Senin, 28 November 2011

Meritokrasi vs Penunjukan

Tags

Oleh Rakhyan Risnu S.
Amerika Serikat dan negara-negara Barat adalah negara-negara maju dan penguasa di dunia, paling tidak saat ini. Mereka semua adalah negara-negara demokrasi, sehingga kita sering menyebut bahwa negara-negara yang demokrasi adalah negara-negara yang maju. Paling tidak itu benar dengan berbagai teori dan bukti empiris keberadaan mereka saat ini.

Tapi kita bisa melihat keberadaan dua negara lainnya yang tidak demokrasi yaitu China dan Singapura. Singapuran bukanlah negara demokrasi, meski terlihat demokrasi tapi dia termasuk negara paling makmur di dunia. Begitu juga dengan China. Jelas dia bukanlah negara demokrasi namun perekonomiannya membuat kita terpana. China menjadi salah satu negara yang diprediksi akan menyaingi perekonomian barat. China telah berhasil mematahkan mitos sebuah hanya negara demokrasi yang akan menjadi negara yang makmur.

Lalu apa yang membuat Singapura atau China dan negara-negara Barat sama-sama menjadi negara maju? Kesamaan mereka adalah meritokrasi, sistem yang membuat yang paling berkompetenlah yang berkuasa.

Dalam sebuah pidato kebudayaan dengan tajuk 'Membangun Budaya Demokrasi' di Djakarta Theatre disampaikan Senin, 17 Mei 2010 di Duren Sawit, Jakarta. Anas menempatkan meritokrasi sebagai agenda terpenting dalam membangun budaya demokrasi. Menurutnya meritokrasi harus dijaga dari polusi politik uang dan, sebaliknya, meritokrasi yang kokoh akan membentengi suatu organisasi dari politik uang. Meritokrasi berasal dari kata merit atau manfaat, meritokrasi yang sebenarnya menunjuk kepada suatu bentuk sistem politik yang memberikan penghargaan lebih kepada mereka yang berprestasi atau berkemampuan. Saya sependapat dengan hal ini, tidak hanya sekedar seseorang yang bermodal harta dan tampang dapat menjadi seorang pemimpin. Melainkan dia haruslah mempunyai kemampuan atau kompetensi yang kemudian dia juga mempunyai sebuah gagasan tentang konsep hubungan masyarakat dan negara yang baik, dialah yang akan mendapatkan posisi sebagai pemimpin. Dengan meritokrasi diharapkan dapat melahirkan sejumlah pemimpin yang kompeten setelah ditempa oleh proses dan memiliki akar dan penerimaan publik.

Taqiyuddin Ibnu Taymiyah (1263-1328) dalam risalahnya “al-Siyasah al-Syariyyah” (pemerintahan syariat) menegaskan bahwa tujuan kekuasaan adalah memperbaiki agama manusia dan mengatur urusan dunia yang tanpanya agama tidak sempurna. Agama tidak akan tegak tanpa kekuasaan dan kekuasaan akan buta tanpa agama. Membangun dan mendirikan kekuasaan adalah kewajban agama yang paling luhur. Tujuannya mengantarkan manusia pada kebahagiaan dunia dan akhirat. Agama dan negara, kata Ibnu Taymiyah, ibarat sekeping uang logam yang sisi-sisinya saling melengkapi. “Qawwamu al-din bi al-saef wa al-mushaf,” tegas Ibnu Taymiyah. Maksudnya, agama tidak akan bisa tegak kecuali dengan mushaf (al-Quran dan al-Hadits) dan pedang (kekuasaan). Sehingga dengan merujuk dari yang disampaikan Ibnu Taymiyah, seorang pemimpin yang baik bukan hanya memiliki kompetensi kecerdasan dan pemberani saja, melainkan ia juga harus ditempa dengan nilai-nilai luhur sebuah agama. Sehingga dia akan menjadi seorang pemimpin yang luhur dan bijaksana. Sistem Meritokrasi ini sangatlah tepat jika dalam hal untuk menciptakan seorang pemimpin yang cerdas dan begitu pula rakyatnya yang kritis. Karena dalam prosesnya, rakyat akan berlomba dalam hal menjadikan dirinya memiliki kompetensi kecerdasan, keberanian yang didampingi ruhaniyah yang luhur.

Selanjutnya mengenai mekanisme penunjukan, sebagai salah satu mekanisme pemilihan dan penempatan posisi seorang pemimpin. Dalam Islam sendiri tidak mengatur bagaimana prosesnya, hanya saja dalam sebuah riwayat menjelsakan beberapa hal dalam proses pemilihan dan penempatan posisi khalifah seperti Abu Bakar, Umar bin Khatab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Mekanisme baiatlah yang menjadikan mereka sebuah khalifah. Keunikan dari mekanisme ini adalah sebelum proses pembaiatannya, yaitu ada sebuah proses penjajakan pendapat para sahabat/rakyat. Inilah yang dapat dikatakan sebuah musyawarah besar dengan rakyat. Melibatkan segenap elemen, bukan hanya sebuah golongan atau kabilah. Mereka yang akan dicalonkan diumumkan kepada masyarakat, dan masyarakat berhak menilai dan membaiatnya. Siapa yang dikehendaki oleh para sahabat atau mayoritas para sahabat, maka orang itu dibaiat dan dengan itu ia menjadi Khalifah dan kaum muslim menjadi wajib untuk mentaatinya. Lalu kaum muslim secara umum membaiatnya dengan baiat taat. Demikianlah terwujud Khalifah dan ia menjadi wakil umat dalam menjalankan pemerintahan dan kekuasaan. Mekanisme ini tidak didasarkan atas dasar nafsu atau sebuah konspirasi belaka, melainkan didasrkan atas tingkat keshalihan, ilmu, dan kebijaksanaannya. Hal ini juga berlaku bagi Abu Bakar yang dilakukan sebuah musyawarah yang kemudian dilanjutkan baiat Abu Bakar. Selanjutnya, kaum muslim diundang ke Masjid Nabawi lalu mereka membaiat Abu Bakar di sana.

Ketika Abu Bakar merasa bahwa sakitnya akan membawa maut, dan khususnya karena pasukan kaum muslim sedang berada di medan perang melawan negara besar kala itu, Persia dan Rumawi, Abu Bakar memanggil kaum muslim meminta pendapat mereka tentang siapa yang akan menjadi Khalifah kaum muslim sepeninggalnya. Proses musyarawah itu berlangsung selama tiga bulan. Ketika Abu Bakar telah selesai meminta pendapat kaum muslim itu dan ia akhirnya mengetahui pendapat mayoritas kaum muslim, maka Abu Bakar mewasiatkan Umar, yakni mencalonkan sesuai dengan bahasa kala itu, agar Umar menjadi Khalifah setelahnya. Wasiat atau pencalonan itu bukan merupakan akad pengangkatan Umar sebagai Khalifah setelah Abu Bakar. Karena setelah wafatnya Abu Bakar, kaum muslim datang ke masjid dan membaiat Umar untuk memangku jabatan Khilafah. Dengan baiat inilah Umar sah menjadi Khalifah kaum muslim, bukan karena musyawarah yang dilakukan oleh Abu Bakar. 

Imam Bukhari mengeluarkan riwayat dari jalan al-Miswar bin Mukhrimah yang berkata : “.. Abdurrahman bin 'Awf mengetuk pintu rumahku pada tengah malam, Ia mengetuk pintu hingga aku terbangun, ia berkata : “aku lihat engkau tidur, dan demi Allah jangan engkau habiskan tiga hari ini dengan banyak tidur.” Yakni tiga malam. Ketika orang-orang melaksanakan shalat subuh, sempurnalah dilangsungkan bait kepada Utsman. Maka dengan baiat kaum muslim itu, Utsman menjadi Khalifah, bukan dengan penetapan Umar kepada enam orang. Kemudian Utsman terbunuh. Lalu mayoritas kaum muslim di Madinah dan Kufah membaiat ‘Ali bin Abi Thalib. Maka dengan baiat kaum muslim itu, Ali menjadi seorang Khalifah.
 
Penunjukan seseorang untuk dapat mengisi posisi tertentu tidak bisa didasarkan atas kedekatan atau karena sebuah tawaran politik yang menggiurkan. Kita bisa mencontoh bagaimana Umar bin Khatab melarang anaknya sendiri untuk ikut dalam pemilihan kekhalifahan ketika dirinya dalam kondisi kritis setelah ditikan oleh Abu Lu’lu, seorang Majusi, budak dari Mughirah bin Syu’bah. Mereka berkata: Berwasiatlah, wahai Amirul Mukminin, carilah pengganti. Ia menjawab: Saya tidak mendapatkan orang yang lebih berhak dengan urusan ini daripada sekumpulan orang yang ketika Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam meninggal dunia beliau meridhai mereka. Kemudian Umar menyebut nama Ali, Utsman, Zubair, Thalhah, Sa’d, dan Abdurrahman. (HR Bukhari) yang kemudian beliau menunjuk Ibnu Umar sebagai saksi dan tidak diperbolehkan melakukan campur tangan dalam urusan ini.

Sehingga dalam hal ini dapat kita tarik sebuah pemahaman, bahwa bagaimanapun juga mekanismenya “Meritokrasi maupun Penunjukan” yang terpenting adalah proses pembinaan ruhiyah, fikrah dan jasadiyah seorang pemimpin yang kemudian dia perlu untuk dapat menyampaikan gagasannya kepada rakyatnya saat ia akan memimpin kelak. Ketika seorang pemimpin yang ruhiyah, fikrah dan jasadiyah baik tetapi tidak dapat menyampaikan gagasannya dengan baik, maka akan menjadi sebuah kepemimpinan yang buruk.

