Oleh Wira syafutra
Setiap manusia sangat membutuhkan apa yang namannya pendidikan. Pendidikan mengajarkan kepada manusia bagaimana beriteaksi dengan manusia lain lebih mudah. Pendidikan membantu manusia untuk mampu beradaptasi dengan lingkungan luar. Sementara itu, usia pendidikan sendiri sama dengan manusia itu, berarti manusia akan mengalami proses pendidikan pada saat ia lahir, tentunya tanpa ia sadari. Apalagi, kalau di secara historis, pendidikan telah mulai dilaksanakan sejak manusia berada dimuka bumi.[1]
Setiap manusia sangat membutuhkan apa yang namannya pendidikan. Pendidikan mengajarkan kepada manusia bagaimana beriteaksi dengan manusia lain lebih mudah. Pendidikan membantu manusia untuk mampu beradaptasi dengan lingkungan luar. Sementara itu, usia pendidikan sendiri sama dengan manusia itu, berarti manusia akan mengalami proses pendidikan pada saat ia lahir, tentunya tanpa ia sadari. Apalagi, kalau di secara historis, pendidikan telah mulai dilaksanakan sejak manusia berada dimuka bumi.[1]
Adanya pendidikan adalah setua dengan adanya kehidupan manusia itu sendiri. Tentunya manusia itu akan membentuk budaya dan peradaban dimuka bumi dan itu sifatnya dinamis, selalu mengalami perkembangan. Dan hal tersebut (perkembangan peradaban) mempengaruhi perkembangan pendidikan pula. Dengan perkembangan peradaban manusia, berkembang pula pendidikan baik itu bentuk, isi bahkan termasuk penylenggaraannya. Tentunya hal ini selaras dengan perkembangan atau kemajuan manusia dalam pemikiran dan ide-ide tentang pendidikan.
Di Indonesia tokoh fenoemenal yang tertulis dalam sejarah Indonesia, pendidikan khususnya yakni Ki Hajar Dewantara, mengartikan pendidikan sebagai tuntutan hidup tumbuhnya anak. Adapun maksudnya pendidikan itu ialah, menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, ialah agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.Dan menurut Driyakarya, pendidikan merupakan usaha atau proses pemanusiaan manusia muda.[2]
Bisa diambil suatu garis besar terhadap pendidikan, pendidikan akan membentuk kepribadian manusia yang baik, dalam arti manusia tersebut benar-benar menjadi hakikatnya manusia dan tidak mengalami dehumanisasi. Dalam sejarah, dalam konteks-konteks nyata serta objetif, pemanusiaan maupun dehumanisasi merupakan kemungkinan-kemungkinan bagi manusia sebagai makhluk yang belum utuh, yang sadar akan ketidak-utuhan dirinya.
Meski keduanya merupakan alternatif, hanya pemanusiaan yang menjadi fitrah manusia. Fitrah ini selalu di injak-injak, namun justru tiap kali ia diinjak ia makin diteguhkan.[3] Dehumanisasi sendiri merupakan keadaan dimana manusia itu mengalami suatu kondisi yang menempatkan manusia itu dalam keadaan kurang manusiawi karena adanya pihak yang merampas kemanusiawiannya dan cita-cita untuk menjadi manusia utuh telah dihambat. Dehumanisasi juga merupakan produk tatanan yang tidak adil yang melahirkan kekerasan para penindas yang membuat kaum tertindas menjadi kurang dari manusia.[4]Untuk itulah diperlukan sebuah upaya menghapus semua bentuk penindasan.
Untuk menaklukkan situasi penindasan, pertama-tama manusia harus mengenali sebab-musababnya secara kritis, hingga ia dapat menciptakan situasi baru yang memungkinkan usaha mencapai keutuhan kemanusiaan. Tetapi, kaum tertindas yang telah menyesuaikan diri dengan stuktur dominasi yan menenggelamkan mereka, yang sudah pasrah, takkan bisa berjuang demi kebebasan selama mereka merasa tak mampu menghadapi risiko-risiko yang pasti ada dalam perjuangan semacam itu. Hal itu tidak diakibatkan oleh pendidikan yang masih “tragis” bagi kaum tetindas dan mesti diperhitungkan. Pendidikan harus dilaksanakan dengan bukan untuk, kaum tertindas ( secara individual maupun kelompok) dalam perjuangan tiada henti untuk meraih kembali kemanusiaan mereka. Pendidikan ini menjadikan penindasan beserta sebab-musababnya sebagai objek renungan kaum tertindas, dan dari situ mereka terlibat dalam perjuangan membebaskan diri mereka.[5]
Paulo Freire memandang bahwa perlunya sebuah pendidikan yang kritis untuk menjadi pedoman, landasan, pijakan, dan tolok ukur bagi manusia dalam melihat fenoma yang ada, apalgi sebuah bentuk penindasan, tentu hal itu akan terjadi pada suatu kondisi yang tidak berimbang antara satu individu dengan individu lain maupun antara satu kelompok dengan kelompok lain, maka yang terjadi adalah penindasan. Bagi kaum tertindas akan mengalami dehumanisasi, maka dari itu diperlukan sebuah upaya sadar dan nyata untuk beranjak dari masa suram tersebut, alternatif yang paling cocok ialah pendidikan yang lebih baik dan perlunya liberasi pendidikan yang ujungnya akan membentuk manusia seutuhnya. Jadi, bukan hanya sebatas pendidikan “formal” belaka sebagai alat politisasi belaka yang hanya akan membuat manusia tetap berada pada manusia yang belum utuh bahkan jauh lebih parah apabila pendidikan dijadikan alat “penindasan” kemanusiaan.
