Islam yang berkaitan dengan aqidah dan kemasyarakatan. Al-Ghazali tidak menolak adanya perubahan strategi di bidang politik dan militer, tetapi menurutnya perubahan yang paling mendasar harus didahului pada aspek pemikiran, akhlak, dan perubahan jiwa manusia itu sendiri.

Setelah melakukan perenungan yang sangat mendalam mengenai kondisi umat Islam pada saat itu, al-Gahzali sampai pada suatu kesimpulan bahwa yang pertama kali harus dibenahi dari umat Islam adalah masalah keilmuan dan keulamaan. Secara ringkas dapat kita pahami, setelah mengalami kekalahan di Perang Salib pertama kemudian kaum muslimin berhasil menggabungkan konsep Jihad al-Nafs dan jihad melawan musuh dalam bentuk peperangan dengan sangat baik. Dalam permasalahan jihad al-Ghazali menekankan akan pentingnya menyatukan berbagai potensi yang ada, baik harta, jiwa, dan juga keilmuan. Selain itu, al-Ghazali juga menekankan pentingnya aktivitas ‘amar ma’ruf nahi munkar, aktivitas tersebut menurutnya merupakan kutub terbesar dalam urusan agama, dan merupakan suatu hal yang penting. Karena misi terbutlah Allah SWT mengutus para nabi. Jika aktivitas tersebut hilang maka syiar kenabian hilang, agama menjadi rusak, kesesatan tersebar dan kebodohan akan merajalela, satu negeri akan binasa begitupula dengan umatnya secara keseluruhan.

Jadi, dalam perjuangan umat, diperlukan pemahaman secara konperehensif terhadap problematika yang dihadapi oleh umat Islam. Saat itu, umat Islam dihadapi dengan berbagai masalah baik politik, keilmuan, moral, sosial dan sebagainya. Problematika tersebut perlu dianalisis dan didudukan secara adil dan proposional.

Al-ghazali dan para ulama pada masa itu, berusaha membenahi cara berpikir para ulama dan umat Islam serta menekankan pada pentingnya aspek amal dari ilmu, sehingga jangan menjadi para ulama yang jahat. Sebab ilmu yang rusak dan ulama yang jahat adalah sumber kerusakan bagi Islam dan umatnya.

Sepanjang sejarah Islam, para ulama sejati sangat aktif dalam mempertahankan konsep-konsep dasar Islam, mengembangkan ilmu-ilmu Islam, dan menjaganya dari perusakan oleh ulama-ulama jahat. Penyimpangan dalam bidang keilmuan akan selalu mendapatkan perlawanan yang kuat secara ilmiah. Karena itulah kerusakan dalam bidang keilmuan harus mendapat perhatian dari umat Islam.


[1] Lihat Carole Hillenbrand, Perang Salib: Sudut Pandang Islam, Jakarta: Serambi, 2007.

Sebuah Catatan Sederhana

Tags
Oleh Budi Sulaiman

Langkahku terhenti di sebuah persimpangan jalan yang memaksaku untuk memilih diantara kedua jalan ini. Sebenarnya ada sebuah kebingungan besar yang menggelayutiku ketika pilihan itu datang. Aku yakin kedua jalan ini sama-sama baik dan memiliki banyak rintangan pula. Dan aku yakin disana telah menunggu orang-orang yang akan sama-sama tersenyum ketika diriku datang. Jujur sebenarnya aku bingung.