Selasa, 22 November 2011

Raja Tanpa Hidung

Tags


Oleh: Diar Rosdayana

Alkisah, dulu pernah hidup seorang Raja yang memiliki penyakit di hidungnya. Entah apa nama penyakitnya, yang jelas penyakit ini sangat langka. Semua tabib dikumpulkan untuk mencoba mengobati penyakit di hidung Sang Raja. Ternyata semuanya memberi kesimpulan yang sama: hidung Raja harus dipotong/diamputasi! Raja tercengang dengan pernyataan ini. Namun apa mau dikata, tabib senior pada saat itu mewakili tabib-tabib lainnya menyampaikan bahwa Raja tidak memiliki pilihan lain, jika hidungnya tidak segera dipotong maka dalam waktu dekat bisa dipastikan Sang Raja akan mati. Dilematis. Akhirnya dengan Sangat terpaksa Sang Raja pun merelakan hidungnya untuk dipotong. Krek!

Sebenarnya tidak semua rakyat mengetahui tentang berita ini. Hingga pada suatu hari, tibalah saatnya Sang Raja melakukan Inspeksi Mendadak (sidak) ke pasar-pasar yang ada di negerinya. Ketika masuk ke pasar tersebut, semua orang tidak kuat menahan tawa ketika melihat Sang Raja, karena dia tidak punya hidung! Namun karena rasa hormat sekaligus takut kepada Rajanya, mereka tidak menampakkan rasa gelinya melihat hidung Sang Raja yang raib dari tempatnya. Namun tidak demikian dengan anak-anak kecil yang ada di situ, mereka tidak tau kalau itu Raja dan kalaupun tau, mereka belum tau juga bagaimana seharusnya bersikap di depan Raja. Ketika melihat Sang Raja tidak ada hidungnya, sontak saja mereka langsung ketawa tanpa ditahan-tahan lagi.

Raja sangat marah dibuatnya, tapi dia tidak langsung memperlihatkan itu demi menjaga kewibaannya sebagai seorang Raja. Dia malu dan segera mengajak pasukannya pulang ke istana. Sesampainya di istana, dengan perasaan malu dan marah teramat sangat, keluarlah perintah dari Sang Raja: “Mulai hari ini, aku perintahkan bahwa semua orang yang ada di negeri ini, hidungnya harus dipotong!.” Semua kaget dengan perintah ini. Tapi mau gimana lagi, itu titah Raja dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Singkatnya, semua orang yang hidup di negeri tersebut hidungnya dipotong, tanpa kecuali.

Demikian yang terjadi. Hal ini tidak dilakukan satu kali. Setiap ada bayi yang lahir, maka hidungnya langsung dipotong. Terus menerus seperti itu dalam beberapa generasi. Hingga memasuki generasi tertentu, ternyata bayi yang terlahir sudah langsung tidak ada hidungnya. Mungkin dalam bahasa sains sudah menjadi faktor genetik gitu.

Minggu berganti minggu. Bulan berganti bulan. Tahun berganti tahun. Soekarno berganti Soeharto dan temen saya berganti celana (halah). Intinya waktu berjalan dan rakyat pun mulai terbiasa dengan kondisi tanpa hidung. Hingga pada suatu hari, datanglah seorang imigran ke negeri tersebut, dia niat untuk berdagang, dan tentunya dia masih punya bagian-bagian tubuh yang lengkap, termasuk hidung. Ternyata, setiap orang yang melihat si pedagang ini semuanya ketawa, karena dianggap aneh: dia memiliki hidung! Rakyat di negeri tersebut sudah terbiasa dan merasa normal tanpa adanya hidung, hingga ketika datang seorang yang berhidung, dia menjadi bahan ejekan semua orang. Si pedagang berusaha menjelaskan bahwa justru dialah yang normal dan orang-orang di situ yang tidak normal. Namun karena dia hanya sendiri, dia tetap merasa asing dan diapun balik lagi ke negerinya dengan perasaan aneh bercampur malu.

***


Nah, sodara-sodara. Kira-kira seperti itulah yang banyak terjadi pada saat ini. Ada orang yang melakukan keburukan dan kemaksiatan, namun karena orang yang melakukan kesalahan/kemaksiatan itu banyak, juga dilakukan terus-menerus, hingga mereka tidak sadar bahwa itu perbuatan salah, bahkan mengganggap hal itu normal dan baik untuk dilakukan. Sementara di sisi lain, ada juga orang yang melakukan kebaikan, tapi karena sedikit orang yang melakukannya, hingga dia dianggap aneh ketika melakukan kebaikan tersebut.

Hittler juga pernah mengatakan: “Kebohongan yang disampaikan terus-menerus, suatu saat akan dianggap sebagai kebenaran”.

Banyak sekali contoh-contoh tentang hal ini. Misal nih, di masa SMA, ada seseorang rajin sholat. Pas kuliah, dia nge-kos tuh di tepat orang-orang yang ternyata ga pernah sholat, padahal sama-sama beragama Islam. Suatu hari dia sholat shubuh kesiangan. Hari pertama dia merasa ga enak hati. Hari kedua, ternyata kesiangan lagi. Terus menerus seperti itu di hari berikutnya hingga pada hari tertentu dia merasa biasa saja ketika sholat shubuh kesiangan. Dia fikir: “Ga apa-apalah gue sholat shubuh kesiangan, toh yang lain ga pada sholat shubuh.” Atau ketika dia ternyata benar-benar kebablasan sampai ga sholat shubuh, dia berkata: “Ga apa-apalah gue ga sholat shubuh, malah yang lain ga sholat 5 waktu.”

Atau coba kita saksikan sinetron-sinetron saat ini, banyak yang bercerita tentang kehidupan anak-anak sekolahan namun isinya ga lebih daari permasalahan pacaran, pelukan, ciuman, dan sebagainya. Ketika tayangan seperti ini banyak ditonton dan ditampilkan terus-menerus. Bisa jadi, akan timbul satu persepsi di benak kita bahwa: “Oh, ternyata pacaran di sekolah itu biasa kok.” Atau: “Oh, ciuman dan pelukan sama lawan jenis itu biasa aja, tuh mereka juga kayak gitu.” Atau: “Hari gini ga pacaran..?! Ga tau internet ya..?! NDESSSOOOOOO!!”

Atau di lain kasus, beberapa orang merasa risih memakai jilbab. Atau menganggap aneh melihat orang dengan jilbab gede (meski sebenrnya ga ada istilah jilbab kecil atau gede, karena semua jilbab harusnya gede). Hal ini terjadi, salah satunya karena, sekarang jauh lebih banyak orng yang ga menutup aurat, atau ada yang menutup aurat atau memakai ‘jilbab-jilbab palsu’. Penutup aurat yang Rasulullah mengatakan: “Berjilbab tapi telanjang”, yaitu orang-orang yang menutup aurat, namun asal menutup. Pake kerudung tapi juga pake jeans ketat. Pake kerudung tapi pake kaos adiknya (baca: kekecilan). Dan banyak juga yang terpengaruh dengan propaganda media. Ga mau melihat putri berjilbab lebar, dianggap ekstrimis. Pake cadar, disebut ninja. Ada putra berjenggot, disebut teroris, dan berbagai tuduhan-tuduhan lain terhadap berbagai kebaikan yang saat ini sedikit orang yang melakukan.

Nah, di sinilah pentingnya kefahaman dan daya kritis kita sebagai manusia yang berakal. Tentu tulisan ini tidak bermaksud untuk memberikan penghakiman terhadap siapa yang baik atau yang buruk. Atau tentang siapa yang layak masuk surga dan pantas masuk neraka. Namun saya hanya ingin memberi analogi sederhana tentang pilihan kita dalam bersikap. Hendaknya setiap yang kita lakukan itu berdasarkan kefahaman, bukan sekedar ikut-ikutan. Ga semua yang dilakukan oleh banyak orang itu berarti kebenaran, pun sebaliknya, ga semua yang dilakukan oleh sedikit orang itu berarti kesalahan. Berilmulah ketika beramal. Dan beramallah ketika memiliki ilmu.

Perjalanan ini.... *otak iseng langsung memutar lagu Ebiet G Ade*

Tags
Oleh Inung Pratiwi

Membaca tulisan pak Anatoli Kasparov Putu Abdullah yang berjudul “Yang Terlupakan Di jalan (Pergerakan) Dakwah”. Seketika ‘cling’ muncul pertanyaan yang cukup membuat jantung saya berdebar dan gemuruhnya tak mungkin terwakilkan lewat kata “Sudahkah saya berjalan di jalan Dakwah ini?”

*****
…namun seakan-akan teman-teman seperjuangan atau pregerakanya (baca: organisasinya) dimana Ia mengabdikan diri terlihat tidak peduli dan malah meninggalkanya sendiri. Mungkin Ia merasa menjadi orang yang terlupakan, terpinggirkan.
Awalnya saya sangat suudzan dengan yang namanya ukhuwah. Sikap lemah lembut dari mbak-mbak itu saya anggap sebagai jebakan yang menjerumuskan. Tidak murni, tidak tulus. Banyak untuk dulu dan sedikit untuk sekarang, sebisa mungkin saya menghindar dari forum galau yang berkedok ukhuwah. Dan proses pencarian ukhuwah itu benar-benar terputus karena satu sahun saya habiskan untuk menjauh. Dadaaahhh…

Hingga akhirnya saya dapat ceramah panjang lebar dari teman satu kamar (dulu) yang sempat membuat saya sesak untuk menyadari satu hal.
“Mungkin kamu bisa melakukan apapun sendiri. Kamu tidak butuh bantuan mereka. Tapi tanpa sadar kamu sendiri yang membuat orang-orang itu menjauh enggan. Mintalah bantuan pada saudaramu meski kamu tidak membutuhkannya karena itu yang membangun komunikasi diantara kalian. Ceritakanlah sesuatu yang membuatnya merasa kamu telah membuka pintu persaudaraan itu secara utuh meski sebenarnya kamu tidak ingin bercerita karena itu yang akan menciptakan percakapan hati-hati kalian”

Ahh… ukhuwah itu, bahkan tak lebih dari seujung kuku yang saya mengerti.

