Oleh Inung Pratiwi
Membaca tulisan pak Anatoli Kasparov Putu Abdullah yang berjudul “Yang Terlupakan Di jalan (Pergerakan) Dakwah”. Seketika ‘cling’ muncul pertanyaan yang cukup membuat jantung saya berdebar dan gemuruhnya tak mungkin terwakilkan lewat kata “Sudahkah saya berjalan di jalan Dakwah ini?”
*****
…namun seakan-akan teman-teman seperjuangan atau pregerakanya (baca: organisasinya) dimana Ia mengabdikan diri terlihat tidak peduli dan malah meninggalkanya sendiri. Mungkin Ia merasa menjadi orang yang terlupakan, terpinggirkan.
Awalnya saya sangat suudzan dengan yang namanya ukhuwah. Sikap lemah lembut dari mbak-mbak itu saya anggap sebagai jebakan yang menjerumuskan. Tidak murni, tidak tulus. Banyak untuk dulu dan sedikit untuk sekarang, sebisa mungkin saya menghindar dari forum galau yang berkedok ukhuwah. Dan proses pencarian ukhuwah itu benar-benar terputus karena satu sahun saya habiskan untuk menjauh. Dadaaahhh…
Hingga akhirnya saya dapat ceramah panjang lebar dari teman satu kamar (dulu) yang sempat membuat saya sesak untuk menyadari satu hal.
“Mungkin kamu bisa melakukan apapun sendiri. Kamu tidak butuh bantuan mereka. Tapi tanpa sadar kamu sendiri yang membuat orang-orang itu menjauh enggan. Mintalah bantuan pada saudaramu meski kamu tidak membutuhkannya karena itu yang membangun komunikasi diantara kalian. Ceritakanlah sesuatu yang membuatnya merasa kamu telah membuka pintu persaudaraan itu secara utuh meski sebenarnya kamu tidak ingin bercerita karena itu yang akan menciptakan percakapan hati-hati kalian”
Ahh… ukhuwah itu, bahkan tak lebih dari seujung kuku yang saya mengerti.
Andai saja saya tidak bertemu antum pasti saya sudah lulus dan berprestasi secara akademik
Tanpa menghubungkan dengan ukhuwah yang belum saya fahami secara utuh, kalimat serupa tapi tak sama sempat pula saya lontarkan kepada pemandu tahfidz saya beberapa tahun lalu ketika beliau menprotes setoran yang malam itu sangat sedikit akibat ke-GJ-an setelah melihat KHS. Jawaban sederhana beliau cukup membuat saya berusaha untuk mengikhlaskan 0,5 IP saya pergi. Slamat tinggal IP menjulang.
“Tentu konsekuensi mendapatkan sesuatu itu harus mengorbankan sesuatu pulakan? Nah bagaimana pinter-pinternya inung mengaplikasikan teori portofolio untuk mencari return maksimal dan risiko seminimal mungkin. Dan ingat, bagaimanapun pandainya inung menyusun portofolio, inung tidak akan pernah bisa membuat risiko itu menjadi nol. Karena kamu tidak bisa menghilangkan risiko pasar yang diluar kendalimu.” (perasaan, si mbak jurusan Psikologi deh. Kenapa yang dipake teori pasar modal?)
Dan beberapa hari yang lalu saya mendapat teori baru dari ahli fisika yang tinggal di kamar sebelah bahwa rejeki manusia itu sama 100%. Yang membedakan adalah presentase dari macam-macam rejeki yang menjadi bagian kita. Dari sini kembali diajari bersyukur bahwa rejeki bukan hanya yang terlihat. (bagi yang ingin penjelasan teori ini lebih lanjut silakan hubungi pihak yang bersangkutan)
Spirit pergerakan kita adalah spirit barisan yang rapi, disiplin dan saling mengerti antara siapa disamping, depan dan belakang dalam barisanya (saling peduli).
Jlep… antara kapan dan kapan saya memilikinya? Entahlah, menyebutkan satuan detik pun saya tidak berani. Saling peduli? Bahkan saya tidak tahu dia sekarang dimana dan bagaimana keadaannya.
Spirit barisan semestinya membawa pada perencanaan yang matang, terukur dan sistematis. Tidak bergerak secara sporadis tanpa adanya roadmap (peta jalan) yang jelas.
