Oleh: Budi Bombastis (Budi Sulaiman)
Kuliah di UNY bukanlah hal yang mudah bagiku. Mengapa demikian? Dari awal sekolah dulu memang tidak pernah ada keinginan bagiku untuk kuliah. Selain karena biaya mahal, aku juga ingin cepat-cepat mendapat kerja agar aku bisa membantu ibuku mencari nafkah.
Ibuku harus berjuang sendirian setelah Bapak meninggal tahun 2009 lalu. Dia terus berjuang meski kadangkala sakitnya tak bisa dia tahan. Sungguh kasihan ketika mendengar ceritanya setiap hari berjalan kaki menuju sekolah dengan jarak yang cukup jauh. Apalagi kakinya kini juga tidak bisa berjalan dengan maximal, melainkan harus terpincang menahan sakit. Pernah dia juga menyembunyikan sakitnya akibat jatuh saat memintakan tanda tangan ke Kantor Desa agar aku mendapatkan beasiswa. Aku menagis saat mengetahui kabar itu darinya. Selain itu, aku memang bukan berasal dari golongan orang berpunya melainkan menengah kebawah. Dari 5 orang anak hanya 1 yang sudah bekerja, yaitu kakak perempuan. Kakak pertamaku sampai saat ini masih menderita gangguan jiwa sejak 8 tahun lalu. Kakak perempuan yang satu membantu ibu dirumah dan adikku masih dalam proses mencari pekerjaan. Kadangkala aku merasa roda kehidupan ini benar-benar dibawah dan sulit untuk kuputar ke atas. Inilah yang membuatku dulu berfikir untuk mencari pekerjaan daripada kuliah.
Tapi almarhum Bapak berkeinginan agar aku menjadi guru. Makanya aku ikut SNMPTN untuk mengambil jurusan Pendidikan Sosiologi Universitas Negeri Yogyakarta. Alhamdulillah meski aku bukan orang yang pandai, aku masih bisa diterima di UNY ini. Mungkin inilah kehendak Tuhan, begitulah yang terfrikir olehku. Jadi, sampai kapanpun aku pasti akan terus memperjuangkan masa depan ini demi mereka semua.
Bila kuingat, masa Sekolah Dasar adalah masa keemasan dimana aku dapat mengenyam pendidikan dengan baik juga diimbangi prestasi yang lumayan. Akan tetapi semua berubah saat masa putih biru melanda. Prestasi jeblok juga dengan arah hidup yang makin tak jelas. Saat aku ingat kebelakang ternyata hal ini ada kaitannya dengan kehidupan agamaku sehari-hari. Aku dulu jarang sekali melaksanakan sholat, apalagi sholat jama’ah. Bahkan saat kumandang adzan sholat jum’at bergema, aku bukannya bersiap-siap malah mengunci diri di kamar untuk tidur. Begitulah masa suramku di SMP dengan label siswa yang selalu remidi di setiap mata pelajaran kecuali Bahasa Indonesia. Kehidupan demikian masih terus berlanjut hingga SMA kelas 1.
Masa putih abu-abu masa paling indah, begitu katanya. Tepatnya kelas 2 SMA aku mulai menemukan sebuah cahaya penuntun hidup. Semua berawal dari kumpulan beberapa orang yang menamakan diri mereka ROHIS. Sebuah organisasi kerohanian Islam yang menyeretku kedalam kebaikan, membawaku dalam Kehidupan yang lebih tertata. Berawal dari ajakan teman satu kelas yang memintaku bergabung di ROHIS yang sudah vacuum setahun. Aku sempat berfikir, kenapa orang seburuk aku yang tak pernah sholat, tak bisa baca Al Qur’qn dan tak tahu sedikitpun ilmu agama diajak pada organisasi kumpulan orang-orang mulia. Pantaskah?? Tapi inilah yang mungkin disebut dengan hidayah.
ROHIS memberiku banyak sekali pelajaran hidup. Bukan orang yang pintar agama ternyata yang dibutuhkan, melainkan orang yang senantiasa mau memperbaiki diri. Bukan ilmu agama yang sering diajarkan, melainkan nilai kehidupan sesekali diselipkan. Siapa yang menolong agama Allah, maka Allah akan menolong dia. Begitulah kata-kata yang senantiasa aku sering dengar. Satu lagi adalah bahwa ketika kita duduk seharian di kelas ternyata belum tentu ilmu itu akan kita dapati. Mengapa demikian? Ya, karena ilmu adalah hak Allah. Dimanapun kita berada, jika Allah ingin maka bisa Dia berikan pada kita. Bisa saja ilmu itu diturunkan pada kita saat kita sholat berjama’ah, tilawah, berkumpul dalam majelis, dll. Inilah yang aku buktikan, berbekal dua petuah tadi, Alhamdulillah aku bisa mendapatkan juara 1. Sungguh bonus yang luar biasa dan tak pernah terfikir olehku. Padahal waktu jarang kuhabiskan untuk belajar,melainkan untuk mengurusi kambing-kambing peliharaanku dirumah. Namun inilah Allah yang tak pernah ingkar dengan janjinya.