Andai saja saya tidak bertemu antum pasti saya sudah lulus dan berprestasi secara akademik
Tanpa menghubungkan dengan ukhuwah yang belum saya fahami secara utuh, kalimat serupa tapi tak sama sempat pula saya lontarkan kepada pemandu tahfidz saya beberapa tahun lalu ketika beliau menprotes setoran yang malam itu sangat sedikit akibat ke-GJ-an setelah melihat KHS. Jawaban sederhana beliau cukup membuat saya berusaha untuk mengikhlaskan 0,5 IP saya pergi. Slamat tinggal IP menjulang.

“Tentu konsekuensi mendapatkan sesuatu itu harus mengorbankan sesuatu pulakan? Nah bagaimana pinter-pinternya inung mengaplikasikan teori portofolio untuk mencari return maksimal dan risiko seminimal mungkin. Dan ingat, bagaimanapun pandainya inung menyusun portofolio, inung tidak akan pernah bisa membuat risiko itu menjadi nol. Karena kamu tidak bisa menghilangkan risiko pasar yang diluar kendalimu.” (perasaan, si mbak jurusan Psikologi deh. Kenapa yang dipake teori pasar modal?)

Dan beberapa hari yang lalu saya mendapat teori baru dari ahli fisika yang tinggal di kamar sebelah bahwa rejeki manusia itu sama 100%. Yang membedakan adalah presentase dari macam-macam rejeki yang menjadi bagian kita. Dari sini kembali diajari bersyukur bahwa rejeki bukan hanya yang terlihat. (bagi yang ingin penjelasan teori ini lebih lanjut silakan hubungi pihak yang bersangkutan)

Spirit pergerakan kita adalah spirit barisan yang rapi, disiplin dan saling mengerti antara siapa disamping, depan dan belakang dalam barisanya (saling peduli).
Jlep… antara kapan dan kapan saya memilikinya? Entahlah, menyebutkan satuan detik pun saya tidak berani. Saling peduli? Bahkan saya tidak tahu dia sekarang dimana dan bagaimana keadaannya.

Spirit barisan semestinya membawa pada perencanaan yang matang, terukur dan sistematis. Tidak bergerak secara sporadis tanpa adanya roadmap (peta jalan) yang jelas.
Yupz… untuk point ini saya selalu mempertanyakannya. Bukankah kita selalu menyediakan waktu khusus untuk merencanakannya? Tapi kenapa begini pada akhirnya? Dan saya baru mendapatkan jawabannya pada mata kuliah system pengendalian manajemen (SPM) minggu lalu bahwa salah satu keterbatasan perencanaan strategi adalah “Selalu ada bahaya bahwa perencanaan berakhir hanya sebatas pengisian formulir dan latihan birokrasi, tanpa pemikiran strategis. Sehingga pada akhirnya perencanaan strategis itu hanya sebuah proses yang memakan waktu dan mahal.” Saat perencanaan, semua-mua dimasukkan bahkan yang sebenarnya itu tidak perlu. Sampai-sampai kita tidak sadar bahwa kita telah menghabiskan banyak waktu untuk mengisi formulir dan bukannya memikirkan secara mendalam mengenai alternatif-alternatif dan memilih yang terbaik diantaranya.

Spirit “Kader” semestinya membawa setiap aktivitas yang dilakukan oleh anggota dilakukan dengan penuh tanggungjawab, peduli, rasional dan sesuai nilai-nilai yang digunakan oleh pergerakannya. Namun sebaliknya pergerakan (baca: Organisasi) semestinya juga memiliki tanggungjawab, perhatian, dan kepedulian terhadap kondisi anggota-anggotanya.
Untuk point ini, hehehe… saya masih sangat-sangat butuh untuk belajar. Tidak ingin meminta pemakluman karena manusia seperti saya memang butuh paksaan. Hemmm…

Dan ibarat sebuah kumpulan buku cerita tentang kealpaan, semoga cerita  diatas adalah kisah dihalaman terakhir.
Saya sangat berharap ini akan terjadi. Tapi rasionalnya ini sangat mungkin menjadi halaman terakhir di buku anda tapi tidak untuk generasi anda selanjutnya. Biarkan ia merasakan kealpaan jika harus alpa sebagai sifat alami seorang pembelajar meski bukan berarti kita memaklumi kealpaan sebagai sifat dasar manusia.

Untuk kultur yang terlupakan, sepertinya butuh strategi khusus memang. Entah apa yang berbeda tapi memang ada perbedaan generasi sekarang dan terdahulu (tidak bisa membandingkan sendiri karena generasi terdahulu yang lebih merasakan). Bisa jadi ini permasalah aktor yang tak terselesaikan atau memang antara permasalahan aktor dan kultur ada hubungan timbal balik yang sangat erat?

Ya, tak ada tabayun yang sehat tanpa ukhuwah yang sehat pula. Meski tidak semua kita merasa tapi sebagian besar akan menjawab ‘ya’ untuk pertanyaan “apakah anda enggan untuk mentabayunkan masalah ini dengan yang bersangkutan?” akhirnya, bisik-bisik itu terjadi yang semakin memperparah kondisi ukhuwah dengan prasangka yang menjatuhkan. Kalau sudah begini, bagaimana nasehat-menasehati bisa berfungsi? Bahkan, sebelum proses tabayun itu difungsikan, sudah seenaknya memutus persaudaraan. It’s true story! beneran, Saya lagi nggak mau ngibul. Ekhmmm…. Jadi inget parakgraf akhiran artikel yang bersumber dari http://www.fimadani.com/articles/tsaqafah/dakwah/

“Begitu banyak da’i yang berdakwah semata atas dasar ashabiyah. Faktanya, banyak da’i merasa kecewa ketika orang yang mereka rekrut  itu akhirnya memilih metode dakwah lain yang tidak sama dengan metode perekrutnya.   Bukankah ini petunjuk kecil bahwa rekrutmen itu hanya dimaksudkan untuk mengajak seseorang pada suatu kelompok?  Bukan menuju Islam yang sesungguhnya amat luas dan syamil?” Wallahua’lam.

Ini curhatku. Mana curhatmu? (sedia payung sebelum basah dikritik pak Triyanto P Nugroho)

Note: Tulisan ini tidak bermaksud untuk memperdebatkan tulisan yang berjudul “Yang Terlupakan Di jalan (Pergerakan) Dakwah” . Karena sangat nggak nyambung kalau dikatakan sebagai ketidaksepakatan. Ijin memanfaatkan beberapa kalimat yang mengispirasi pak Anatoli. Jangan katakan ‘tidak’ ya?! Karena sudah saya lakukan. Katakan saja ‘ya’ agar saya tidak berdosa meski itu sebuah pemaksaan.

“Yang Terlupakan Di jalan (Pergerakan) Dakwah”

Tags
Oleh: Anatoli Kasparov Putu Abdullah

           Tema ini bukanlah bermula dari ide penulis seorang diri, namun merupakan buah pertengkaran panjang (baca: perdebatan) dengan saudara penulis (akh Akur Wijayadi). Perdebatan itu dilandasi dari pepatah latin yang berbunyi “amantium irae amoris integratio est” (pertengkaran antarkekasih akan memperbarui cinta). Dan perdebatan penulis dengan akh Akur Wijayadi, kiranya akan memperbarui cara pandang kita. Sebenarnya tema ini akan diangkat menjadi tulisan beliau, oleh karena kesibukan dalam merampungkan tugas akhir skripsi sehingga terlupakan. Dengan alakadarnya tema ini coba saya selesaikan dengan sudut pandang yang berbeda tentunya..

Perspektif Pertama: Aktor yang terlupakan

            Pagi hari sekitar empat bulan (Agustus) yang lalu insyaAlloh masih segar dalam ingatan. Didalam sebuah rumah kontrakan, tiba–tiba ada teman yang terlihat sedang bingung, sikap itu jelas terlihat dari polah dan paras wajahnya. Teman itu tiba-tiba keluar dari kamar dan pergi keteras sambil mengangkat sebuah telepon, yang penulis tahu telepon itu dari orang tuanya. Perbincangan jelas terdengar sampai kedalam tempat penulis beraktivitas. Namun setelah perbincangan terhenti teman itu tidak segera masuk kerumah, yang ada penulis melihat beliau sedang termenung dan menangis sambil duduk dibangunan teras. Coba bertanya perihal yang terjadi. Namun tidak disangka beliau berucap” kesalahan terbesar saya adalah bertemu dengan antum, pagi ini adalah hari terakhir harus regrisrasi di UNY tapi bingung bagaimana bayarnya. Saya tidak punya uang, terpaksa dan dengan “memaksa” harus minta uang lagi kepada orang tua, padahal semestinya saya sudah lulus setahun yang lalu dan tidak merepotkan bapak dan biyung lagi, hari ini saya sangat sedih karena sudah mengecewakan orangtua. Andai saja saya tidak bertemu antum pasti saya sudah lulus dan berprestasi secara akademik, namun sekarang yang saya rasakan adalah ketika sudah tidak diperlukan lagi, Saya ditinggalkan sendiri dengan berbagai kegagalanya tanpa ada yang mau peduli. Hanya menuntut tanpa mau memberi pengertian dan perhatian…”


            Teman penulis dulunya adalah seorang aktivis pergerakan yang sangat militan, dan memiliki kontribusi yang besar dalam dunia pergerakan (baca: organisasi), sampai-sampai mengurus dirinya sendiripun kadang terlupakan, terutama dalam bidang akademik. Dampaknya sekarang beliau harus memperpanjang masa studinya. Menjadi keheranan penulis adalah, dulu dia tidak pernah mengeluh apalagi menangis meskipun seberat dan selelah apapun dalam menjalankan amanah. Tetapi sekarang meskipun badanya kuat dan tidak begitu lelah dalam beraktivitas, saya lihat Ia menangis serta mengeluh, mungkin beban pikiranya yang membuatnya menangis, terlihat jiwanya begitu lelah (rapuh). Kata-kata beliau diatas, penulis yakin bukan berasal dari hati kecilnya, karena penulis tahu bahwa dulu Ia sangat mencintai dunia pergerakanya dan sampai saat inipun Ia masih sangat mencintainya. Mungkin beliau saat itu baru merasa mendapat ujian kegagalan, namun seakan-akan teman-teman seperjuangan atau pregerakanya (baca: organisasinya) dimana Ia mengabdikan diri terlihat tidak peduli dan malah meninggalkanya sendiri. Mungkin Ia merasa menjadi orang yang terlupakan, terpinggirkan.

