Keberadaan atau eksistensi manusia di muka bumi ini mempunyai misi yang
jelas dan pasti. Misi yang merupakan tujuan asasi. Ada tiga misi yang
diberikan Allah untuk diemban manusia; yaitu misi utama untuk beribadah
(QS. 51:56), misi fungsional sebagai khalifah (QS. 2:30) dan misi
operasional untuk memakmurkan bumi (QS. 11:61).
Namun keberlangsungan dan kelestarian misi ini baru akan terjaga secara benar
apabila manusia mau mendengar dan mentaati risalah yang dibawa para
Rasul. Hanya saja sayangnya tidak semua manusia mau mengikuti dan
menerima seruan mereka, bahkan sebagian besar manusia justru
mendustakan dan mengingkari risalah ilahiah tersebut. Allah berfirman:
”Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat(untuk
menyerukan); ”Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thagut itu”, maka di
antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada
pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka
berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan
orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).” (QS. 16:36)
Maka, manusia yang mampu menerjemahkan tiga misi tersebut ke dalam
bahasa lisan, sikap dan tindakan adalah manusia yang beriman kepada Allah
SWT. Manusia yang senantiasa merespon seruan dan khitob rabbani dengan
mengucapkan kalimat; “sami’na wa atho’naa”. Inilah syi’ar kehidupan
manusia qurani dan rabbani. Hamba-hamba Allah yang akan dijanjikan
kepada mereka istikhlaf di muka bumi-Nya. Allah berfirman:
“Sesungguhnya jawaban orang-orang mu’min, bila mereka dipanggil kepada
Allah dan Rasul-Nya agar Rasul mengadili di antara mereka ialah ucapan
“Kami mendengar dan kami patuh”. Dan mereka itulah orang-orang yang
beruntung.” (QS. 24:51)
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu
dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan
menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia akan meneguhkan
bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benarbenar
akan merubah (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam
ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan
tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang
(tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang yang fasik.” (QS.24:55)
Berdasarkan ayat di atas bisa kita simpulkan bahwa umat Islamlah yang
diberi beban amanah ilahiah dan yang sanggup mengimplementasikan ke
dalam seluruh dimensi kehidupan. Maka umat Islamlah yang seharusnya
memimpin dunia, yang berkewajiban mengajarkan manusia tentang sistem
ilahiah dan membimbing mereka untuk melakukan islamisasi dalam
kehidupannya secara totalitas sehingga benar-benar bisa keluar dari
kegelapan jahiliah menuju cahaya Islam. Renungkanlah apa yang telah
dikatakan seorang jundi, Rib’i bin Amir kepada Rustum, panglima Persia
dalam perang Qodisiah, ketika ia bertanya:”Gerangan apa yang membuat
anda datang ke negeri kami?” , lalu ia menjawab dengan kalimat ini:
“ Allah telah mengutus kami untuk mengeluarkan manusia yang
dikehendaki-Nya dari penghambaan hamba menuju pengabdian kepada
Allah semata, dari sempitnya dunia menuju luasnya dunia dan akhirat dan
dari kezaliman agama-agama menuju keadilan Islam.”
Oleh karenanya, tugas ini bukanlah tugas yang ringan, sampingan ataupun
juz’iah (parsial) tanpa dibarengi dengan usaha-usaha maksimal, melainkan
urusan yang besar nan agung. Urusan yang berkaitan dengan pembentukan
syakshiah islamiah, kelestarian sistem-sistem ilahiah dan kebahagian
manusia di dunia dan akhirat. Sayyid Qutb mengatakan: “Barangsiapa
menganggap ringan kewajiban (dakwah ini), padahal ia merupakan
kewajiban yang dapat mematahkan tulang punggung dan membuat orang
gemetar, maka ia tidak bisa melaksanakan secara berkesinambungan
kecuali atas pertolongan Allah. Ia tidak bisa memikul dakwah kecuali atas
bantuan Allah SWT dan tidak akan bisa teguh di atasnya kecuali dengan
keikhlasan pada-Nya. Orang yang berada di jalan ini siangnya berpuasa,
malamnya qiyam (shalat) dan ucapannya penuh dengan dzikir. Sungguh
hidup dan matinya hanya untuk Allah rabbal Alamin, yang tiada sekutu bagi-
Nya.” (Sayyid Qutb, Tafsir Fii Zhilaalil Qur’an)
Dan untuk mensukseskan pelaksanaan amanat yang agung ini dibutuhkan
manusia-manusia yang memiliki iman yang kuat, keikhlasan, hamasah yang
membara dan tadhhiat serta amal yang mustamir (berkesinambungan).