Yupz… untuk point ini saya selalu mempertanyakannya. Bukankah kita selalu menyediakan waktu khusus untuk merencanakannya? Tapi kenapa begini pada akhirnya? Dan saya baru mendapatkan jawabannya pada mata kuliah system pengendalian manajemen (SPM) minggu lalu bahwa salah satu keterbatasan perencanaan strategi adalah “Selalu ada bahaya bahwa perencanaan berakhir hanya sebatas pengisian formulir dan latihan birokrasi, tanpa pemikiran strategis. Sehingga pada akhirnya perencanaan strategis itu hanya sebuah proses yang memakan waktu dan mahal.” Saat perencanaan, semua-mua dimasukkan bahkan yang sebenarnya itu tidak perlu. Sampai-sampai kita tidak sadar bahwa kita telah menghabiskan banyak waktu untuk mengisi formulir dan bukannya memikirkan secara mendalam mengenai alternatif-alternatif dan memilih yang terbaik diantaranya.
Spirit “Kader” semestinya membawa setiap aktivitas yang dilakukan oleh anggota dilakukan dengan penuh tanggungjawab, peduli, rasional dan sesuai nilai-nilai yang digunakan oleh pergerakannya. Namun sebaliknya pergerakan (baca: Organisasi) semestinya juga memiliki tanggungjawab, perhatian, dan kepedulian terhadap kondisi anggota-anggotanya.
Untuk point ini, hehehe… saya masih sangat-sangat butuh untuk belajar. Tidak ingin meminta pemakluman karena manusia seperti saya memang butuh paksaan. Hemmm…
Dan ibarat sebuah kumpulan buku cerita tentang kealpaan, semoga cerita diatas adalah kisah dihalaman terakhir.
Saya sangat berharap ini akan terjadi. Tapi rasionalnya ini sangat mungkin menjadi halaman terakhir di buku anda tapi tidak untuk generasi anda selanjutnya. Biarkan ia merasakan kealpaan jika harus alpa sebagai sifat alami seorang pembelajar meski bukan berarti kita memaklumi kealpaan sebagai sifat dasar manusia.
Untuk kultur yang terlupakan, sepertinya butuh strategi khusus memang. Entah apa yang berbeda tapi memang ada perbedaan generasi sekarang dan terdahulu (tidak bisa membandingkan sendiri karena generasi terdahulu yang lebih merasakan). Bisa jadi ini permasalah aktor yang tak terselesaikan atau memang antara permasalahan aktor dan kultur ada hubungan timbal balik yang sangat erat?
Ya, tak ada tabayun yang sehat tanpa ukhuwah yang sehat pula. Meski tidak semua kita merasa tapi sebagian besar akan menjawab ‘ya’ untuk pertanyaan “apakah anda enggan untuk mentabayunkan masalah ini dengan yang bersangkutan?” akhirnya, bisik-bisik itu terjadi yang semakin memperparah kondisi ukhuwah dengan prasangka yang menjatuhkan. Kalau sudah begini, bagaimana nasehat-menasehati bisa berfungsi? Bahkan, sebelum proses tabayun itu difungsikan, sudah seenaknya memutus persaudaraan. It’s true story! beneran, Saya lagi nggak mau ngibul. Ekhmmm…. Jadi inget parakgraf akhiran artikel yang bersumber dari http://www.fimadani.com/articles/tsaqafah/dakwah/
“Begitu banyak da’i yang berdakwah semata atas dasar ashabiyah. Faktanya, banyak da’i merasa kecewa ketika orang yang mereka rekrut itu akhirnya memilih metode dakwah lain yang tidak sama dengan metode perekrutnya. Bukankah ini petunjuk kecil bahwa rekrutmen itu hanya dimaksudkan untuk mengajak seseorang pada suatu kelompok? Bukan menuju Islam yang sesungguhnya amat luas dan syamil?” Wallahua’lam.
Ini curhatku. Mana curhatmu? (sedia payung sebelum basah dikritik pak Triyanto P Nugroho)
Note: Tulisan ini tidak bermaksud untuk memperdebatkan tulisan yang berjudul “Yang Terlupakan Di jalan (Pergerakan) Dakwah” . Karena sangat nggak nyambung kalau dikatakan sebagai ketidaksepakatan. Ijin memanfaatkan beberapa kalimat yang mengispirasi pak Anatoli. Jangan katakan ‘tidak’ ya?! Karena sudah saya lakukan. Katakan saja ‘ya’ agar saya tidak berdosa meski itu sebuah pemaksaan.