            Cerita diatas tidak akan dilihat dalam perspektif hubungan antara hamba dengan Alloh SWT (Habluminalloh). Namun dilihat dari segi hubungan antara hamba dengan hamba (Habluminanas). Alloh SWT  sudah tentu akan mengganti dengan balasan yang terbaik bagi hambanya yang telah berkontribusi untuk menjaga agamaNya. Apalagi memiliki banyak manfaat bagi yang lain, pasti balasan kebaikan tidak terhingga diperuntukan baginya. Masalah ini tidak perlu kita diskusikan ulang, sebab ini sudah keniscayaan dan bukan lagi asumsi atau opini. Namun bolehlah kita memberi kritik atau nasehat bagi sesama hamba yang tentunya dibarengi dengan spirit untuk menghadirkan perbaikan. Sebagai gambaran, dulu penulis pernah diingatkan oleh seorang ustad karena lupa untuk menepati sebuah janji, “…lupa itu adalah sifat manusia, tapi sebenarnya manusia bisa membuat dirinya untuk tidak lupa. Agar tidak lupa akan janji-janji, kita bisa mengiktiarkanya dengan menuliskan janji itu di buku, atau meminta yang lain untuk selalu mengingatkannya”.


            Sepengetahuan penulis spirit pergerakan (organisasi) kita bukanlah sebuah kerumunan yang bergerak tanpa aturan. Di dalam kerumunan sesama orang tidak saling mengenal apalagi memperdulikan. Spirit pergerakan kita adalah spirit barisan yang rapi, disiplin dan saling mengerti antara siapa disamping, depan dan belakang dalam barisanya (saling peduli). Orang didalam pergerakan kita  bukanlah sekedar “massa” yang bertindak tanpa tanggungjawab, tidak tahu hak dan kewajibannya. Anggota pergerakan kita adalah “kader” yang bertindak dengan rasa tanggungjawab, serta sadar hak dan keawajiban yang diatur secara jelas. Spirit barisan semestinya membawa pada perencanaan yang matang, terukur dan sistematis. Tidak bergerak secara sporadis tanpa adanya roadmap (peta jalan) yang jelas. Barisan menghasilkan pergerakan yang memiliki karakter predictable, dan credible. Barisan dibentuk oleh orang atau kelompok yang memainkan peran masing-masing secara dewasa dalam jalin kelindan interaksi antara hak dan kewajiban. Di dalam barisan, setiap pihak berperan secara beradab. Sementara itu, kerumunan adalah himpunan massa. Dalam kerumunan, setiap orang atau kelompok merasa  kuat karena beraksi secara kolektif. Berlindung di balik kolektivitas, setiap anasir kerumunan merasa gagah menuntut hak-haknya sambil membunuhi hak-hak orang lain. Spirit “Kader” semestinya membawa setiap aktivitas yang dilakukan oleh anggota dilakukan dengan penuh tanggungjawab, peduli, rasional dan sesuai nilai-nilai yang digunakan oleh pergerakannya. Namun sebaliknya pergerakan (baca: Organisasi) semestinya juga memiliki tanggungjawab, perhatian, dan kepedulian terhadap kondisi anggota-anggotanya

         Fenomena diatas semoga bukan memperlihatkan bahwa  spirit “Barisan” dan “Kader” dalam pergerakan sudah mulai luntur. Lebih jauh lagi jangan sampai “kita” sudah tertular spirit kapitalisme. Secara sederhana kapitalisme dapat dimaknai dengan sebuah ajaran mencari keuntungan yang sebanyak-banyaknya untuk pribadi, tanpa perlu memperhatikan kebutuhan atau kepentingan yang lain. Jangan sampai kita kehilangan kepekaan nurani untuk mengerti dan memahami yang lain diluar pergerakan ataupun sesama anggota pergerakan, baik yang ditingkat elite maupun tingkat akar rumput. Mungkin sejenak kita perlu menutup buku teori, dan mulut dari berbagai kata-kata retoris yang sifatnya abstrak dan jauh dari kondisi sebenarnya. Dari cerita tersebut semoga dapat diambil hikmah dan pelajaran. Sehingga kedepan dapat melangkah kembali dengan menggunakan spirit “Barisan’ dan “Kader” serta meninggalkan jauh-jauh spirit “Kerumunan” dan “Massa” (terhindar dari sifat kapitalisme). Dan ibarat sebuah kumpulan buku cerita tentang kealpaan, semoga cerita  diatas adalah kisah dihalaman terakhir.

Perspektif Kedua: Kultur yang Terlupakan

            Aktor, struktur dan kultur merupakan pilar penting bagi sebuah organisasi/ pergerakan. Kalau perspektif pertama diawal tulisan ini terkait yang terlupakan dijalan dakwah lebih pada aktor, perspektif selanjutnya adalah kultur. Bangunan pergerakan ini sangatlah kokoh dikarenakan memiliki resolusi konflik yang terlembaga secara baik. Sehebat apapun pertengkaran dalam tubuh pergerakan akan mudah diselesaikan secara kekeluargaan. Kultur tabayun menjadi cara strategis guna menetralkan kesalahpahaman. Kultur tabayun membuat kader menjadi tidak ada sekat dan kecurigaan. Semua masalah dapat diselesaikan secara terbuka dan kekeluargaan. Oleh sebab itu, kultur tabayun merupakan alat untuk merenda kekokohan gerakan. Sejalan dengan kultur tabayaun, kultur saling menasehati dan mendoakan juga merupakan perekat kuat tenun pergerakan. Diawal penulis masuk kedalam pergerakan ini, masih segar dalam ingatan betapa kedua kultur itu sangat melembaga. Sebagai contoh: pernah seorang sahabat mengingat “Apakah antum mengenal angka 22 akhi? Yah angka 22... sadarkah antum sudah menghuni Bumi Allah ini selama itu, lalu dengan angka itu, apakah yang sudah antum ukirkan di kanvas daratan ini. Sudahkah antum berbuat”. Kutipan ini merupakan bukti bahwa dalam dunia pergerakan kita telah tumbuh budaya saling menasehati, mengingatkan serta saling memberi tanpa banyak terlalu menuntut. Dengan itu kekokohan gerakan lambat laun akan terkonstruksi.

            Kebiasaan untuk bertabayun, dan saling menasehati disadari atau tidak merupakan sarana yang sangat efektif guna memperkuat bangunan pergerakan. Kultur tersebut yang menjadikan bangunan tarbiyah ini menjadi kokoh dan memenangkan banyak kompetisi. Namun saat ini, kedua kultur itu terasa mulai tidak populer lagi. Mungkin karena merasa kokoh, menang dan sempurna muncul rasa berhak untuk memonopoli kebenaran, sehingga tidak perlu lagi bertabayun dan menasehati. Tabayun bukan hanya kewajiban bawahan terhadap atasan, namun juga atasan kepada bawahan. Menasehati kebaikan bukan hanya kewajiban atasan kepada bawahan, namun juga sebaliknya bawahan kepada atasan. Dengan terlupakanya kedua kultur ini, akibatnya adalah ketika masalah muncul lebih senang untuk membicarakan dibelakang dan tidak mengklarifikasi (mentabayunkan) langsung dengan pihak yang bersangutan. Ketika ada kesalahan lebih senang untuk “menggunjing” dan akhirnya menghukum dengan “cap” daripada menasehatinya untuk kembali kepada kebenaran, pada akhirnya nanti akan merobek tenun pergerakan kita.  Kultur tabayun dan saling menasehati yang mungkin saat ini terlupakan dijalur (pergerakan) dakwah, penting untuk diingat kembali. Kalau kedua kultur ini benar terlupakan, bisa jadi kemenangan- kemenangan yang didapatkan saat ini sebenarnya adalah kekalahan yang tertunda. Semoga itu tidak terjadi…….

Note: Jika terdapat ketidaksepakatan dari tulisan ini silahkan diperdebatkan melalui artikel balasan. Penulis meyakini sebuah nasehat bijak yang mengatakan “Musuh didalam perdebatan sejatinya adalah teman didalam berfikir”.

Minggu, 20 November 2011

Dimensi

Tags
Oleh Inung Pratiwi
Sering kita memfonis orang dengan gelar kejelekan yang bemacam-macam (nggak perlu saya kasih contoh ya).Sering pula kita berprasangka nggak jelas pada orang-orang yang sebenarnya tidak kita kenal dengan jelas pula. Menilai seseorang itu tidak bisa hanya dengan satu parameter saja. Tidak bisa juga menilai dan menyelesaikan masalah hanya dengan sudut pandang ke-aku-an. Untuk lebih bijak kita harus menilainya dari banyak segi dan banyak posisi. Lama dong? Itulah gunanya ma’rifah.

Contoh tentang penilaian nih.

Wah dia gak solih nih. Pake celana jeans sih. Sadar atau tidak, orang shalih dimata kita hanya yang pake celana congklang doang. Padahal, siapa sih yang nggak bisa menyengaja pake celana gituan? Lebih murah lagi harganya dibanding celana jeans dan sejenisnya. (Wkwkwkwk… bagi cewek-cewek yang mamasang standar cowok berdasarkan celananya, hati-hati aja. Banyak peluang kena tipu lho. Karena luaran banyak polesan. hihihi).

