Rabu, 04 Mei 2011

Menuju demokrasi dengan pendidikan

Tags

Masyarakat madani berasal dari kata madinah, sebuah kota yang sangat sejahtera dengan masyarakatnya yang saling menghormati, sangat taat terhadap aturan yang dibuat oleh pemimpinnya yaitu Rasulullah Muhammad Saw, dan menjadi sebuah idaman bagi semua orang untuk membentuk negara yang demikian itu.

Bagi saya masyarakat madani adalah masyarakat dimana setiap induvidu baik itu berhubungan dengan sesamanya maupun negara, sama-sama saling mendukung dan melindungi dalam kehidupan. Tidak kemudian diantaranya timbul sebuah kres yang dapat menimbulkan konflik. Demokratisasi mungkin menjadi sesuatu yang sangat ideal dan sangat perlu untuk diwujudkan. Sayangnya ini menjadi sebuah tujuan yang terlalu muluk-muluk. Banyak negara yang bertujuan menciptakan negara yang demokratis namun ternyata terjebak dengan arti demokratis itu sendiri, terjebak dalam arti demokrasi yang sangat sempit, "kebebasan." Kebebasan  ini pula yang pada akhirnya menimbulkan konflik diantara individu. Bahkan kita bisa melihat Libya yang mesih bergejolak mengidamkan negara yang demokratis, Mesir bagi saya yang belum terlihat ujung dari demokratis itu, dan Indonesia hampir 13 tahun sejak reformasi ternyata belum menunjukkan demokrasi yang diidam-idamkan. Sesungguhnya seperti apa sih demokrasi itu? Dan apa kaitannya demokrasi dengan masyarakat madani?

Masyarakat itu adalah kumpulan dari manusia-manusia yang mendiami suatu tempat untuk menyelenggarakan suatu kemasyarakatan yang bertujuan menciptakan kesejahteraan. Kesejahteraan itu hanya dapat terwujud ketika diantara mereka saling memahami satu dengan yang lain, karena mereka adalah makhluk sosial. Seperti pendapat Al Ghazali dan Al Farabi, manusia adalah makhluk sosial, dia mempunyai kecendrungan alamiah untuk hidup bersama dalam masyarakat. Karena mereka tidak mungkin hidup sendiri untuk memenuhi kehidupannya. Bahkan firaun saja yang mengaku sebagi Tuhan, memerlukan orang lain untuk membangun piramida yang sangat besar bahkan untuk menyiapkan makan dan minumannya pun membutuhkan orang lain. Jelas sekali bahwa manusia itu adalah makhluk sosial yang membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Sehingga menjadi hal yang wajib untuk berkumpul membentuk sebuah masyarakat yang sejahtera. Sejahtera inilah yang kemudian menjadi konsepsi awal kebebasan yang salah kaprah, yang kemudian menimbulkan konflik antara individu dengan individu dan dengan negara.

Ketika menuliskan kata konflik, saya teringat tentang teori konflik Ralf Dahrendorf seorang ahli sosiologi Jerman, yang menganggap masyarakat bersisi ganda, memiliki sisi konflik dan sisi kerja sama. Jika kita telaah, mungkin kita bisa menemukan sesuatu dibalik maksud yang disampaikan Ralf. Ternyata konflik tidak bisa lepas dari cara untuk menciptakan negara yang demokratis. Namun terkadang inilah yang menjadikan sebuah negara tidak mampu membangun sebuah negara yang demokratis, karena terjebak pada kata kebebasan yang tersirat dalam kata demokratis.

Bagi saya yang menjadi titik tolak menjadikan negara demokratis adalah, ketika negara itu berisikan masyarakat yang berkebudayaan dan berpendidikan. Maksudnya, ketika orang tersebut berpendidikan tidak bererti pula ia berkebudayaan, namun ketika ia berkebudayaan, maka sudah pastilah ia berpendidikan. Karena ia memperoleh pendidikan dari lingkungan keluarga dan lingkungan sekitarnya, namun secara khusus saya lebeh cenderung lingkungan keluarga yaitu ibu. Proses pendidikan bukan pada saat berkembangnya janin dalam kandungan, melainkan telah sejak awal terbentuknya manusia itu sendiri. Proses itulah yang menentukan bagaimana perkembangan pendidikan informal anak. Oleh karenya kita sangat perlu memproses diri menjadi pribadi yang bernilai, bermoral, tentu berkebudayaan. Sehingga sangat jelas, demokratis sesungguhnya bukan dihasilkan dari konflik atau peperangan, melainkan pada sebuah proses pendidikan itu sendiri. Dengan demikian seseorang akan bisa lebih memahami sejahtera itu, tentu pula dengan kebebasan itu sendiri. Allah telah menciptakan kehidupan ini sangat harmonis, ketika ada lelaki pasti ada perempuan, ketika ada langit pasti ada bumi, ketika ada sedih, ternyata ada bahagia. Kita perlu sangat mensyukuri betapa nikmatnya kebebasan yang kita nikmati ini. Kita bebas berkomunikasi dengan Allah kapanpun, 24 jam non stop jika kita mau. Kita bebas untuk menghirup udara segarnya bahkan gratis. Sungguh betapa Allah telah mencontohkan pada hambanya tentang konsepsi masyarakat madani yang tersirat dalam kalamnya. Bagaimana keharmonisan itu tercipta bukan dari peperangan, melainkan dari ilmu.

Maka akhir dalam tulisan ini saya ingin menegaskan bahwa saya sepakat dengan pendapat Ralf Dahrendorf tentang masyarakat bersisi ganda, memiliki sisi konflik dan sisi kerja sama. Namun yang perlu dikoreksi adalah bahwa tidak semua konflik diartikan sebagi perang seperti yang sering terjadi dewasa ini. Bahwa tidak kemudian perang itu menjadi pencipta sebuah negara yang demokratis, melainkan hanya menciptakan demokratis yang menakutkan. Tidak menjadikan pula saya menyatakan perang itu salah, karena tidak dipungkiri Indonesia pun merdeka dengan perjuangan yang sangat melelahkan bahkan banyak yang gugur dalam memperjuangkan kemerdekaan itu. Hanya saja yang perlu dipahami adalah proses pendidikan itu adalah sebuah konsepsi yang perlu kita jadikan referensi sebagai cara menciptakan masyarakat madani. Masyarakat yang demokratis yang diidamkan oleh banyak orang.

Juga dimuat di http://azamarfa.blogspot.com/ dengan judul "Konsep proses pendidikan sebagai solusi dari konflik"


EmoticonEmoticon

Laman