Membaca tulisan pak Anatoli Kasparov Putu Abdullah yang berjudul “Yang Terlupakan Di jalan (Pergerakan) Dakwah”. Seketika ‘cling’ muncul pertanyaan yang cukup membuat jantung saya berdebar dan gemuruhnya tak mungkin terwakilkan lewat kata “Sudahkah saya berjalan di jalan Dakwah ini?”
*****
…namun seakan-akan teman-teman seperjuangan atau pregerakanya (baca: organisasinya) dimana Ia mengabdikan diri terlihat tidak peduli dan malah meninggalkanya sendiri. Mungkin Ia merasa menjadi orang yang terlupakan, terpinggirkan.
Awalnya saya sangat suudzan dengan yang namanya ukhuwah. Sikap lemah lembut dari mbak-mbak itu saya anggap sebagai jebakan yang menjerumuskan. Tidak murni, tidak tulus. Banyak untuk dulu dan sedikit untuk sekarang, sebisa mungkin saya menghindar dari forum galau yang berkedok ukhuwah. Dan proses pencarian ukhuwah itu benar-benar terputus karena satu sahun saya habiskan untuk menjauh. Dadaaahhh…
Hingga akhirnya saya dapat ceramah panjang lebar dari teman satu kamar (dulu) yang sempat membuat saya sesak untuk menyadari satu hal.
“Mungkin kamu bisa melakukan apapun sendiri. Kamu tidak butuh bantuan mereka. Tapi tanpa sadar kamu sendiri yang membuat orang-orang itu menjauh enggan. Mintalah bantuan pada saudaramu meski kamu tidak membutuhkannya karena itu yang membangun komunikasi diantara kalian. Ceritakanlah sesuatu yang membuatnya merasa kamu telah membuka pintu persaudaraan itu secara utuh meski sebenarnya kamu tidak ingin bercerita karena itu yang akan menciptakan percakapan hati-hati kalian”
Ahh… ukhuwah itu, bahkan tak lebih dari seujung kuku yang saya mengerti.
Andai saja saya tidak bertemu antum pasti saya sudah lulus dan berprestasi secara akademik
Tanpa menghubungkan dengan ukhuwah yang belum saya fahami secara utuh, kalimat serupa tapi tak sama sempat pula saya lontarkan kepada pemandu tahfidz saya beberapa tahun lalu ketika beliau menprotes setoran yang malam itu sangat sedikit akibat ke-GJ-an setelah melihat KHS. Jawaban sederhana beliau cukup membuat saya berusaha untuk mengikhlaskan 0,5 IP saya pergi. Slamat tinggal IP menjulang.
“Tentu konsekuensi mendapatkan sesuatu itu harus mengorbankan sesuatu pulakan? Nah bagaimana pinter-pinternya inung mengaplikasikan teori portofolio untuk mencari return maksimal dan risiko seminimal mungkin. Dan ingat, bagaimanapun pandainya inung menyusun portofolio, inung tidak akan pernah bisa membuat risiko itu menjadi nol. Karena kamu tidak bisa menghilangkan risiko pasar yang diluar kendalimu.” (perasaan, si mbak jurusan Psikologi deh. Kenapa yang dipake teori pasar modal?)
Dan beberapa hari yang lalu saya mendapat teori baru dari ahli fisika yang tinggal di kamar sebelah bahwa rejeki manusia itu sama 100%. Yang membedakan adalah presentase dari macam-macam rejeki yang menjadi bagian kita. Dari sini kembali diajari bersyukur bahwa rejeki bukan hanya yang terlihat. (bagi yang ingin penjelasan teori ini lebih lanjut silakan hubungi pihak yang bersangkutan)
Spirit pergerakan kita adalah spirit barisan yang rapi, disiplin dan saling mengerti antara siapa disamping, depan dan belakang dalam barisanya (saling peduli).
Jlep… antara kapan dan kapan saya memilikinya? Entahlah, menyebutkan satuan detik pun saya tidak berani. Saling peduli? Bahkan saya tidak tahu dia sekarang dimana dan bagaimana keadaannya.
Spirit barisan semestinya membawa pada perencanaan yang matang, terukur dan sistematis. Tidak bergerak secara sporadis tanpa adanya roadmap (peta jalan) yang jelas.