Lagi. Itu akhwat nggak sholihah banget. Nonton bola ngakak-ngakak, teriak-teriak sampai kedengeran tetangga. Sadar atau tidak, wanita shalihah dimata kita mungkin orang-orang yang halus lembut dengan senyum malu-malu itu. Tega ya?! Bisa ngebayangin nggak sih gimana tersiksanya orang melakukan sesuatu yang dia tahu itu salah tapi dia belum bisa menahannya? Bagaimana jengkelnya pada diri sendiri orang yang ingin berubah tapi selalu terbentur oleh keterbatasan diri? Orang-orang seperti itu butuh bantuanmu saudara-saudara, bukan komentar sinis yang menyakitkan. (orang –orang yang selalu dihadapkan dengan kondisi ideal bahkan mungkin tidak bisa membayangkan keadaan ini. Emang apa sih susahnya nggak nonton bola? Mungkin itu komentar yang akan terlontar dan dia akan mengatasi kondisi ini dengan teori-teori yang nggak tepat sasaran dan nggak mengena)

Satu lagi deh. Itu orang udah tua baca Al-Quran kok blepotan baget? Sadar atau tidak orang shalih shalihah hanya dilihat dari bacaan Qurannya. Padahal wajar nggak dia belum lancar baca AlQuran Karena dulu nggak diajari sama orang tuanya dan kemudian dia baru mulai tahu kalau kita harus bisa membaca AlQuran setelah jatah usianya sudah banyak terlewati? Kasihan banget ya? Padahal semangat dan perjuangan itu pasti ada nilai kebaikannya lho.

Sekarang contoh kalangan idealis yang berfikir satu arah dengan sudut pandang ke-aku-an dalam menyelesaikan persoalan.

Jengkel nggak sih ketika kita curhat sama seseorang dijawab dengan jawaban idealis dan teoritis? Missal nih“aku tuh kerja sendiri lho mbak. Yang lain itu pada nggak jelas banget sih. Nggak beres semua kerjaannya. DiSMS juga nggak dibales lagi.” (seorang putri bercerita dengan sangat menggebu-gebu) si mbaknya menjawab enteng sambil sok mengelus pundaknya “sabar ya, dek?!”  iiiiihhhhh…. Rasanya Pengen nonjok langsung kalau dapet jawaban kayak gitu. Halo… Siapa sih yang nggak tahu konsep sabar? Semua orang juga tahu kalau harus sabar. Tapi bagaimana mendapatkan kesabaran dalam kondisi yang sulit seperti itu. Itu yang diinginkan si pencerita sebenarnya. Mungkin bagi si mbaknya nggak sulit buat sabar, tapi belum tentu bagi si pencerita. Standar sabar dan perjuangan mendapatkannya berbeda. Itu yang menjadi catatan.

Semua orang apa pun bentuk dan wujudnya selama tujuan hidupnya adalah Allah, insyaAllah dia Shalih dan Shalihah dalam levelnya masing-masing dengan kebaikan dan keterbatasan yang berbeda. PR kita adalah bagaimana kita bergotong royong saling membantu untuk terus naik ke level berikutnya hingga mencapai level tertinggi.
Semoga beberapa contoh kasus di atas dapat menjadi penguat kenapa kita perlu menyentuhkan pemikiran kita dengan realita agar tuntutan kita realistis tapi endingnya tetep idealis untuk menghindari langkah-langkah pragmatis yang merusak dan tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Emang pragmatis jelek? NO, selama masih bersanding dengan idealism.
Wallahua’lam
(tulisan ini lebih ditujukan pada diri sendiri dan semoga juga bermanfaat bagi yang lain)

Model Jaket Jamaish

Tags
Bisa dilakukan pemesanan dengan via sms dengan menghubungi no yang ada dalam gambar.



Sabtu, 19 November 2011

Belajarlah Mencium Wangi Bangkai

Tags
Oleh Inung Pratiwi
kau tahu tahi ayam itu bau dan menjijikkan? tapi kau tidak bisa menafikkan bahwa ia menyimpan manfaat untuk menyuburkan.
kau tah ingus itu menyebalkan? tapi kau tidak bisa menafikkan bahwa ia telah melindungimu.
kau tahu permata itu indah? tapi kau tidak bisa menafikkan bahwa ia bisa membawamu pada kelalaian.
kau tahu kepandaian itu sebuah kenikmatan? tapi kau tidak bisa menafikkan bahwa ia bisa menjerumuskanmu pada kesombongan.
belum cukupkah yang kusebutkan membuatmu berfikir bahwa otakmu tidak cukup hanya diajak berjalan ke kiri atau ke kanan tapi ke segala arah?

meski titik itu telah menjadi garis selamanya tak bisa ia melupakan titik-titik yang menjadi unsur pembentuknya. karena satu saja titik itu hilang, putus, tak sempurna lagi garis itu.

Berpikirlah besar karena agamamu membutuhkannya. Karena kekasihmu pun menginginkannya. Tapi berfikir besar bukan berarti meninggalkan hal kecil yang mengantarkan pemikiran besar itu.

Kau tahu, sepasang suami istri harus bercerai karena terlalu sibuk memikirkan Negara Indonesia tercinta tetapi lupa memikirkan istana kecil yang sedang dirintisnya? Tidak semua orang bisa mengerti bahwa setiap detik yang kita lewati adalah cara Allah mengajarkan pada kita. Dari rangkaian detik-detik itulah akhlak kita terbentuk oleh teori dan pengalaman. Menangis, tertawa, hambar, semangat, dan segala rasa yang terasa itulah perwujudannya.

Kau tahu, seorang pemimpin sangat sibuk mengurusi negaranya. Yang ia pelajari adalah buku-buku tentang pemerintahan.  Dalam otaknya adalah kekuasaan yang katanya untuk rakyat tercinta. Hebat. Yah, terlihat hebat. Tapi kesalahan dari pemimpin itu adalah ia lupa bahwa manusia tak akan usai mempelajari hatinya. Selamanya ia tak bisa menafikkan bahwa dari hati itu manusia bisa menangis atau tertawa, bisa peduli atau cuek saja, bisa membenci atau mencintai, bisa optimis atau pesimis.

ingat manusia, bahkan hati yang tersembunyi rapat di dalam tubuhmu pun tidak dapat kau genggam. lalu dengan alasan apa lagi kau sombong kalau tidak karena lemahnya iman? coba periksa hatimu. masihkah ia utuh untuk kekasihmu? ataukah ia tlah terbagi dengan riya , ujub dan sebagainya yang selalu meninabobokanmu dalam kelalaian?

Jangan jerumuskan otakmu untuk berpikir picik karena dari seonggok bangkai pun kita masih bisa mengambil pelajaran bahwa seburuk apapun bentuknya ia masih bermanfaat bagi bakteri.

Jangan mencibir apapun karena meski ia tidak bermanfaat untukmu, pasti ia memberi suatu makna bagi orang lain.

Belajarlah mencium wangi bangkai. Karena selamanya, tidak ada sesuatu yang Allah ciptakan sia-sia, bahkan otak picik yang Allah takdirkan kutemui.

Jumat, 11 November 2011

Terapi Virus Merah Jambu

Tags
Oleh Ahmad Bachtiar Faqihuddin
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Virus hati yang bernama cinta ternyata telah banyak memakan korban. Mungkin anda pernah mendengar seorang remaja yang nekat bunuh diri disebabkan putus cinta, atau tertolak cintanya. Atau anda pernah mendengar kisah Qeis yang tergila-gila kepada Laila. Kisah cinta yang bermula sejak mereka bersama mengembala domba ketika kecil hingga dewasa. Akhirnya sungguh tragis, Qeis benar-benar menjadi gila ketika laila dipersunting oleh pria lain. Apakah anda pernah mengalami problema seperti ini atau sedang mengalaminya? mau tau terapinya? Mari sama-sama kita simak terapi mujarab yang disampaikan Ibnu Qoyyim dalam karya besarnya Zadul Ma�ad.

Beliau berkata : Gejolak cinta adalah jenis penyakit hati yang memerlukan penanganan khusus disebabkan perbedaannya dengan jenis penyakit lain dari segi bentuk, sebab maupun terapinya. Jika telah menggerogoti kesucian hati manusia dan mengakar di dalam hati, sulit bagi para dokter mencarikan obat penawarnya dan penderitanya sulit disembuhkan.

Allah mengkisahkan penyakit ini di dalam Al-Quran tentang dua tipe manusia, pertama wanita dan kedua kaum homoseks yang cinta kepada mardan (anak laki-laki yang rupawan). Allah mengkisahkan bagaimana penyakit ini telah menyerang istri Al-Aziz gubernur Mesir yang mencintai Nabi Yusuf, dan menimpa Kaum Luth. Allah mengkisahkan kedatangan para malaikat ke negeri Luth

Dan datanglah penduduk kota itu (ke rumah Luth) dengan gembira (karena) kedatangan tamu-tamu itu. Luth berkata: "Sesungguhnya mereka adalah tamuku; maka janganlah kamu memberi malu (kepadaku), dan bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu membuat aku terhina ".Mereka berkata: "Dan bukankah kami telah melarangmu dari (melindungi) manusia?" Luth berkata: "Inilah puteri-puteri (negeri) ku (kawinlah dengan mereka), jika kamu hendak berbuat (secara yang halal)". (Allah berfirman):
"Demi umurmu (Muhammad), sesungguhnya mereka terombang-ambing di dalam kemabukan (kesesatan)". [Al-Hijr: 68-72]
KRITERIA MANUSIA YANG BERPOTENSI TERJANGKIT PENYAKIT AL-ISYQ

Penyakit al-isyq akan menimpa orang-orang yang hatinya kosong dari rasa mahbbah (cinta) kepada Allah, selalu berpaling dariNya dan dipenuhi kecintaan kepada selainNya. Hati yang penuh cinta kepada Allah dan rindu bertemu dengaanNya pasti akan kebal terhadap serangan virus ini, sebagaimana yang terjadi dengan Yusuf alaihis salam:

"Artinya ; Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusufpun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tiada melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih" [Yusuf : 24]

Nyatalah bahwa Ikhlas merupakan immunisasi manjur yang dapat menolak virus ini dengan berbagai dampak negatifnya berupa perbuatan jelek dan keji.Artinya memalingkan seseorang dari kemaksiatan harus dengan menjauhkan berbagai sarana yang menjurus ke arah itu .