Hingga pada akhirnya aku tetap harus memilih pada satu jalan. Jalan yang kini membawaku pada sebuah harapan serta angan yang besar untuk selalu memberikan manfaat pada banyak orang. Memang belum aku mulai langkah ini, namun kulihat duri disana sudah teramat banyak. Begitupula dengan banyaknya orang yang belum percaya akan kemampuanku. Ya sudahlah, itu pilihan mereka dan kini saatnya aku untuk membuktikannya bahwa semua itu salah.
Aku mencoba untuk mengingat perjuanganku di awal tahun lalu. Masih teringat jelas di benakku, saat awal aku menginjakan kaki di tanah Jogja. Turun dari bus yang pengap dan sesak dengan penumpang dan bingung dengan apa yang akan aku lakukan. Menjadi orang yang tak tahu apa-apa dan bingung dengan semua keadaan. Bahkan sempat kumenangis ketika aku teramat bingun dan tak ada siapapun bersamaku kala itu.

Hingga akhirnya aku bertemu dengan orang-orang hebat. Ada perasaan minder memang ketika harus berjuang bersama orang-orang dahsyat itu. Namun rangkulan hangat mereka terasa begitu hangat untuk ditolak. Sapaan hangat mereka begitu indah, dan ada sebuah keyakinan besar kala itu bahwa disanalah duniaku.

Waktu terus berlalu dan aku mencoba melebarkan sayapku. Aku mencoba bercabang untuk mencari pengalaman dan kawan. Awalnya terasa amat sulit, karena belum kurasakan rangkulan hangat disini. Memang berbeda dari yang pertama, dan aku menyadari itu. Namun kucoba menjalani semuanya dengan beriringan. Hingga pada akhirnya akupun merasa nyaman dengan keduanya.

Kutahu langkahku setahun lalu tak semulus jalan told an tak setenang keheningan malam. Kutahu banyak sekali duri yang menyelinap dalam tanah hingga kadang aku tak mampu melihatnya. Dan kawanku selalu berpesan agar aku tetap istiqomah di jalan yang telah aku pilih. Masih kuingat saat kebosanan menggelayutiku, meskipun sebelumnya emas telah dapat aku genggam. Kawan maafkanlah, aku terkadang memang teramat lemah. Beberapa bulan aku tak bersama kalian, aku tahu itu merupakan pilihan sulit bagiku. Hingga berulang kali dia mencoba untuk selalu menarikku kembali. Dan tarikanmu terakhir kali mampu membawaku kembali.

Berbeda cerita perjalanan antara rumahku yang pertama dan kedua. Di rumahku yang kedua sepertinya semuanya berjalan dengan bisasa saja. Namun kumenemukan sebuah keluarga hebat disini. Banyak pengalaman dan nasihat yang aku dapat. Dari ketidaksesuaian yang pada waktu awal menghantuiku, kini sudah berhasil aku lepaskan. Aku ganti dengan kenyamanan.

 Aku sadar, bahwa memang di rumah pertamakulah aku banyak menerima pelajaran. Bagaimana bersyukur dan berfikir dalam desakan yang menghadang. Disanalah aku bertambah dewasa dan disanalah aku muncul ke permukaan. Dari orang yang pendiam dan tak dikenal menjadi pribadi yang cukup disegani banyak kawan. Terima kasih kawan atas didikanmu terhadapku, sungguh aku tidak akan pernah lupa saat kita bersama-sama.

Teramat banyak cerita yang kita goreskan dengan pena. Entah berapa banyak pena yang akan habis ketika kutuliskan segala kenangan indah bersama kita dulu. Entah itu suka maupun duka, aku selalu mengingatnya. Namun aku yakin karena kalianlah aku mampu berdiri disini saat ini. Memegang tombak kepemimpinan untuk masa depan.
Namun, kini aku harus memilih dan segalanya sudah diputuskan oleh Sang Maha Tahu. Tuhan telah memilihkan jalan ini untukku. Kelak disinilah aku harus memulai kembali semua cerita. Namun yakinlah segalanya tidak akan pernah aku lupakan. Kalau aku bisa memilih pastilah aku memilih keduanya. Namun itu tidak akan mungkin terjadi. Langkahku akan teramat letih dan akan semakin banyak duri yang mungkin menancap di kakiku.

