Oleh: Shalih Hasyim*
“MATA boleh melihat jauh dan dekat namun mata tak mampu melihat diri sendiri melainkan dengan cermin”, demikian ujar sebuah pepatah Arab.
Setelah cukup lama kita menapaki jalan hidup, kita perlu berhenti sejenak, duduk di majelis muhasabah. Tradisi ini pernah diajarkan oleh salah seorang sahabat Nabi yang berpostur kecil tetapi kekuatan rohaninya mampu merobohkan benteng ideologi kaum musyrik pada masa jahiliyah. Dialah seorang sahabat yang alim, Ibnu Mas’ud.
Majelis muhasabah yang dibentuk Ibnu Mas’ud dikenal dengan nama majelis iman. Nama ini diambil dari perkataan Ibnu Mas’ud yang terkenal, “Duduklah bersama kami, biar kita beriman sejenak (hayya nu’minu sa’ah).”
Tujuan muhasabah tak lain untuk mengistirahatkan pikiran, hati, dan fisik, agar memperoleh stamina, energi, gelora, harapan, dan motivasi baru.
Saat ini kita pun perlu duduk sejenak di majelis seperti itu. Kita evaluasi diri kita secara kritis dan radikal – mendasar - (taqwim wal muhasabah). Sudah sejauh mana kita menapaki jalan hidup ? Apa yang telah kita hasilkan? Masih berapa lama lagi kita diberi jatah waktu untuk menuntaskan sisa tugas ? Sudah cukupkah bekal untuk meraih tujuan akhir yang hakiki?
Semua itu perlu kita renungkan demi perbaikan masa depan. Dengan cara itu kita akan selalu bersyukur atas capaian ilmu, pengalaman, dan prestasi selama ini. Dengan cara itu pula kita mampu mencermati apa yang belum kita rampungkan dalam hidup. Kita pertahankan tradisi baik (spirit iman, ibadah dan jihad serta akhlak) dan membuka diri untuk menerima sesuatu yang baru (metode). Janagan sampai kita seperti komunitas binatang dinosaurus yang punah karena tidak bisa beradaptasi dengan perkembangan yang baru.
Muhasabah akan menghindarkan kita dari tindakan bodoh dan sia sia. Acap kali kita tanpa sadar melakukan dua hal yang bertolak belakang. Di satu sisi kita giat membangun benteng spiritual, namun disisi lain kita rajin merobohkannya kembali. Kalau seperti ini, kapan bangunan itu akan rampung? Allah Subhanallahu Wa Ta’ala membuat analogi masalah ini dengan seorang wanita tua yang memintal benang. Setelah benang dipintal dengan kuat, dicerai beraikan lagi olehnya. Sehingga tak pernah benang itu menjadi kain.
وَلاَ تَكُونُواْ كَالَّتِي نَقَضَتْ غَزْلَهَا مِن بَعْدِ قُوَّةٍ أَنكَاثاً تَتَّخِذُونَ أَيْمَانَكُمْ دَخَلاً بَيْنَكُمْ أَن تَكُونَ أُمَّةٌ هِيَ أَرْبَى مِنْ أُمَّةٍ إِنَّمَا يَبْلُوكُمُ اللّهُ بِهِ وَلَيُبَيِّنَنَّ لَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَا كُنتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ
“Dan janganlah kamu seperti perempuan tua (pada masa jahiliyah) yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali.” (An Nahl [16] : 92).
Atau, kata pepatah Arab lain mengatakan, “Kapan bangunan itu akan sempurna apabila kalian giat membangunnya sementara yang lain rajin merusakn ya.”
Itulah sebabnya, Islam mengajarkan sebuah kaidah (ushul fiqh) yakni :
“Mempertahankan tradisi masa lalu yang baik dan mengambil temuan baru yang lebih baik.”
Terbuka Demi Perubahan
Kita harus tegas dalam persoalan prinsip (ushul) dan toleran terhadap hal hal yang furu’ (metodologi, media, teknik) untuk mencapai tujuan akhir (ghoyah). Kita harus konsisten dengan ghoyah (tujuan akhir) dan terbuka dengan wasilah (media) dalam menggapai ghoyah dan hadaf (tujuan antara).
Dengan muhasabah kita akan menata ulang dan memperbarui (tajdid) persepsi kita terhadap realitas kehidupan dengan mata hati yang bening. Kita akan mengoptimalkan kecerdasan akal, batin, emosi dan mengasah potensi zikir, pikir, secara sinergis, seiring, seimbang dan paralel.
Berhenti sejenak, mengambil jarak dari rutinitas, insya Allah akan mengantarkan kita untuk lebih dewasa, matang, arif, dan bijaksana dalam menyikapi persoalan yang terus berkembang dan dinamis. Bukankah kesibukan kerap mengurangi ketajaman dan kepekaan spiritual kita? Stamina kerap terkuras, telaga rohani pun sering terkontaminasi debu debu kotor akibat lingkungan kurang kondusif untuk pencerahan iman (fudhulul mukholathoh).