Berkata ulama Salaf: penyakit cinta adalah getaran hati yang kosong dari segala sesuatu selain apa yang dicinta dan dipujanya. Allah berfirman mengenai Ibu Nabi Musa:

"Artinya ; Dan menjadi kosonglah hati ibu Musa. Sesungguhnya hampir saja ia menyatakan rahasia tentang Musa, seandainya tidak Kami teguhkan hatinya" [Al-Qasas :11]

Yakni kosong dari segala sesuatu kecuali Musa karena sangat cintanya kepada
Musa dan bergantungnya hatinya kepada Musa.


BAGAIMANA VIRUS INI BISA BERJANGKIT ?

Penyakit al-isyq terjadi dengan dua sebab, Pertama : Karena mengganggap indah apa-apa yang dicintainya. Kedua: perasaan ingin memiliki apa yang dicintainya. Jika salah satu dari dua faktor ini tiada niscaya virus tidak akan berjangkit. Walaupun Penyakit kronis ini telah membingungkan banyak orang dan sebagian pakar berupaya memberikan terapinya, namun solusi yang diberikan belum mengena.

MAKHLUK DICIPTAKAN SALING MENCARI YANG SESUAI DENGANNYA

Berkata Ibn al-Qayyim: ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan hikmahNya menciptakan makhlukNya dalam kondisi saling mencari yang sesuai dengannya, secara fitrrah saling tertarik dengan jenisnya, sebaliknya akan menjauh dari yang berbeda dengannya.

Rahasia adanya percampuran dan kesesuaian di alam ruh akan mengakibatkan adanya keserasian serta kesamaan, sebagaimana adanya perbedaan di alam ruh akan berakibat tidak adanya keserasian dan kesesuaian. Dengan cara inilah
tegaknya urusan manusia. Allah befirman:

"Artinya : Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya” [Al-A�raf :189]

Dalam ayat ini Allah menjadikan sebab perasaan tentram dan senang seorang lelaki terhadap pasangannya karena berasal dari jenis dan bentuknya. Jelaslah faktor pendorong cinta tidak bergantung dengan kecantikan rupa, dan tidak pula karena adanya kesamaan dalam tujuan dan keingginan, kesamaan bentuk dan dalam mendapat petunjuk, walaupun tidak dipungkiri bahwa hal-hal ini merupakan salah satu penyebab ketenangan dan timbulnya cinta.

Nabi pernah mengatakan dalam sebuah hadisnya:

"Artinya : Ruh-ruh itu ibarat tentara yang saling berpasangan, yang saling mengenal sebelumnya akan menyatu dan yang saling mengingkari akan berselisih "[3]

Dalam Musnad Imam Ahmad diceritakan bahwa asbabul wurud hadis ini yaitu ketika seorang wanita penduduk Makkah yang selalu membuat orang tertawa hijrah ke Madinah ternyata dia tinggal dan bergaul dengan wanita yang sifatnya sama sepertinya yaitu senang membuat orang tertawa. Karena itulah nabi mengucapkan hadis ini.

Karena itulah syariat Allah akan menghukumi sesuatu menurut jenisnya, mustahil syariat menghukumi dua hal yang sama dengan perlakuan perbeda atau mengumpulkan dua hal yang kontradiktif. Barang siapa yang berpendapat lain maka jelaslah karena minimnya ilmu pengetahuannya terhadap syariat ini atau kurang memahami kaedah persamaan dan sebaliknya.

Penerapan kaedah ini tidak saja berlaku di dunia lebih dari itu akan diterapkan pula di akhirat, Allah berfirman:

"Artinya : (kepada malaikat diperintahkan): Kumpulkanlah orang-orang yang zalim beserta teman sejawat mereka dan sembahan-sembahan yang selalu mereka sembah" [As-Shaffat : 23]

Umar ibn Khtaab dan seteelahnya Imam Ahmad pernah berkata mengenai tafsiran wajahum yakni yang sesuai dan mirip dengannya .Allah juga berfirman

"Artinya : Dan apabila jiwa dipertemukan" [At-Takwir : 7]

Yakni setiap orang akan digiring dengan orang-orang yang sama prilakunya dengannya, Allah akan menggiring antara orang-orang yang saling mencintai kareNya di dalam surga dan akan menggiring orang orang yang saling bekasih-kasihan diatas jalan syetan di neraka Jahim, tiap oran akan digiring dengan siapa yang dicintainya mau tidak mau. Di dalam mustadrak Al-Hakim disebukan bahwa Nabi bersabda:

"Artinya : Tidaklah seseorang mencintai suatu kaum kecuali akan digiring bersama mereka kelak"
CINTA DAN JENIS-JENISNYA
Cinta memiliki berbagai macam jenis dan tingkatan, yang tertinggi dan paling mulia adalah mahabbatu fillah wa lillah (cinta karena Allah dan di dalam Agama Allah) yaitu cinta yang mengharuskan mencintai apa-apa yang dicintai Allah, yang dilakukan berlandaskan cinta kepada Allah dan RasulNya.

Cinta berikutnya adalah cinta yang terjalin karena adanya kesamaan dalam cara hidup, agama, mazhab, idiologi, hubungan kekeluargaaan, profesi dan kesamaan dalam hal-hal lainnya.

Diantara jenis cinta lainnya yakni cinta yang motifnya karena ingin mendapatkan sesuatu dari yang dicintainya, baik dalam bentuk kedudukan, harta, pengajaran dan bimbingan, ataupun kebutuhan biologis. Cinta yang didasari hal-hal seperti tadi yaitu al-mahabbah al-�ardiyah-- akan hilang bersama hilangnya apa-apa yang ingin didapatnya dari orang yang dicintai. Yakinlah bahwa orang yang mencintaimu karena sesuatu akan meninggalkanmu ketika dia telah mendapat apa yang diinginkannya darimu.

Adapun cinta lainnya adalah cinta yang berlandaskan adanya kesamaan dan kesesuaian antara yang mencintai dan yang dicinta. Mahabbah al-isyq termasuk cinta jenis ini tidak akan sirna kecuali jika ada sesuatu yang menghilangkannya. cinta jenis ini, yaitu berpadunya ruh dan jiwa, oleh karena itu tidak terdapat pengaruh yang begitu besar baik berupa rasa was-was, hati yang gundah gulana maupun kehancuran kecuali pada cinta jenis ini.

Timbul pertanyaan bahwa cinta ini merupakan bertemunya ikatan batin dan ruh, tetapi mengapa ada cinta yang bertepuk sebelah tangan? Bahkan kebanyakan cinta seperti ini hanya sepihak dari orang yang sedang kasamaran saja, jika cinta ini perpaduan jiwa dan ruh maka tentulah cinta itu akan terjadi antara kedua belah pihak bukan sepihak saja?

Jawabnya yaitu bahwa tidak terpenuhinya hasrat disebabkan kurangnya syarat tertentu, atau adanya penghalang sehingga tidak terealisasinya cinta antara keduanya. Hal ini disebabkan tiga faktor ; Pertama: bahwa cinta ini sebatas cinta karena adanya kepentingan, oleh karena itu tidak mesti keduanya saling mencintai, terkadang yang dicintai malah lari darinya. Kedua: adanya penghalang sehingga dia tidak dapat mencintai orang yang dicintanya, baik karena adanya cela dalam akhlak, bentuk rupa, sikap dan faktor lainnya. Ketiga: adanya penghalang dari pihak orang yang dicintai.

Jika penghalang ini dapat disingkirkan maka akan terjalin benang-benang cinta antara keduanya. Kalau bukan karena kesombongan, hasad, cinta kekuasaan dan permusuhan dari orang-orang kafir, niscaya para rasul-rasul akan menjadi orang yang paling mereka cintai lebih dari cinta mereka kepada diri, keluarga dan harta.


TERAPI PENYAKIT AL-ISYQ

Sebagai salah satu jenis penyakit, tentulah al-isyq dapat disembuhkan dengan terapi-terapi tertentu. Diantara terapi tersebut adalah sebagai berikut:

1. Jika terdapat peluang bagi orang yang sedang kasmaran tersebut untuk meraih cinta orang yang dikasihinya dengan ketentuan syariat dan suratan taqdirnya, maka inilah terapi yang paling utama. Sebagaimana terdapat dalam sahihain dari riwayat Ibn Mas�ud Radhiyallahu, bahwa Rasulullah Shallallahu �alaihi wa sallam bersabda:

"Artinya : Hai sekalian pemuda, barang siapa yang mampu untuk menikah maka hendaklah dia menikah , barang siap yang belum mampu maka hendaklah berpuasa karena puasa dapat menahan dirinya dari ketergelinciran (kepada perbuatan zina)".

Hadis ini memberikan dua solusi, solusi utama, dan solusi pengganti. Solusi petama adalah menikah, maka jika solusi ini dapat dilakukan maka tidak boleh mencari solusi lain. Ibnu Majah meriwaytkan dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"Artinya : Aku tidak pernah melihat ada dua orang yang saling mengasihi selain melalui jalur pernikahan".

Inilah tujuan dan anjuran Allah untuk menikahi wanita, baik yang merdeka ataupun budak dalam firman-Nya:

"Artinya : Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah".[An-Nisa : 28]

Allah menyebutkan dalam ayat ini keringanan yang diberikannya terhadap hambaNya dan kelemahan manusia untuk menahan syahwatnya dengan membolehkan mereka menikahi para wanita yang baik-baik dua, tiga ataupun empat, sebagaimana Allah membolehkan bagi mereka mendatangi budak-budak wanita mereka. Sampai-sampai Allah membuka bagi mereka pintu untuk menikahi budak-budak wanita jika mereka butuh sebagai peredam syahwat, keringanan dan rahmati-Nya terhadap makluk yang lemah ini.