Sehingga nilai-nilai kebenaran Islam yang termuat dalam gerbong dakwah
benar-benar terealisir dan bisa dirasakan oleh semua manusia. Al-Imam
asy-Syahid Hasan al-Banna dalam “risalah ilaa asy-syabab”
berkata:”Sungguh fikrah ini bisa sukses apabila ada iman yang kuat,
keikhlasan yang penuh di jalannya, hamasah yang membara dan adanya
persiapan yang melahirkan tadhhiat dan amal yang merealisasikannya. Dan
empat pilar ini (iman, ikhlas, hamasah dan amal) merupakan karakteristik
bagi para pemuda. Karena dasar keimanan adalah hati yang cerdas, dasar
keikhlasan adalah nurani yang suci, dasar hamasah adalah syu’ur yang kuat
dan dasar amal adalah ‘azm yang menggelora.”
Urgensi Berdakwah
Berdakwah yang bertujuan dan berorientasi kepada perbaikan individu
muslim, pembentukan keluarga muslim, pembinaan masyarakat Islam,
pembebasan tanah air dari hegemoni asing, perbaikan hukumah
(pemerintahan) agar menjadi hukumah islamiah yang senantiasa
memperhatikan kemaslahatan umat dan menjadi “ustadziatul ‘alaam” (soko
guru dunia) merupakan risalah para Nabi dan Rasul. Setiap Nabi
berkewajiban mendakwahkan wahyu dari Allah –azza wa jalla- yang
diterimanya kepada umatnya. Ia harus mentablighkan risalat ilahiah ini
dengan penuh amanah, kejujuran, kecerdasan dan kesabaran di tengah
masyarakatnya. Allah berfirman:
”Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk
menyerukan);”Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thagut itu”, maka di
antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada
pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka
berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan
orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).” (QS. 16:36)
“Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa
kabar gembira dan pemberi peringatan, dan untuk jadi penyeru kepada
agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi.” (QS.
33:45-46)
Berdakwah juga merupakan kewajiban syar’i yang harus dilakukan oleh
setiap umat Islam berdasarkan beberapa dalil berikut ini:
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar;
mereka adalah orang-orang yang beruntung.” (QS. 3:104)
Ayat ini secara jelas menunjukkan wajibnya berdakwah, karena ada “lam
amr” di kalimat “wal takun”. Begitu juga Rasulullah SAW bersabda:
“Sampaikanlah dariku meskipun satu ayat.” Hadits ini secara eksplisit
mengisyaratkan bahwa setiap muslim harus mentablighkan apa-apa yang
telah dibawa Rasulullah SAW kepada seluruh manusia, walaupun hanya satu
ayat ataupun satu hadits.
“Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak
melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang
haram ?. Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu.”