Kawan, disinilah aku meneruskan langkah. Tidak lagi bersamamu memang. Namun aku bahagia pernah bersama kalian. Mengukir sebuah cerita dalam asa. Merancang masa depan penuh cerita. Walau memang sering kebosanan itu datang dan membawaku untuk sedikit melebar dari kalian. Namun bersama kalianlah sesungguhnya aku besar.
Kawan, berat aku rasakan ketika harus berpisah dengan kalian. Berada di jalan yang berbeda itu tidak mudah, namun inilah pilihan hidupku. Disinilah aku harus memulai semuanya. Tapi tenanglah aku tidak akan mengecewakan kalian disini. Aku pergi bukan aku tak berani, melainkan ini pilihan dalam hati.

Saat takdir memilihkanku pada jalan ini. Aku meyakinkan hati. Terima kasih utnuk segala didikan dan pelajaran yang telah diberikan. Tetes keringat dan air mata semoga mampu menjadi sebuah cerita yang indah. Cerita yang tidak begitu mudah untuk dilupakan. Terima kasih telah memberi kesempatan bagiku untuk berkarya. Terima kasih telah menjadikanku sebagai sosok yang dewasa.

Kalianlah orang-orang hebat dan kalianlah keluarga dahsyat. Tetapalah berjuang, ada atau tidaknya aku dibarisan kalian. Aku akan tetap bersama kalian walau di barisan yang berbeda. Tetaplah bersemangat kawan, jalan kita masih panjang.
Disaat segalanya harus berakhir. Dan disaat kebersamaan kita telah sampai pada ujung. Kini aku paham akan arti sebuah kebersamaan itu dan kini aku tahu akan keindahan persaudaraan yang telah kita rangkai. Kawan, kelak aku akan merindukan kalian. Merindukan masa-masa perjuangan bersama kalian. Kini aku tahu bahwa kalian telah mampu mengikat hatiku dalam sebuah persaudaraan yang hakiki. Bila mampu kuputar ulang waktu, pastilah saat bersama kalian aku bahagia.

Kawan tetaplah berjuang, biarkan aku memilih jalanku. Biarkan aku berjuang dengan langkah-langkahku. Kini aku yakin semuanya memang sudah menjadi suratan dan jalan cerita kita bersama. Semangat untuk kalian semua, aku bahagia pernah mengukir cerita bersama.

Salam Perjuangan!!!
Aku, dijalan perjuangan yang telah aku pilih
Merindukan sosok kalian untuk lebih lama lagi bersamaku.
Yogyakarta, 24 Desember 2011

Senin, 05 Desember 2011

Ketika Rajawali Salah Paham

Tags
Oleh Witantri Dwi Swandini
Alkisah ada  seorang petani yang menemukan telur burung rajawali di sawah dan dibawanya pulang, kemudian  diletakkannya telur  tersebut  di tempat  telur-telur ayam miliknya sehingga  dierami pula oleh sang  induk ayam. Maka ketika telur-telur ayam tersebut menetas, ikut pula telur rajawali ini menetas.  Meskipun badan dan sayap-sayapnya berbeda dengan kakak-kakaknya, sang induk ayam tidak pernah membedakan  ‘anak bungsu’ ini dari kakak-kakaknya.  Hari demi hari tumbuh besar bersama kakak-kakaknya, semakin bedalah postur tubuh dan sayap rajawali ini dengan kakak-kakaknya, tetapi dia tetap merasa bahwa dia bagian dari keluarga yang sama yaitu keluarga ayam.

Suatu hari dia melihat burung yang gagah perkasa terbang di angkasa – burung rajawali, dia bertanya ke kakak-kakaknya, makhluk apakah gerangan yang ada di atas sana ? sang kakak menjawab bahwa itulah makhluk  langit – burung rajawali – yang berbeda dengan dengan kita-kita makhluk bumi yaitu keluarga ayam.

