Oleh Akur Wijayadi
“Islam menjadi bagaikan bulan purnama yang bersinar setelah sebelumnya gelap gulita dan matahari keimanan bersinar setelah cahayanya raib.” (Ibnu Katsir)
Seperti yang disampaikan oleh Ibnu Katsir di atas, Umat Islam sebelumnya mengalami masa kegelapan atau periode terburuk dalam perjalanan sejarah umat manusia setelah mengalami kekalahan pada Perang Salib pertama. Titik balik kemudian diperoleh umat Islam setelah jatuhnya Edessa ke tangan umat Islam pada tahun 539 H/1144 M, yang saat itu dipimpin oleh Imam al-Din Zanki/Imaduddin Zengi, ayah dari Nur al-Din Zanki/Nuruddin Zanki yang merupakan paman dari Shalahuddin al-Ayyubi yang kemudian lebih dikenal sebagai pahlawan Islam pembebas Jerusalem pada tahun 1187.[1]
Perang Salib dimulai pada tahun 1095, dan pada tahun 1099, Jerusalem jatuh ke tangan pasukan salib/Frank. Meskipun memiliki negara dan pemerintahan (kekhalifahan Abbashiyah), umat Islam saat itu sangat lemah dan terpuruk. Khalifah di Baghdad tidak mempunyai wibawa di mata rakyatnya, wilayah Islam terpecah-pecah dengan para panglima militer/atabegh sebagai para pemimpin pemerintahan di wilayah tersebut.
Sekitar 88 tahun kemudian tepatnya pada tahun 1187, Jerusalem dapat dikuasai kembali oleh umat Islam yang dipimpin oleh Shalahudin al-Ayyubi. Akan tetapi jarang diketahui oleh umat Islam saat ini bahwa pembebasan Jerusalem/Al-Aqhsa, bukanlah produk instan dan keajaiban yang turun dari langit dalam waktu yang singkat. Dalam bidang politik dan militer, Imaduddin Zengi dan Nuruddin Zanki telah bersusah payah terlebih dahulu untuk membukakan jalan bagi Shalahudin. Di bidang spritual, dua ulama besar saat itu Imam Al-Ghazali dan Abdul Qadir al-Jilani, berusaha sangat keras memperbaiki akhlak dan moral masyarakat pada saat itu, sehingga kemudian muncul generasi baru yang hebat seperti Shalahudin al-Ayyubi dsb. Dalam hal ini, penulis akan lebih menitik beratkan pada hal spritual terlebih dahulu.
Seperti yang disampaikan oleh seorang ulama pada masa awal Perang Salib yang bernama al-Sulami, saat jatuhnya Jerusalem ke tangan pasukan Salib, menurutnya berjihad melawan orang-orang kafir adalah kepura-puraan bila tidak didahului dengan jihad yang lebih besar (al-jihad al-akbar) atas diri sendiri. Dalam hal ini, al-Sulami berpendapat hal pertama yang harus dilakukan oleh umat Islam sebelum ia melakukan jihad ialah memperkuat kembali dimensi moral untuk mengakhiri proses kemunduran spiritual umat Islam. Al-Sulami menegaskan bahwa jihad yang lebih besar tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu bila ingin meraih kemenangan dalam jihad melawan orang-orang kafir/tentara salib.
Dalam hal ini, al-Ghazali kemudian mencari faktor utama dari kelemahan umat Islam dan kemudian berusaha mengatasinya, daripada menyibukan diri dengan menuding dan menghujat para tentara salib. Menurutnya, masalah paling utama yang dihadapi oleh umat Islam pada saat itu ialah rusaknya pemikiran dan jiwa umat Islam yang berkaitan dengan aqidah dan kemasyarakatan. Al-Ghazali tidak menolak adanya perubahan strategi di bidang politik dan militer, tetapi menurutnya perubahan yang paling mendasar harus didahului pada aspek pemikiran, akhlak, dan perubahan jiwa manusia itu sendiri.