(QS. 5:63)
Ibnu Jarir at-Thabari meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra bahwa ia
berkata:”Tidak ada di dalam Al-Quran suatu ayat yang lebih keras
mengolok-olok daripada ayat ini.” (Tafsir Ibnu Jarir). Sedangkan Ibnu Abi
Hatim meriwayatkan dari Yahya bin Ya’mar, ia berkata: “Ali bin Abi Thalib
pernah berkhotbah, setelah memuji Allah dan menyanjung-Nya, ia berkata:
“Wahai manusia, sesungguhnya umat sebelum kamu itu hancur disebabkan
mereka berbuat maksiat sedangkan orang-orang alim dan para pendeta
mereka tidak melarangnya sampai akhirnya ditimpa siksa di saat mereka
terus menerus asyik dalam kemaksiatannya. Oleh karena itu, perintahkanlah
mereka untuk berbuat ma’ruf dan cegahlah mereka dari kemungkaran
sebelum turun adzab seperti yang turun kepada mereka. Ketahuilah
bahwasanya amar ma’ruf dan nahi munkar itu tidak akan memutuskan rizki
dan tidak pula mendekatkan ajal.” (Tafsir Ibnu Katisr, 2/74)
Berkaitan dengan masalah ini, Allah juga menggambarkan fenomena
masyarakat mukmin yang selalu melakukan ta’awun dan amar ma’ruf nahi
munkar di antara mereka. Allah berfirman:
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka
(adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh
(mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan
sembahyang, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul4
Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.”(QS. 9:71)
Selain merupakan kewajiban syar’i, dakwah juga merupakan kebutuhan
masyarakat. Karena dengan dakwah, masyarakat mampu memahami nilainilai
kebenaran Islam, mampu membedakan antara yang hak dan yang batil
serta akhirnya bisa mengaplikasikan ajaran Islam ini lewat sentuhan lembut
tangan para da’i yang bijak, para penunjuk jalan yang tegar dan para
mubaligh yang sabar. Dakwah merupakan muara segala kebaikan, benteng
penangkal siksa dan sarana yang menghantarkan do’a para hamba kepada
Rabbnya. Rasulullah SAW bersabda:
“Demi Dzat yang jiwaku ada ditangan-Nya, sungguh kamu harus melakukan
amar ma’ruf dan nahi munkar atau Allah akan menimpakan kepada kamu
adzab, kemudian kamu berdo’a maka do’a itu tidak akan dikabulkan.” (HR.
At-Tirmidzi, hadits hasan)
Jadi, jelaslah bahwasanya setiap muslim yang sadar dengan identitasnya,
harus berpartisipasi dalam mengemban amanah dakwah ini. Apalagi kita
sebagai pemuda atau orang tua yang berjiwa muda. Kita harus dinamis
membangun jaringan dakwah dan pro aktif dalam memperbaiki
masyarakatnya. Imam Syafi’i dalam antologi puisinya berkata:
“Siapa yang tidak mau ta’lim (dakwah/membina) pada masa mudanya,
maka takbirkan kepadanya empat kali takbir. Karena ia telah mati (sebelum
ia mati).”
Begitu juga Imam asy-Syahid Hasan al-Banna menginginkan manusiamanusia
yang kuat dari kalangan pemuda atau orang tua yang berjiwa muda
saja sebagai pengemban amanah dakwah yang berat ini. Maka dalam risalat
“dakwatunaa fii thaurin jadid” beliau berkata:
“Kami menginginkan jiwa-jiwa yang hidup, kuat dan tegar. Hati-hati yang
baru nan berkibar-kibar dan ruh-ruh yang memiliki thumuhat, visi jauh ke
depan yang merenungkan teladan dan tujuan-tujuan yang mulia.”
Oleh karena itu setiap ucapan, gerak dan tindakan seorang al akh yang telah
bergabung dalam dakwah ini harus benar-benar mencerminkan nilai-nilai
Islam dan mampu menjadi pesona Islam di tengah-tengah masyarakatnya.
Nakhtalithu (berbaur dan berinteraksi)
Setelah kita memahami dengan benar urgensi dakwah di atas, maka
seyogyanya tidak boleh lagi ada yang hanya berpangku tangan, menikmati
rehat yang berlebihan dan mengatakan kalimat ini: “Pergilah kamu sendiri
ke medan dakwah, aku di sini menunggu natijah akhirnya saja.”
Sebagaimana yang telah diabadikan Al-Quran dalam sebuah ayatnya
tentang ungkapan Bani Israil kepada Nabinya, Musa as. Allah berfirman:
“Mereka berkata:”Hai Musa, kami sekali-kali tidak akan memasukinya
selama-lamanya, selagi mereka ada di dalamnya, karena itu pergilah kamu
bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami
hanya duduk menanti di sini saja.” (QS. 5:24)
Ayat ini mengisyaratkan kepada kita bahwa Bani Israil takut turun ke medan
pertempuran menghadapi musuh-musuh Allah, takut akan kematian, takut
memikul beban berat dakwah dan membiarkan qiyadah berjuang sendirian
dalam liku-liku terjal medan dakwah dan perjuangan. Inilah sebuah
pengkhianatan jundiah terhadap qiyadah, sebuah kedustaan di antara
mereka untuk menolong syari’at Allah dan agama-Nya dan sebuah
pengingkaran terhadap nilai kebenaran dan jalan kebaikan yang dipilihnya.