2. Jika terapi pertama tidak dapat dilakukan karena tertutupnya peluang menuju orang yang dikasihinya karena ketentuan syar�i dan takdir, penyakit ini bisa semangkin ganas. Adapun terapinya harus dengan meyakinkan dirinya bahwa apa-apa yang diimpikannya mustahil terjadi, lebih baik baginya untuk segera melupakannya. Jiwa yang berputus asa untuk mendapatkan sesuatu, niscaya akan tenang dan tidak lagi mengingatnya. Jika ternyata belum terlupakan, akan berpengaruh terhadap jiwanya sehingga semangkin menyimpang jauh.

Dalam kondisi seperti ini wajib baginya untuk mencari terapi lain yaitu dengan mengajak akalnya berfikir bahwa menggantungkan hatinya kepada sesuatu yang mustahil dapat dijangkau adalah perbuatan gila, ibarat pungguk merindukan bulan. Bukankah orang-orang akan mengganggapnya termasuk ke dalam kumpulan orang-orang yang tidak waras?

Apabila kemungkinan untuk mendapatkan apa yang dicintainya tertutup karena larangan syariat, terapinya adalah dengan mengangap bahwa yang dicintainya itu bukan ditakdirkan menjadi miliknya. Jalan keselamatan adalah dengan menjauhkan dirinya dari yang dicintainya. Dia harus merasa bahwa pintu kearah yang diingininya tertutup, dan mustahil tercapai.

3. Jika ternyata jiwanya yang selalu menyuruhnya kepada kemungkaran masih tetap menuntut, hendaklah dia mau meninggalkannya karena dua hal, pertama karena takut (kepada Allah) yaitu dengan menumbuhkan perasaan bahwa ada hal yang lebih layak dicintai, lebih bermanfaat, lebih baik dan lebih kekal. Seseorang yang berakal jika menimbang-nimbang antara mencintai sesuatu yang cepat sirna dengan sesuatu yang lebih layak untuk dicintai, lebih bermanfaat, lebih kekal dan lebih nikmat, akan memilih yang lebih tinggi derajatnya. Jangan sampai engkau menggadaikan kenikmatan abadi yang tidak terlintas dalam pikiranmu dengan kenikmatan sesaat yang segera berbalik menjadi sumber penyakit. Ibarat orang yang sedang bermimpi indah, ataupun menghayal terbang melayang jauh, ketika tersadar ternyata hanyalah mimpi dan khayalan, akhirnya sirnalah segala keindahan semu, tinggal keletihan, hilang nafsu dan kebinasaan menunggu.

Kedua keyakinan bahwa berbagai resiko yang sangat menyakitkan akan ditemuinya jika dia gagal melupakan yang dikasihinya, dia akan mengalami dua hal yang menyakitkan sekaligus, yaitu:gagal dalam mendapatkan kekasih yang diinginkannya, dan bencana menyakitkan dan siksa yang pasti akan menimpanya. Jika yakin bakal mendapati dua hal menyakitkan ini niscaya akan mudah baginya meninggalkan perasaan ingin memiliki yang dicinta.Dia akan bepikir bahwa sabar menahan diri itu lebih baik. Akal, agama , harga diri dan kemanusiaannya akan memerintahkannya untuk bersabar sedikit demi mendapatkan kebahagiaan yang abadi. Sementara kebodohan, hawa nafsu, kezalimannya kan memerintahkannya untuk mengalah mendapatkan apa yang dikasihinya . orang yang terhindar adalah orang-orang yang dipelihara oleh Allah.

4. Jika hawa nafsunya masih tetap ngotot dan tidak terima dengan terapi tadi, maka hendaklah berfikir mengenai dampak negatif dan kerusakan yang akan ditimbulkannya segera, dan kemasalahatan yang akan gagal diraihnya. Sebab mengikuti hawa nafsunya akan menimbulkan kerusakan dunia dan menepis kebaikan yang datang, lebih parah lagi dengan memperturutkan hawa nafsu ini akan menghalanginya untuk mendapat petunjuk yang merupakan kunci keberhasilannya dan kemaslahatannya.

5. Jika terapi ini tidak mempan juga untuknya, hendaklah dia selalu mengingat sisi-sisi kejelekan kekasihnya,dan hal-hal yang membuatnya dampat menjauh darinya, jika dia mau mencari-cari kejelekan yang ada pada kekasihnya niscaya dia akan mendapatkannya lebih dominan dari keindahannya, hendaklah dia banyak bertanya kepada orang-orang yang berada disekeliling kekasihnya tentang berbagai kejelekannya yang tersembunyi baginya. Sebab sebagaiman kecantikan adalah faktor pendorong seseorang untuk mencintai kekasihnya demikian pula kejelekan adalah pendorong kuat agar dia dapat membencinya dan menjauhinya. Hendaklah dia mempertimbangkan dua sisi ini dan memilih yang terbaik baginya. Jangan sampai terperdaya dengan kecantikan kulit dengan membandingkannya dengan orang yang terkena penyakit sopak dan kusta, tetapi hendaklah dia memalingkan pandangannnya kepada kejelelekan sikap dan prilakunya, hendaklah dia menutup matanya dari kecantikan fisik dan melihat kepada kejekan yang diceritakan mengenainya dan kejelekan hatinya.

6. Jika terapi ini masih saja tidak mempan baginya, maka terapi terakhir adalah mengadu dan memohon dengan jujur kepada Allah yang senantiasa menolong orang-orang yang ditimpa musibah jika memohon kepadaNya, hendaklah dia menyerahkan jiwa sepenuhnya dihadapan kebesaranNya, sambil memohon, merendahkan dan menghinakan diri. Jika dia dapat melaksankan terapi akhir ini, maka sesunguhnya dia telah membuka pintu taufik (pertolongan Allah). Hendaklah dia berbuat iffah (menjaga diri) dan menyembunyikan perasaannya, jangan sampai dia menjelek-jelekkan kekasihanya dan mempermalukannya dihadapan manusia, ataupun menyakitinya, sebab hal tersebut adalah kezaliman dan melampaui batas.

PENUTUP
Demikianlah kiat-kiat khusus untuk menyembuhkan penyakit ini. Namun ibarat kata pepatah: mencegah lebih baik daripada mengobati, maka sebelum terkena lebih baik menghindar. Bagaimana cara menghindarinya? tidak lain dengan tazkiyatun nafs.

Semoga pembahasan ini bermanfaat.

SAAT GALAU MENULISKAN SAJAK KEKECEWAAN

Tags
Oleh Inung Pratiwi
Flashback sebentar lah…dulu waktu q mau pndah kos, pengennya ada kaka2 angktan atau ga yang bias bimbing aqlah…tentu terutama dalam bidang agama…Nah waktu memutuskan pindah ke kos ini, banyak keuntungan yg didapat..slain hotspotan gratis, deket pula dr kampus. Setelah beradaptasi, q ktmu kamar sebelah yg pake jilbab gedhe..Dalm hati alhmdllillah lingkungan ckup kondusif.
Beberapa hari berlalu..koq q liat si mb tetangg kamarku itu pergi dijemput cowok..atau klo gay a diapeli di bawah…deket bget malah (duduke sampingan no jarak)..waktu itu ku piker, mb.e dah nikah..Trus ku tanya mb kos lain yg dah lma di situ..’Mb..mb sblah tu dah nikah ea??’..q Tanya g2.. trus jwab’Mb itu? 'Ea blum lah dek…’ Gubrak….berarti slama ini…hm….jd ada sdkit illfeal saat itu…
Next..ada satu cerita lagi…yg ini di lingkungan kampus..
Langsung ke intinya saja…Saya kenal dengan seorang sosok yg patut jd panutan, seorang pemimpin, bias dibilang seperti itu..beliau itu saya tahu sejak awal tahun ini…Awalnya beliau tak terlihat dengan siapapun, namun beberapa bulan terakhir, beliau terlihat dengan seorang cewek…Nah sampai situ ga masalah…Tapi beberapa waktu kemudian, saya tahu beliau menjadi seorang tutor, yang harusnya memang jadi panutan. Stelah banyak orang tahu  kalo beliau jadi tutor, kayaknya kedekatan itu agak berkurang, jarang juga melihat berduaan…Namun, akhir2 ini,,,kq terlihat dekat lagi ea…
Sbnarnya kn itu emang urusan pribadi orang ya..tapi ketika orang tersebut menjadi sosok, yang banyak dilihat orang,,terutama adek angkatan ea. Terus apa kata mereka…koq tutor punya pacar, klo tutor saya aja punya, kenapa saya ngg…Trus klo ditanya adek2nya gmn dung?? Nantinya akan muncul banyak kekhawatiran dan pikiran2 negatif…
(CUPLIKAN MESSAGES DARI ADIK YANG SANGAT SPESIAL)

Membaca tulisan itu seperti melihat diri saya 3 tahun yang lalu. Saya seperti orang bodoh yang terjebak. Orang-orang berwajah malaikat itu terlihat seperti monster seketika. Masak melakukan hal yang menurut saya sepele saja tidak bisa. Illfeal seketika. Kabuuuurrrr….. *Gubrakk!!!*

AKU KECEWA!!!

Woi!!!... Please deh. Loe berubah karena apa? Untuk siapa?
Untuk para manipulator itu? Baiklah silakan menikmati kekecewaan sepanjang hayat.

Tetapi adikku, sungguh apakah engkau rela waktumu habis hanya untuk sebuah kekecewaan? Jika mau mencari, sangat banyak sekali celah dan kurang karena mereka adalah manusia-manusia biasa yang terus berproses menjadi baik dan ingin mengajakmu menjadi baik pula.