Setelah melakukan perenungan yang sangat mendalam mengenai kondisi umat Islam pada saat itu, al-Gahzali sampai pada suatu kesimpulan bahwa yang pertama kali harus dibenahi dari umat Islam adalah masalah keilmuan dan keulamaan. Secara ringkas dapat kita pahami, setelah mengalami kekalahan di Perang Salib pertama kemudian kaum muslimin berhasil menggabungkan konsep Jihad al-Nafs dan jihad melawan musuh dalam bentuk peperangan dengan sangat baik. Dalam permasalahan jihad al-Ghazali menekankan akan pentingnya menyatukan berbagai potensi yang ada, baik harta, jiwa, dan juga keilmuan. Selain itu, al-Ghazali juga menekankan pentingnya aktivitas ‘amar ma’ruf nahi munkar, aktivitas tersebut menurutnya merupakan kutub terbesar dalam urusan agama, dan merupakan suatu hal yang penting. Karena misi terbutlah Allah SWT mengutus para nabi. Jika aktivitas tersebut hilang maka syiar kenabian hilang, agama menjadi rusak, kesesatan tersebar dan kebodohan akan merajalela, satu negeri akan binasa begitupula dengan umatnya secara keseluruhan.
Jadi, dalam perjuangan umat, diperlukan pemahaman secara konperehensif terhadap problematika yang dihadapi oleh umat Islam. Saat itu, umat Islam dihadapi dengan berbagai masalah baik politik, keilmuan, moral, sosial dan sebagainya. Problematika tersebut perlu dianalisis dan didudukan secara adil dan proposional.
Al-ghazali dan para ulama pada masa itu, berusaha membenahi cara berpikir para ulama dan umat Islam serta menekankan pada pentingnya aspek amal dari ilmu, sehingga jangan menjadi para ulama yang jahat. Sebab ilmu yang rusak dan ulama yang jahat adalah sumber kerusakan bagi Islam dan umatnya.
Sepanjang sejarah Islam, para ulama sejati sangat aktif dalam mempertahankan konsep-konsep dasar Islam, mengembangkan ilmu-ilmu Islam, dan menjaganya dari perusakan oleh ulama-ulama jahat. Penyimpangan dalam bidang keilmuan akan selalu mendapatkan perlawanan yang kuat secara ilmiah. Karena itulah kerusakan dalam bidang keilmuan harus mendapat perhatian dari umat Islam.
[1] Lihat Carole Hillenbrand, Perang Salib: Sudut Pandang Islam, Jakarta: Serambi, 2007.
“Islam menjadi bagaikan bulan purnama yang bersinar setelah sebelumnya gelap gulita dan matahari keimanan bersinar setelah cahayanya raib.” (Ibnu Katsir)
Seperti yang disampaikan oleh Ibnu Katsir di atas, Umat Islam sebelumnya mengalami masa kegelapan atau periode terburuk dalam perjalanan sejarah umat manusia setelah mengalami kekalahan pada Perang Salib pertama. Titik balik kemudian diperoleh umat Islam setelah jatuhnya Edessa ke tangan umat Islam pada tahun 539 H/1144 M, yang saat itu dipimpin oleh Imam al-Din Zanki/Imaduddin Zengi, ayah dari Nur al-Din Zanki/Nuruddin Zanki yang merupakan paman dari Shalahuddin al-Ayyubi yang kemudian lebih dikenal sebagai pahlawan Islam pembebas Jerusalem pada tahun 1187.[1]
Perang Salib dimulai pada tahun 1095, dan pada tahun 1099, Jerusalem jatuh ke tangan pasukan salib/Frank. Meskipun memiliki negara dan pemerintahan (kekhalifahan Abbashiyah), umat Islam saat itu sangat lemah dan terpuruk. Khalifah di Baghdad tidak mempunyai wibawa di mata rakyatnya, wilayah Islam terpecah-pecah dengan para panglima militer/atabegh sebagai para pemimpin pemerintahan di wilayah tersebut.
Sekitar 88 tahun kemudian tepatnya pada tahun 1187, Jerusalem dapat dikuasai kembali oleh umat Islam yang dipimpin oleh Shalahudin al-Ayyubi. Akan tetapi jarang diketahui oleh umat Islam saat ini bahwa pembebasan Jerusalem/Al-Aqhsa, bukanlah produk instan dan keajaiban yang turun dari langit dalam waktu yang singkat. Dalam bidang politik dan militer, Imaduddin Zengi dan Nuruddin Zanki telah bersusah payah terlebih dahulu untuk membukakan jalan bagi Shalahudin. Di bidang spritual, dua ulama besar saat itu Imam Al-Ghazali dan Abdul Qadir al-Jilani, berusaha sangat keras memperbaiki akhlak dan moral masyarakat pada saat itu, sehingga kemudian muncul generasi baru yang hebat seperti Shalahudin al-Ayyubi dsb. Dalam hal ini, penulis akan lebih menitik beratkan pada hal spritual terlebih dahulu.