Haihaata, haihaata (jauh dan juah) perbedaan antara Bani Israil dengan
sahabat-sahabat Rasulullah, di saat menghadapi Kuffar Quraisy dalam
perang Badar. Di mana Abu Bakar bersama sebagian besar sahabat
Muhajirin dan Anshor (Sa’ad bin Mu’adz dan al-Miqdad bin ‘Amr al-Kindy)
begitu semangat mendukung keinginan Rasulullah untuk maju dalam medan
pertempuran. Sebagian mereka mengatakan:”…Demi Dzat yang telah
mengutus engkau dengan haq, sekiranya kita berjumpa dengan lautan
kemudian engkau menyeberanginya niscaya kami akan bersamamu. Tidak
ada seorangpun yang boleh tertinggal. Kami juga tidak suka menunda
pertempuran sampai besok. Sungguh kami adalah orang-orang yang sabar
dalam pertempuran…”
Dan sebagian yang lain berkata: “Demi Allah…wahai Rasulullah, kami tidak
akan mengatakan sebagaimana yang pernah dikatakan Bani Israil kepada
Nabi Musa: ‘idzhab anta wa rabbuka faqootilaa innaa haa hunaa qoo’iduun”,
akan tetapi kami akan berperang bersamamu, kami tetap berada di
sampingmu, kanan, kiri, depan maupun belakang.” (Mukhtahor Tafsir Ibnu
Katsir, II/503)
Oleh karenanya, setelah kita mampu mengishlah diri kita dan
mempersiapkan bekal dakwah yang memadai baik secara jasadiah, ruhiah,
maupun aqliah, maka kita harus “nakhtalith” (bergaul dan berinteraksi)
dengan masyarakat untuk menyerukan nilai-nilai kebenaran Islam yang
termuat dalam gerbong dakwah kita. Kita harus proaktif melakukan interaksi
sosial di tengah-tengah masyarakat untuk menebarkan cahaya Islam.
Karena kita tidak boleh berhenti di saat kita sampai di terminal kesalehan
pribadi. Namun kita dituntut terus menerus mentransfer nilai-nilai kesalehan
yang ada di terminal ini ke terminal selanjutnya, yaitu terminal kesalehan
sosial. Ingat syi’ar dakwah kita adalah kalimat ini: “Ashlih nafsaka awwalan
wad’u ghairaka tsanian.” Artinya setiap kita setelah mampu melakukan
perbaikan diri harus menyeru dan mengajak orang lain untuk kembali
kepada nilai-nilai Islam. Agar mereka sama-sama merasakan lezatnya
beriman dan bertakwa dalam shaf dakwah. Di sini, al-Imam asy-Syahid
Hasan al-Banna mengatakan: “Maka awal kewajiban kita sebagai Ikhwan
menjelaskan kepada manusia tentang batasan-batasan agama Islam dengan
penjelasan yang sempurna dan jelas tanpa ada tambahan dan
pengurangan…” (Imam asy Syahid Hasan al-Banna, Majmu’ah ar Rasa-il, hal
451)
Dan inilah sosok pribadi muslim yang diharapkan oleh Islam. Manusia
muslim yang senantiasa berjalan dan berinteraksi di tengah-tengah
masyarakat dengan cahaya Islam. Perhatikan ayat di bawah ini:
“ Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia dia Kami hidupkan dan
Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia
dapat berjalan ditengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang
yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat
keluar dari padanya.” (QS. 6:122)
Ustadz al-Bahy al-Khuly dalam “Tadzkiraat ad-Du’aat” mengingatkan kepada
seorang akh yang telah bergabung dalam dakwah ini, tetapi masih memiliki
kegamangan dan keraguan untuk memikul beban berat mas’uliah dakwah.