Tapi mereka itu sosok. Orang akan melihat kepadanya.
Lalu apakah dia tidak boleh salah sedangkan Allah tidak menghilangkan nafsu dalam dirinya setelah ia menjadi orang-orang hebat? Keadaan setiap orang itu berbeda dan selamanya tidak bisa disamakan. Ada orang yang baru bisa kita ajak naik ketangga pertama tapi ada juga yang sudah bisa langsung ke tangga 10. Lha wong sudah di tangga ke 9. It’s so simple bagi dia. Dan walaupun kita melihatnya antara 1 dan 10 tapi ternyata mereka sama-sama naik satu tingkat bukan? Tentu butuh waktu yang lebih lama untuk orang yang berangkat dari titik 0 menuju tangga ke 10. Bukan berarti kita memaklumi diri lho ya? Bagi kita yang berangkat dari titik 0 kita harus berlari untuk mengejar ketertinggalan. Iri nggak sih, umur sama-sama 18 tahun tapi dia sudah hafal Al-Quran dan menikmati Islam sedang kita masih jatuh bangun membangun keimanan? Tapi, peluh itu, dik… tidak setetes pun yang Allah lewatkan.
 Jadi, akan lebih bijak kalau kita melihat progresnya bukan membandingkannya dengan keadaan ideal. Mengajak orang pada kebaikan itu tidak bisa diartikan mengajaknya pada kebaikan ideal. Mengajak orang pada kebaikan itu mengajaknya pada kebaikan ideal berdasarkan realitasnya. Misal nih, ada seseorang yang selama 18 tahun usianya dia belum mengenal Islam. Dua tahun yang lalu setelah dia kuliah akhirnya ia memutuskan untuk memeluk islam dan memperbaiki diri (Kita tidak pernah tahu Allah menyampaikan hidayahnya kepada siapa). Dia aktif di banyak organisasi, bahkan menjadi pemimpin keren di organisasi itu. Dia juga menjadi tutor untuk menyampaikan ilmu sederhana yang ia miliki. Tapi, tentu tidak mudah merubah kebiasaan yang terbentuk selama 18 tahun dalam waktu 2 tahun saja. Terkadang tanpa sadar kebiasaan-kebiasaan buruk yang sudah dilarang muncul bisa secara spontan akan terhidang tanpa sadar. Adilkah kita menghakiminya? Adilkah kekecewaan itu kita sampaikan kepadanya? Jika kita melihat diri kita sendiri, tidakkah diri ini lebih mengecewakan karena selama 18 tahun berIslam belum berbuat apa-apa?

Tapi kenapa mereka harus seperti itu. Kalau memang belum baik kenapa harus pura-pura baik? Kenapa harus berpura-pura dihadapan orang yang tidak mengerti apa-apa? Seperti pembohong!
Sungguh adikku… sedikit pun tidak ada niat mereka untuk menjadi manipulator yang memakaikan topeng keindahan pada wajah buruknya, yang memakai pakaian putih suci meski hati lebih kotor dari kubangan lumpur. Itulah keterbatasan. Kalau kita menunggu semua kita baik, apakah kau ingin menyaksikan kehidupan ini hancur sebelum kita berbuat apa-apa? Kalau mereka mengeluarkan wajah-wajah monster menakutkan, engkau akan lari sebelum engkau tersentuh dengan kebaikan yang ingin mereka sampaikan. Bukankah penjual itu juga akan menyimpan barang dagangannya yang busuk? Harapannya si pembeli tak akan mendapatkan barang busuk yang merugikan itu. Kalau pun ada jualan busuk yang ternyata ketinggalan dan akhirnya diambil pembeli, itu adalah keterbatasan penjual. Percayalah… yang mereka niatkan hanya ingin mencelupkanmu pada samudra kebaikan itu.

Tapi… tapi… tapi… Ya Allah… bahkan mereka tidak bisa mempertanggungjawabkan ilmu sederhana yang mereka sampaikan.
Jangan sekali-kali berfikir mereka berani menyampaikan karena mereka sudah benar-benar baik 100%. Mereka sama seperti dirimu. Belajar. Bedanya, mereka mempunyai kesempatan untuk mengenal belajar lebih dulu. Dan kini mereka memperkenalkannya kepadamu. Kembali lagi pada kondisi manusia yang berbeda. Ibaratnya, mungkin gizi yang kita dapatkan sama tapi kebermanfaatan bagi tubuh itu bergantung kita mencerna, menyerap dan mendistribusikannya. Dan itu sangat dipengaruhi oleh organ tubuh kita. Sehat atau sakitkah?
Mungkin ilmu yang kita dapat sama, kesempatan belajar kita juga sama, tapi hidayah itu hanya Allah sampaikan pada orang-orang pilihan. Inilah yang membedakan akankah ilmu itu hanya menjadi teori atau masuk ke hati dan teraplikasi. (semoga kita termasuk orang-orang pilihan itu)

Trus, kita g boleh kecewa?
Kecewalah… kecewalah sebanyak-banyaknya. Konsekuensinya semakin banyak kekecewaan, semakin banyak tuntutanmu atas kebaikan orang lain maka target kebaikan untuk dirimu harus lebih tinggi daripada tuntutanmu terhadap orang lain. Fairkan? Disinilah kecerdikan kita berperan. Bagaimana memanfaatkan kondisi buruk untuk menjemput kebaikan. Masih percayakan bahwa semua yang Allah hidangkan itu tidak lain hanyalah kebaikan? So, let’s go!

Hemmm… takut berubah…
Husttt… orang kok takut masuk syurga!
Terkadang tuntutan-tuntutan dari saudaramu lebih besar dari apa yang engkau mampu. Apapun keadaannya jangan melakukannya hanya untuk orang lain, hanya karena tuntutan-tuntutan itu. Sehingga tanpa sadar kau akan menjadi manusia bermuka dua. Baik dihadapan orang lain tapi tidak bisa mempertanggungjawabkan kebaikan itu ketika sendiri. (Ini yang sering buat saudara kita akhirnya kecewa). Padahal, pernahkah kita temukan diri kita benar-benar sendiri? (Allah Maha Melihat). Bersabarlah dalam berproses karena berubah itu tidak sekedar memanjangkan jilbab, tidak sekedar selalu memperlihatkan senyum. bukan juga pandai beracting lemah lembut. Bawalah diri kita pada dimensi yang lebih tinggi. Bagaimana setiap apa yang kita lakukan mempunyai nilai di hadapan Allah. Kebaikan kita pada sesama belum tentu membawa kebaikan di hadapan Allah (Waspadai sombong, riya, ujub, dan sum’ah). Tapi, kebaikan kita yang tertuju pada Allah pasti akan membawa kebaikan kepada sesama.
Wallahu a’lam
(Ditulis saat teman-teman mungkin sedang menunggu kedatangan saya di sudut yang lain. Forgive me?! Akan saya coba kembali normal secepatnya.)

Bola Oh Bola...

Tags

Oleh Inung Pratiwi
Teman Saya: "nung..aku nnton bola. mmm..."
Saya: "kok g kedengeran?"
Teman saya: "msih iklan..ntr bru heboh lg"
Saya : "baiklah"
Teman saya: "msih berat utk ga nnton nung"
Saya: "saya cukup paham. jadi jangan melihat saya yang bisa tenang di kamar"
Teman saya: "mksi marin"
Saya: "Yuhuu.... habis itu harus nyesel lho ya?! Karena malaikat mencabut nyawa kita lebih cepat dari satuan waktu terkecil.
Teman saya: "...................."
(original messages)

Teman saya ini sangat hobi dengan sepak bola walaupun dia dilahirkan sebai makhluk yang seharusnya senang melihat pagelaran tari atau demo resep masakan. Jam berapa pun ada pertandingan sepak bola, dia akan nonton. (agak lebay. sebenernya dia suka ketiduran).
Adakah yang salah dengan onton bola? Tentu saja. Minimal 2 x 45 menit plus 10 menit waktu kita habis sia-sia. bisa buat melahap 2 juz tuh.
"tapikan bisa buat refreshing. seru!"
Saya yakin sanggahan ini akan saya dengar dari orang yang benar-benar maniak bola. saya juga mau ngeles ah..
"Masak? bukannya bikin stres ya? selama 2 x 45 menit pikiran kita tegang menyaksikan 22 orang memperebutkan sebuah bola dan menanti ke gawang mana dia akan masuk. tambah stres lagi saat kenyataan mengharuskan kita merasakan kekecewaan yang teramat sangat karena tim yang kita dukung kalah."
"Kamu tidak akan bisa mengerti sensasi yang luar biasa saat menonton bola."
"Karena kamu memaklumkan dirimu untuk menikmatinya."
 Sudahlah tidak akan habis perdebatan ini jika di teruskan karena kita berbeda. bukan karena aku hamba yang taat sedang para pencinta bola itu hamba yang membangkang. sama sekali bukan. perbedaan itu terletak pada start kita.
Saya orang yang g suka bola. Tanpa perjuangan pun saya bisa menjauhinya. Bahkan tertarik pun tidak. Jadi, apakah ini nilai plus untuk saya? tentu saja Allah yang memberi kemudahan.
Untuk para pecinta bola. lihatlah... betapa ini adalah kesempatan besar untuk berjuang melawan keinginan yang dibisikkan oleh nafsu. Bukankah ini nilai Plus? (asal jangan malah terbawa untuk menikmatinya aja).
Berhentilah berpatok pada hasil. lihatlah proses yang mungkin dilalui sampai berguling-guling dan terjungkal-jungkal.
Mungkin akan kita temui nilai dua orang itu sama 90. Tapi apa artinya nilai 90 kalau tanpa belajar pun dia bisa mendapatkannya. bandingkan dengan orang kedua yang harus mengangkat nilai yang awalnya 30 menjadi 90. sungguh keberhasilan yang luar biasa bukan?
Setiap manusia diberi ujian pada sisi yang berbeda. kekurangan dan kelebihan yang berbeda pula. di sinilah kita dituntut untuk bijak.
Teman... jangan posisikan aku pada posisimu. Aku pun tak bisa mengharuskanmu berada di posisiku. Karena keadaan kita berbeda. fungsi kebersamaan kita adalah bagaimana kita saling mengambil hikmah untuk berjalan beriringan  menuju kebaikan yang sama. Mardhatillah....(akhir-akhir ini sering dengar kata ini dari teman. kebawa juga di tulisan)
(tulisan ini bukan bermaksud untuk memaklumi orang-orang yang suka nonton bola dan nggak merasa rugi melakukannya)

Laman