Yupz… untuk point ini saya selalu mempertanyakannya. Bukankah kita selalu menyediakan waktu khusus untuk merencanakannya? Tapi kenapa begini pada akhirnya? Dan saya baru mendapatkan jawabannya pada mata kuliah system pengendalian manajemen (SPM) minggu lalu bahwa salah satu keterbatasan perencanaan strategi adalah “Selalu ada bahaya bahwa perencanaan berakhir hanya sebatas pengisian formulir dan latihan birokrasi, tanpa pemikiran strategis. Sehingga pada akhirnya perencanaan strategis itu hanya sebuah proses yang memakan waktu dan mahal.” Saat perencanaan, semua-mua dimasukkan bahkan yang sebenarnya itu tidak perlu. Sampai-sampai kita tidak sadar bahwa kita telah menghabiskan banyak waktu untuk mengisi formulir dan bukannya memikirkan secara mendalam mengenai alternatif-alternatif dan memilih yang terbaik diantaranya.
Spirit “Kader” semestinya membawa setiap aktivitas yang dilakukan oleh anggota dilakukan dengan penuh tanggungjawab, peduli, rasional dan sesuai nilai-nilai yang digunakan oleh pergerakannya. Namun sebaliknya pergerakan (baca: Organisasi) semestinya juga memiliki tanggungjawab, perhatian, dan kepedulian terhadap kondisi anggota-anggotanya.
Untuk point ini, hehehe… saya masih sangat-sangat butuh untuk belajar. Tidak ingin meminta pemakluman karena manusia seperti saya memang butuh paksaan. Hemmm…
Dan ibarat sebuah kumpulan buku cerita tentang kealpaan, semoga cerita diatas adalah kisah dihalaman terakhir.
Saya sangat berharap ini akan terjadi. Tapi rasionalnya ini sangat mungkin menjadi halaman terakhir di buku anda tapi tidak untuk generasi anda selanjutnya. Biarkan ia merasakan kealpaan jika harus alpa sebagai sifat alami seorang pembelajar meski bukan berarti kita memaklumi kealpaan sebagai sifat dasar manusia.
Untuk kultur yang terlupakan, sepertinya butuh strategi khusus memang. Entah apa yang berbeda tapi memang ada perbedaan generasi sekarang dan terdahulu (tidak bisa membandingkan sendiri karena generasi terdahulu yang lebih merasakan). Bisa jadi ini permasalah aktor yang tak terselesaikan atau memang antara permasalahan aktor dan kultur ada hubungan timbal balik yang sangat erat?
Ya, tak ada tabayun yang sehat tanpa ukhuwah yang sehat pula. Meski tidak semua kita merasa tapi sebagian besar akan menjawab ‘ya’ untuk pertanyaan “apakah anda enggan untuk mentabayunkan masalah ini dengan yang bersangkutan?” akhirnya, bisik-bisik itu terjadi yang semakin memperparah kondisi ukhuwah dengan prasangka yang menjatuhkan. Kalau sudah begini, bagaimana nasehat-menasehati bisa berfungsi? Bahkan, sebelum proses tabayun itu difungsikan, sudah seenaknya memutus persaudaraan. It’s true story! beneran, Saya lagi nggak mau ngibul. Ekhmmm…. Jadi inget parakgraf akhiran artikel yang bersumber dari http://www.fimadani.com/articles/tsaqafah/dakwah/
“Begitu banyak da’i yang berdakwah semata atas dasar ashabiyah. Faktanya, banyak da’i merasa kecewa ketika orang yang mereka rekrut itu akhirnya memilih metode dakwah lain yang tidak sama dengan metode perekrutnya. Bukankah ini petunjuk kecil bahwa rekrutmen itu hanya dimaksudkan untuk mengajak seseorang pada suatu kelompok? Bukan menuju Islam yang sesungguhnya amat luas dan syamil?” Wallahua’lam.
Ini curhatku. Mana curhatmu? (sedia payung sebelum basah dikritik pak Triyanto P Nugroho)
Note: Tulisan ini tidak bermaksud untuk memperdebatkan tulisan yang berjudul “Yang Terlupakan Di jalan (Pergerakan) Dakwah” . Karena sangat nggak nyambung kalau dikatakan sebagai ketidaksepakatan. Ijin memanfaatkan beberapa kalimat yang mengispirasi pak Anatoli. Jangan katakan ‘tidak’ ya?! Karena sudah saya lakukan. Katakan saja ‘ya’ agar saya tidak berdosa meski itu sebuah pemaksaan.
EmoticonEmoticon