Bonus dari-Nya tak berhenti disitu, melainkan saat aku berhasil lolos tes SNMPTN yang aku fikir soalnya sangat sulit. Bahkan aku tidak bisa mengerjakan soal-soal itu kecuali Bahasa Indonesia. Sungguh nikmat Allah sangatlah banyak. Dulu aku juga sempat putus asa, dan ingin mundur dari kuliah karena biaya awal masuk cukup tinggi sampai berjuta-juta. Kondisi keuangan keluarga memang tidak memungkinkan, bahkan aku sempat berkata “aku tidak kuliah tidak apa-apa bu”. Namun ibu tetap bersikeras agar aku bisa kuliah. Akhirnya dengan pinjam sana-sini aku bisa belajar disini.
Hingga waktu mempertemukanku kembali dengan ROHIS. UKMF JM AL ISHLAH itulah namanya. Aku bertemu dengan orah baik hati dan hebat seperti Mas Yana, Mas Iman, Mas Arif, Mas Panca, dll. Sungguh aku belajar banyak hal disana. Dari hal yang tidak kutahu hingga akhirnya aku bisa tahu. Dari Budi yang pendiam dan pemalu, menjadi Budi yang bisa menempatkan sikap pendiam dan pemalunya itu. Meski kadang juga ada orang yang kurang suka dengan ROHIS, namun aku tak bisa sekalipun membencinya. Bagaimana tidak? ROHIS yang telah merubah hidupku dari yang semrawut menjadi lebih teratur. Dari yang buram menjadi sedikit terang. Sungguh tak sedikitpun aku bisa membanci organisasi ini, melainkan cintaku semakin tinggi.
Akan tetapi, dalam hidup tentulah banyak sekali cobaan. Kejenuhan juga senantiasamenyertai aktifitas kita semua, termasuk jenuh dalam kehidupan ini. Aku juga sering merasakan itu dalam hidupku. Namun ketika kuingat perjuangan orang tau yang sangat besar, maka aku selalu berfikir bahwa aku tidak boleh berhenti disini.
Kadang aku merasa kehidupan ini sangat berat, namun kuingat bahwa hidup penuh perjuangan bukan berpangku tangan. Kadang kufikir Allah terlalu berat membarikan cobaanya pada keluargaku, namun kuingat tiada beban tanpa pundak. Bahkan musibah yang menimpa keluargaku bertubi-tubi, kadankala membuatku frustasi. Mulai dari Ibu sakit, Bapak sakit hingga meninggal, Kakak yang mengalami gangguan jiwa, rumah yang rusak hingga kesulitan ekonomi, semuanya membuatku menangis. Aku merasa roda ini selalu dibawah dan sulit untuk berputar ke atas. Namun perlahan aku mulai sadar, mungkin akulah yang diutus Allah untuk memutar roda itu ke atas. Oleh karenanya aku tidak boleh berputus asa.
Bapak yang sudah banyak mengajarkanku arti kehidupan. Bagaimana menjadi lelaki yang tangguh dan tahan banting. Sedari kecil aku memang sudah diajarkan untuk bekerja keras. Mulai dari mencari rumput hingga mengurus sawah. Alhamdulillah, melalui kambing peliharaanku aku bisa sedikit meringankan biaya kuliah. Begitulah liku-liku kehidupan yang mana kita harus lalui. Kita harus hayati dan kita harus nikmati. Aku yakin asam, asin, manis, pedas kehidupan ini adalah sebuah jalan yang akan membuat kita semakin dewasa dan cakap dalam bertindak. Beginilah hidup dengan dinamikanya. Dibawah dan diatas adalah fitrah yang harus dijalani bukan disesali. Meski tak kupungkiri berbagai masalah juga membuatku frustasi. Tapi ingatlah keluarga saat kejenuhan itu datang untuk mengusir segala fikiran tak bermanfaat itu.
Nelayan ulung tidak lahir dari lautan yang tenang, melainkan dari lautan penuh ombak besar dan badai. Suatu saat kita pasti akan tahu jalan yang sudah Allah pilihkan untuk kita. Kita akan pahami semua itu. Nikmati, hayati, dan jalanilah hidupmu sesulit apapun itu. Karena aku yakin setiap orang berhak untuk bahagia, termasuk aku, kamu, dan kita semua.
Yogyakarta, 5 Februari 2013
Senja di Langit Jogja
EmoticonEmoticon