Karenanya, kita perlu mengisi ulang bahan bakar spiritual agar pengabdian dan komitmen kita kembali tulus, lillahi ta’ala. Sungguh kita memerlukan saat saat yang berkesan itu. Inilah pesan Allah SWT yang sangat menggetarkan kita:
“Belumkah datang waktunya bagi orang orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya. Kemudian berlalulah masa yang panjangatas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan diantara mereka adalah orang orang yang fasik.” (Al Hadid [57] : 16)
Tertutup, Bikin Runtuh
Hati manusia bisa rusak karena dosa yang sedikit demi sedikit bertambah. Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir III/451 menjelaskan hal ini :
Ketika hati itu menjadi keras, tidak bisa menerima nasihat dan peringatan. Hati mereka tidak bisa lembut sekalipun didatangkan janji dan ancaman. Kebanyakan mereka menjadi orang yang fasiq. Yakni hati mereka rusak karena debu debu dosa melekat dalam kepribadian mereka, maka perilaku mereka batil.
Karena itu, sebelum hati itu benar benar rusak, kita butuh suasana yang akan mengajak kita berdialog dengan diri sendiri. Suasana yang mampu membawa kita mencermati sisi gelap, bau tidak sedap, dan sisi terang, diri kita. Suasana seperti ini memudahkan kita berdialog langsung dengan realitas metafisik, dan mendorong kita untuk terampil mengelola gejolak kedirian.
Umar bin Khattab mengatakan, “Rahimaallahu ‘abdan ‘arafa haddahu fa waqafa ‘indahu (Allah merahmati hamba Nya yang memahami keterbatasan dirinya dan berhenti sejenak disitu).”
Titik sentuh “berhenti sejenak” adalah hati nurani. Menyentuh kesadaran yang paling dalam agar kita tetap memelihara stamina spiritual ketika dihadapkan pada problem hidup, baik individu, keluarga, atau bangsa, kemudian mengembalikan solusinya kepada Zat Yang Memahami rahasia kehidupan ini.
Kuat dengan Muhasabah
Majelis iman adalah sarana penjernihan jiwa, pencerahan kalbu, penguatan azzam (tekad), pengokohan niat dan motivasi, penajaman orientasi, agar kita tetap istiqomah menapaki jalan yang lurus. Dalam sejarah hidup para shalafush shalih, majelis iman yang kecil di rumah rumah, masjid, forum halaqoh, terbukti melahirkan lompatan pemikiran yang cemerlang, ide ide brilian, dan gagasan spektakuler.
Diam mereka adalah perenungan. Pembicaraan mereka adalah zikir dan amar ma’ruf, nahi munkar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam senang berkhalwat (menyendiri) sebelum diangkat menjadi Rasul. Beliau menganjurkan kita untuk selalu i’tikaf, utamanya pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan.
Umar bin Khattab juga memiliki kebiasaan i’tikaf seminggu sekali di Masjidil Haram. Itulah teladan muhasabah yang belum kita budayakan.
Muhasabah seperti itu belum mentradisi di kalangan kita. Akibatnya, diamnya kita berubah menjadi imajinasi yang tidak terarah, kurang terkendali, dan liar. Bicara kita menjelma menjadi hasud, dendam, sombong, niat jahat, intrik terhadap kawan seperjuangan, ghibah, namimah, syatam (mencela kesana sini), mengobral janji, kasak kusuk, dan sumpah serapah.
Maka, hidup kita kehilangan kekuatan inti yang sesungguhnya sangat kita perlukan. Kita merasa sempit di tengah samudera luas tidak bertepi. Kita merasa gelap dibawah sorotan cahaya illahi. Karunia Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى) tidak bisa kita nikmati.
Kesempitan, kekalutan, kegalauan jiwa, mulai tumbuh. Kesempitan ruhani akan membawa hidup kita jauh dari petunjuk, rahmat, berkah, serta pertolongan Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى).
Jadi, kita betul betul perlu berhenti sejenak, duduk di majelis iman, agar kita tetap bisa mempertahankan jati diri di tengah pusaran badai kehidupan. Namun harus diingat, ini bukan ‘uzlah (hidup menyendiri) dan lari dari tanggung jawab, melainkan sekadar untuk mempersiapkan diri menghadapi tantangan dengan jiwa ksatria. Wallahu a’lama bish shawab.
*Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Kudus, Jawa Tengah
Lihat:
http://www.hidayatullah.com/read/20611/11/01/2012/mengisi-ulang-bahan-bakar-spiritual.html
EmoticonEmoticon