Seperti yang disampaikan oleh seorang ulama pada masa awal Perang Salib yang bernama al-Sulami, saat jatuhnya Jerusalem ke tangan pasukan Salib, menurutnya berjihad melawan orang-orang kafir adalah kepura-puraan bila tidak didahului dengan jihad yang lebih besar (al-jihad al-akbar) atas diri sendiri. Dalam hal ini, al-Sulami berpendapat hal pertama yang harus dilakukan oleh umat Islam sebelum ia melakukan jihad ialah memperkuat kembali dimensi moral untuk mengakhiri proses kemunduran spiritual umat Islam. Al-Sulami menegaskan bahwa jihad yang lebih besar tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu bila ingin meraih kemenangan dalam jihad melawan orang-orang kafir/tentara salib.
Dalam hal ini, al-Ghazali kemudian mencari faktor utama dari kelemahan umat Islam dan kemudian berusaha mengatasinya, daripada menyibukan diri dengan menuding dan menghujat para tentara salib. Menurutnya, masalah paling utama yang dihadapi oleh umat Islam pada saat itu ialah rusaknya pemikiran dan jiwa umat Islam yang berkaitan dengan aqidah dan kemasyarakatan. Al-Ghazali tidak menolak adanya perubahan strategi di bidang politik dan militer, tetapi menurutnya perubahan yang paling mendasar harus didahului pada aspek pemikiran, akhlak, dan perubahan jiwa manusia itu sendiri.
Setelah melakukan perenungan yang sangat mendalam mengenai kondisi umat Islam pada saat itu, al-Gahzali sampai pada suatu kesimpulan bahwa yang pertama kali harus dibenahi dari umat Islam adalah masalah keilmuan dan keulamaan. Secara ringkas dapat kita pahami, setelah mengalami kekalahan di Perang Salib pertama kemudian kaum muslimin berhasil menggabungkan konsep Jihad al-Nafs dan jihad melawan musuh dalam bentuk peperangan dengan sangat baik. Dalam permasalahan jihad al-Ghazali menekankan akan pentingnya menyatukan berbagai potensi yang ada, baik harta, jiwa, dan juga keilmuan. Selain itu, al-Ghazali juga menekankan pentingnya aktivitas ‘amar ma’ruf nahi munkar, aktivitas tersebut menurutnya merupakan kutub terbesar dalam urusan agama, dan merupakan suatu hal yang penting. Karena misi terbutlah Allah SWT mengutus para nabi. Jika aktivitas tersebut hilang maka syiar kenabian hilang, agama menjadi rusak, kesesatan tersebar dan kebodohan akan merajalela, satu negeri akan binasa begitupula dengan umatnya secara keseluruhan.
Jadi, dalam perjuangan umat, diperlukan pemahaman secara konperehensif terhadap problematika yang dihadapi oleh umat Islam. Saat itu, umat Islam dihadapi dengan berbagai masalah baik politik, keilmuan, moral, sosial dan sebagainya. Problematika tersebut perlu dianalisis dan didudukan secara adil dan proposional.
Al-ghazali dan para ulama pada masa itu, berusaha membenahi cara berpikir para ulama dan umat Islam serta menekankan pada pentingnya aspek amal dari ilmu, sehingga jangan menjadi para ulama yang jahat. Sebab ilmu yang rusak dan ulama yang jahat adalah sumber kerusakan bagi Islam dan umatnya.
Sepanjang sejarah Islam, para ulama sejati sangat aktif dalam mempertahankan konsep-konsep dasar Islam, mengembangkan ilmu-ilmu Islam, dan menjaganya dari perusakan oleh ulama-ulama jahat. Penyimpangan dalam bidang keilmuan akan selalu mendapatkan perlawanan yang kuat secara ilmiah. Karena itulah kerusakan dalam bidang keilmuan harus mendapat perhatian dari umat Islam.
[1] Lihat Carole Hillenbrand, Perang Salib: Sudut Pandang Islam, Jakarta: Serambi, 2007.
EmoticonEmoticon