Hari demi hari hidup bersama kakak-kakaknya keluarga ayam, semakin jauh perbedaan adik bungsu ini,  sampai suatu hari kakak-kakaknya sadar bahwa adiknya memang sangat berbeda. Diamatinya benar-benar sang adik ini, kemudian dilihatnya pula burung yang gagah perkasa di angkasa. Maka kakak-kakanya sadar bahwa sang adik tidak lain adalah burung rajawali  seperti yang biasa mereka lihat gagah perkasa di langit sana.

Diyakinkannyalah sang adik bungsu bahwa dia sesungguhnya adalah rajawali makhluk langit yang gagah perkasa dan disuruhnya pula sang adik untuk terbang ke angkasa,  tetapi karena sang adik seumur-umur hidup bersama kakaknya bangsa ayam – dia tidak bisa terbang.  Bahkan meskipun memiliki postur tubuh dan sayap yang berbeda, sang adik juga tidak merasa bahwa dirinya adalah rajawali – dia merasa bahwa dirinya adalah ayam.

Dengan segala upaya kakak-kakaknya meyakinkan si bungsu bahwa dirinya adalah rajawali yang seharusnya bebas terbang dengan perkasa mengarungi angkasa, sang adik tetap tidak bisa terbang – dia tetap merasa bahwa dirinya ayam dan dia puas untuk hidup bersama keluarga ayam yang dikenalnya sejak dia lahir.

Tidak menyerah untuk membantu sang adik menemukan takdirnya sebagai burung rajawali, suatu hari kakak-kakaknya mengajak si bungsu ini untuk berjalan mendaki gunung yang tinggi sampai menemukan tebing yang curam.  Dibujuknya pula sang adik untuk melongokkan kepalanya dan melihat keindahan lembah dibawah sana,  dan dalam posisi inilah sang adik didorong ke arah tebing yang sangat curam tersebut.

Apa yang terjadi ?  Ternyata sang adik dengan gerak refleksnya bisa langsung terbang tinggi sebagai burung rajawali yang gagah perkasa, selama ini  dia hanya salah paham mengira bahwa dirinya  adalah ayam !.

Banyak diantara kita  yang memiliki potensi untuk berkarya dalam berbagai bidang, namun karena kita  salah paham terhadap potensi yang kita miliki sendiri, kita juga salah memilih lingkungan bergaul– kita  tidak bisa secara optimal mengaktualisasikan potensi tersebut.
 Dalam pengembangan bakat misalnya, tidak terhitung buku kita baca, berbagai pelatihan motivasi-pun  sudah kita  ikuti;  tetapi kita tidak kunjung bisa ‘terbang’ dan tetap puas untuk dalam lingkungan yang sekarang. Sampai-sampai kita-pun seperti rajawali yang salah paham, mengira bahwa ‘makhluk langit’ adalah bukan  dia.

Terlalu banyak di antara kita yang merasa kecil hati dan rendah diri, seolah-olah bukan siapa – siapa. Padahal, setiap kita adalah special, setiap kita adalah istimewa. Kita mengira bahwa yang bisa mengolah segala sumber kekayaan alam yang melimpah negeri ini adalah orang lain, bukan  kita.  Yang punya tambang emas, tambang minyak, nikel, hutan industri, mengambil ikan di laut yang luas, memproduksi daging yang cukup, susu yang cukup dlsb.dlsb. adalah bangsa lain yang bukan bangsa kita.

Maka bila motivasi saja tidak cukup untuk membuat kita menjadi rajawali yang bisa terbang tinggi, bisa jadi satu-satunya jalan adalah  memang harus diciptakan situasi yang memaksa kita untuk mengeluarkan seluruh potensi yang sesungguhnya ada pada diri kita ini. Siapa tahu sebagian dari diri kita sejatinya memang ‘rajawali’ yang selama ini hanya salah paham dan mengira diri kita sendiri ‘ayam’ ? Wa Allahu A’lam bishowab..

Laman