“Kami berkata :” Kenapa kamu ini, tidaklah kamu ingin menjadi da’iah.
Sementara kami telah menjelaskan sebagian beban-beban dakwah ini. Maka
apabila kamu merasa mampu, lakukanlah sesuai dengan kemampuanmu.
Dan jikalau tidak, maka sesungguhnya Allah mengabaikan (tidak
memperhitungkan) orang-orang semacam kamu. Duduklah bersama barisan
orang-orang yang lemah. Dan bertakwalah kepada Allah dalam barisan yang
berbahaya ini.” (hal 208)
Dan untuk sampai kepada tujuan akhir yang kita inginkan, dakwah ini harus
didukung oleh “katsratul anshor” (banyaknya penolong) yang memiliki
kemampuan merekayasa masyarakat dan membentuk “ar-ra’yul ‘aam”
(opini umum). Hal ini mustahil bisa kita realisasikan tanpa ada usaha
maksimal dalam menjaring dan merekrut obyek dakwah yang ada di
masyarakat. Dan tausi’ah (perekrutan) ini, tidaklah berhasil kecuali kita
harus berbaur dan berinteraksi (ikhtilath) di tengah-tengah ummat. Jadi
berbaur dan berinteraksi dengan masyarakat dalam qaidah dakwah kita
merupakan suatu keniscayaan sekaligus kewajiban yang tidak mungkin
diabaikan oleh setiap kader dakwah. Mungkinkah kita melahirkan generasigenerasi
rabbani dengan berpangku tangan saja? Membangun umat dengan
berdiam di rumah tanpa melakukan gerakan dan aktivitas? Dan mungkinkah
menuju ustadziatul ‘alam dengan kemalasan, sikap statis dan keinginan
rehat yang berlebihan?
Oleh karenanya, dalam melahirkan dan menjaring generasi-generasi rabbani
dan generasi penolong-penolong agama harus ada gerakan dakwah yang
teroganisir serta dibarengi dengan kehendak yang kuat, kehendak yang
tidak pernah mengenal kejenuhan dan kelemahan. Harus ada “wafa’ tsabit”
yang tidak pernah mengenal kepura-puraan dan pengkhianatan. Harus ada
tadhhiat (pengorbanan) luhur yang tidak pernah mengharapakan imbalan
dan harus diiringi dengan pemahaman yang benar tentang “mabda” (dasar
atau prinsip) dakwah ini. Perhatikan ungkapan sang Da’i di bawah ini:
“Sesungguhnya tujuan akhir dan natijah yang sempurna tidak pernah
terealisir kecuali setelah (adanya tiga kekuatan ini): “ ‘umuumud di’aayat
(gencarnya dan tersebarnya pesan sponsor dakwah yang membentuk opini
umum),”katsratul anshor” (banyaknya pendukung yang mampu membentuk
jaringan-jaringan dakwah) dan “matanatut takwiin” (kekokohan pembinaan
yang mampu membangun wajihat-wajihat amal).
Sesungguhnya membangun bangsa, mentarbiyah masyarakat,
merealisasikan cita-cita dan memperjuangkan serta menancapkan tonggaktonggak
(dakwah) membutuhkan –dari umat atau kelompok yang berusaha
atau menyeru kepadanya- minimal kepada kekuatan jiwa yang agung
dengan ciri-ciri: (memiliki) iradah qowiah yang tidak pernah melemah, wafa
tsabit (kesetiaan yang teguh) yang tidak pernah disusupi kepura-puraan dan
pengkhianatan, pengorbanan yang tidak terbatasi oleh keserakahan dan
kekikiran, pemahaman, keyakinan dan penghormatan yang tinggi terhadap
prinsip atau dasar (dakwah) yang mampu menghindarkannya dari
kesalahan, penyimpangan, tawar-menawar dan tertipu oleh prinsip atau
ideologi lain.
