Semenjak pemerintah Jokowi-Jusuf Kalla memberlakukan kebijakan untuk melepaskan harga BBM ke mekanisme harga pasar (liberalisasi) telah menyebabkan ketidakpastian perekonomian di Indonesia. Konsekuensi dari pemberlakuan kebijakan ini adalah pemerintah tak lagi punya wewenang penuh untuk mengendalikan harga BBM dalam negeri. Permasalahan ini sudah terjadi sejak lama, namun segala penyelesaian yang dilakukan oleh pemerintah tidak pernah menjangkau pada akar permasalahannya. Salah satu akar masalahnya adalah tergerusnya kewenangan negara dalam pengelolaan minyak yang selama ini terlalu didekte oleh Asing.
Berkaitan dengan hal itu, maka kebijakan liberalisasi harga BBM yang saat ini diberlakukan oleh pemerintah yang ternyata berasal dari Undang-Undang dan peraturan lain yang cenderung menguntungkan pihak Asing seperti UU No. 21 Tahun 2001 tentang Migas, Peraturan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi Nomor: 18/P/BPH Migas/V/2009, Blue Print Pengelolaan Energi Nasional 2005 -2025 Kementrian ESDM, Pedoman dan Pola Tetap Kebijakan Pemanfaatan Gas Bumi Nasional 2004 –2020 (Blueprint Implementasi Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi) yang justru bertentangan dengan UUD 1945 pasal 33 mengenai pengelolaan sepenuhnya sumber daya alam untuk kesejahteraan rakyat. Jika melihat salah satu dasar hukum tentang pemberlakuan harga BBM yang saat ini digunakan pemerintah, maka Mahkamah Konstitusi telah membatalkan Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Ketentuan pasal ini mengamanatkan bahwa pembentukkan harga minyak diserahkan ke dalam negeri sepenuhnya (tidak boleh diliberalisasi), maka dari itu kebijakan liberalisasi harga BBM saat ini inkonstitusional dan telah bertentangan dengan UUD 1945. Hal ini pun telah jelas melanggar amanat UUD 1945 tentang tanggung jawab pemerintah untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat.
Dalam pandangan Islam, migas juga hutan dan barang tambang adalah milik umum yang harus dikelola hanya oleh negara. Hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk barang yang murah atau subsidi untuk kebutuhan primer semisal pendidikan, kesehatan dan fasilitas umum. Pendapat bahwa sumber daya alam milik umum harus dikelola oleh negara untuk hasilnya diberikan kepada rakyat dikemukakan oleh An-Nabhani berdasarkan pada hadits riwayat Imam At-Tirmidzi dari Abyadh bin Hamal. Dalam hadits tersebut I’Abyadh bin Hammal meminta kepada Rasulullah SAW untuk mengelola tambang garam. Rasulullah SAW sebagai kepala negara dan pemerintahan memberikan tambang tersebut kepada Abyadh. Rasulullah meluluskan permintaan itu, tapi segera diingatkan oleh seorang sahabat, “Wahai Rasulullah, tahukah engkau, apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu."
Sesuatu yang bagaikan air mengalir (ma’u al-‘iddu)” Rasulullah kemudian bersabda: “Tariklah tambang tersebut darinya”. Ma’u al-‘iddu adalah air yang karena jumlahnya sangat banyak digambarkan mengalir terus menerus. Hadist tersebut menyerupakan tambang garam yang kandungannya sangat banyak dengan air yang mengalir. Bahwa semula Rasullah SAW memberikan tambang garam kepada Abyadh menunjukkan kebolehan memberikan tambang garam atau tambang yang lain kepada seseorang. Tapi ketika kemudian Rasul mengetahui bahwa tambang tersebut merupakan tambang yang cukup besar, digambarkan bagaikan air yang terus mengalir, maka Rasul mencabut pemberian itu, karena dengan kandungannya yang sangat besar itu tambang tersebut dikategorikan milik umum. Dan semua milik umum tidak boleh dikuasai oleh individu. Yang menjadi fokus dalam hadits tersebut tentu saja bukan “garam”, melainkan tambangnya.
Terbukti, ketika Rasul mengetahui bahwa tambang garam itu jumlahnya sangat banyak, ia menarik kembali pemberian itu. An-Nabhani mengutip ungkapan Abu Ubaid yang mengatakan: “Adapun pemberian Nabi SAW kepada Abyadh bin Hambal terhadap tambang garam yang terdapat di daerah Ma’rab, kemudian beliau mengambilnya kembali dari tangan Abyadh, sesungguhnya beliau mencabutnya semata karena menurut beliau tambang tersebut merupakan tanah mati yang dihidupkan oleh Abyadh lalu dia mengelolanya. Ketika Nabi SAW mengetahui bahwa tambang tersebut (laksana) air yang mengalir, yang mana air tersebut merupakan benda yang tidak pernah habis, seperti mata air dan air bor, maka beliau mencabutnya kembali, karena sunnah Rasulullah SAW dalam masalah padang, api dan air menyatakan bahwa semua manusia berserikat dalam masalah tersebut, maka beliau melarang bagi seseorang untuk memilikinya, sementara yang lain tidak dapat memilikinya”.
Maka, berdasarkan HR at-Tirmidzi ini, penarikan kembali pemberian Rasul kepada Abyadh adalah illat dari larangan sesuatu yang menjadi milik umum termasuk dalam hal ini barang tambang yang kandungannya sangat banyak untuk dimiliki individu. Artinya tambang minyak dan gas bumi –yang dalam ukuran individu jumlahnya tidak terbatas– penguasaannya oleh swasta dan investor asing hukumnya haram. Sebab sektor hulu migas ini termasuk harta milik umum (milkiyyah ammah).
Rasulullah SAW bersabda, ”Kaum Muslim bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, padang, dan api” (HR Abu Dawud). Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan tiga benda dalam hadist tersebut dilihat dari ’illat-nya bahwa ketiganya dibutuhkan masyarakat sebagai fasilitas umum. Karakteritik fasilitas umum adalah jika tidak tersedia mengakibatkan sengketa untuk mendapatkannya.
Maka dari itulah Indonesia seharusnya bias menerapkan system ekonomi Islam yang memang telah mengatur segala aspek kehidupan bernegara. Hal yang harus diingat, tugas pemimpin adalah mengurus rakyat, bukan malah mengurasnya.
Wallahu a`lam bi al-shawāb
EmoticonEmoticon