Hanya di atas pilar-pilar utama ini –yang sepenuhnya menjadi kekhususan
jiwa- dan hanya di atas kekuatan ruhiyah yang dahsyat, prinsip-prinsip
dakwah ini dibangun, umat yang sedang bangkit terbina, bangsa yang
berjiwa muda terbentuk dan sungai kehidupan terus mengalir dalam jiwa
orang-orang yang sekian lama mengalami kekeringan….” (Risalat Ilaa Ayyi
Syai-in Nad’u an-Naasa)
Natamayyazu (tampil beda dan istimewa)
Dan saat ini berikhtilath (berbaur) dan berdakwah di tengah-tengah
masyarakat, kita akan berhadapan dengan beragam sikap, watak, budaya
dan nilai-nilai sosial yang jauh dari bingkai moral keagamaan. Bisa jadi kita
berada dalam sebuah lingkungan sosial yang rentan terhadap budaya
negative desdruktif dan yang mampu menumbangkan tonggak-tonggak
pemikiran serta prinsip yang selama ini kita yakini akan kebenarannya.
Sehingga terjadi “idzbatusysyakhsyiah islamiah” dalam diri kita. Kemudian
sedikit demi sedikit kita larut dalam kubangan budaya dan kebiasaan yang
tidak islami. Dan akhirnya kita lupa akan prinsip-prinsip kebenaran yang
selama ini kita bangun.
Maka meskipun berbaur dengan seluruh segmen masyarakat, kita harus
terus-menerus mempertahankan prinsip kebenaran Islam. Kita tetap
memiliki benteng “mumaayazah wa muwaashalah” (pembeda dan
pembatas) yang mampu menjembatani antara diri kita dan nilai-nilai
destruktif yang ada di masyarakat. Karena prinsip dakwah kita adalah
“nakhtalithu walakin natamayyazu” (berinteraksi tanpa terkontaminasi). Kita
tidak boleh mengikuti keinginan-keinginan obyek dakwah yang tidak
mencerminkan nilai-nilai Islam atau malahan bertentangan dengannya. Allah
berfirman;
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa
yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.
Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak
memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah
kepadamu.” (QS. 5:48)
“Andaikan kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit
dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah
8
mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling
dari kebanggaan itu.” (QS. 23:71)
Kader dakwah yang menjadi politikus atau yang duduk di tiga lembaga
tinggi negara harus mampu menjaga “mabadi islamiah” yang berkaitan
dengannya, mengutamakan pelayanan masyarakat, menjunjung tinggi
prinsip keadilan dan supremasi hukum serta menjaga citra identitas
keislamannya. Sehingga seorang kader senantiasa berhias dengan etika dan
moral islami ketika memainkan peran di lembaga tinggi ini. Dan tidak
sebaliknya, bersikap dan bertindak yang tidak mencerminkan sikap seorang
kader dan bahkan mencoreng citra serta nilai-nilai luhur Islam.
Sebagai ekonom, enterpreneur dan budayawan muslim, ia harus senantiasa
berpegang teguh dengan aturan-aturan yang telah digariskan oleh Islam.
Sehingga semua muslim yang terjun di berbagai dimensi kehidupan tetap
menjadi cahaya yang terus menerus menyinari lingkungan sekitarnya.
Mereka tidak pernah mendukung atau ikut-ikutan KKN, mereka tidak
terjangkit penyakit dekadensi moral (perselingkuhan, wil dan pil, perzinaan
dan mabuk/nyimeng) dan mereka juga tidak berfoya-foya serta
menghambur-hamburkan uang negara. Sebaliknya, mereka bisa menjadi
uswatun hasanah terhadap apa yang diserukannya, qudwah hasanah dalam
ucapan, perbuatan, sikap keseharian dan harus menjadi model-model
muslim yang mempesona.
Oleh karenanya, seorang kader sebelum terjun dalam medan dakwah harus
membekali dirinya dengan bekal ruhiah yang kokoh selain bekal ilmiah dan
manajerial. Hal ini dimaksudkan untuk membentengi antara diri seorang
kader dari virus-virus budaya dan moral yang tumbuh bak jamur dalam
masyarakat. Sehingga kekuatiran akan munculnya “idzbatu syakhsyiah
islamiah” tidak terjadi pada diri seorang kader.
Sumber: Tarbiyah Menjawab Tantangan, Rabbani Press, 2002