Tentunya hal demikian akan berjalan dengan baik, apabila seperangkat sistem yang mengatur juga beroperasi dengan maksimal dan saling mendukung satu sam lain. Apabila kita melihat pada ranah lembaga pendidikan, tugas pendidik untuk mencarikan cara tepat bagi peserta didik untuk belajar, dan fungsi yang paling baik yang bisa ditawarkan kepada peserta didik, sehingga mereka dapat memeranakan diri sebagai subjek belajar selama mengikuti pendidikan untuk memberantas buta huruf misalnya. Pendidikan harus secara konsisten menemukan dan terus mencari cara-cara yang memudahkan peserta didik untuk melihat objek yang harus diketahui dan akhirnya dipelajari, sebagai sebuah masalah. Dalam hubungan antara pendidik dan peserta didik yang dimediatori oleh objek pegetahuan haruslah dengan di singkap, faktor yang paling penting adalah perkembangan adalah sikap kritis terhadap objek, bukannya apa yang diajarkan pendidik tentang objek. Maka ketika pendidik dan peserta didik sama-sama mendekati objek untuk dianalisa guna menemukan maknanya, mereka manemukan informasi yang benar untuk mendapatkan hasil analisa yang tepat. Mengetahui (to knows) tidak sama dengan menebak (to guees); informasi itu hanya akan bermanfaat jika kita dapat menangkap akar permasalahannya. Tanpa rumusan masalah yang tepat, maka proses mencari informasi bukanlah momentum belajar yang tepat dan proses tersebut hanya akan menjadi proses pengalihan informasi dari pendidik kepada peserta didik.[6]
Kembali lagi pada pendidikan (kaum tertindas), pendidikan yang mereka alami dijalankan oleh kemurah-hatian otentik, kedermawanan humanis ( bukan humanitarian), menampilkan diri sebagai pendidikan manusia. Pendidikan yang berawal dari kepentingan-kepentingan egoistis para penindas yang membuat kaum tertindas jadi objek-objek hunatiraianisme, melestarikan dan mengedepankan penindasan. Pendidikan seperti itu adalah alat mendehumanisasikan manusia. Inilah sebebnya pendidikan kaum tertindas tak bisa dikembangkan atau dipraktikkan oleh kaum penindas.[7] Selain itu pula, penerapan pendidikan yang membebaskan memerlukan kekuatn politik, sementara kaum tertindas tidak memiliki itu. Itulah mengapa, pendidikan erat kaitannya dengan politisasi. Sistem pendidikan menjadi sentralistik dan bahkan otoriter, pihak penguasa memiliki kekuatan untuk mengatur semuanya. Ya kalau penguasa (pemerintah) benar-benar memahami betapa pentingnya pendidikan, maka ia akan mencurahkan perhatian yang lebih kepada pendidikan yakni liberasi pendidikan. Jadi, artinya tidak ada unsur politik dalam pendidikan yang memberatkan manusia dalam menjalani pendidikan. Bukan berarti pemerintah “lepas tangan” terhadap perkembangan pendidikan, namum lebiih kepada bagaimana otoritas pemerintah tidak mutlak dan absolut serta bebas dari unsur politisasi.
Karena apabila dunia pendidikan sudah tercermar dengan aroma politisasi, maka akan berdampak buruk pada generasi muda (peserta didik). Mulai dari pusat, sampai ke tingkat birokrasi sekolah akan diwarnai saling menguntungkan kepentingan pribadi. Misalnya, dalam sebuah sekolah (apapun jenjangnya) menjadi sebuah pasar pengetahuan; profesor menjadi seorang ahli yang menjual dan mendistribusikan pengetahuan yang telah di paket, sedangkan peserta didik menjadi klien yang membeli dan mengonsumsinya. Sekali lagi, yang penting bagi pendidik dan peserta didik adalah berusaha untuk menghindar dari jebakan birokrasi karena sesungguhnya birokrasi hanya akan menghambat kreatifitas dan membentuk peserta didik menjadi sekadar orang yang pandai mengulang-ulang kata-kata yang klise.[8]Makanya pendidikan harus lebih menekankan pada konsep pemanusiaan yang murni bukan hanya pengetahuan manusia itu “apa”, tapi “untuk apa”.
Jadi, memang kebanyakan sistem pendidikan (pada zaman skarang) Indonesia khususnya, hanya menekankan pada aspek kognitif saja, sedangkan psiko-motorik dan afektif masih minim, apalagi psiko-motorik memang sangat sedikit pendidik yang sampai ke arah sana karena orientasi mereka hanya menajdikan peserta didik sebagai ‘ilmuan”, bukan orang yang “berilmu”, maksudnya out put yang dihasilkan hanya membentuk orang-orang yang berfikir secara rasional tanpa menggunakan hati. Otak dijadikan otoritas utama dengan menomerdukan hati, bukan berarti pendidikan itu tidak menggunakan otak, hanya persentase penggunaan hati sangat minim. Ya, kita lihat saja, untuk mata pelajaran mengenai keagmaan hanya satu kali dalam seminggu, berbeda dengan disiplin ilmu yang lain.
Ya, walaupun, konsep pendidikan Paulo freire ini lebih kepada bagaimana usaha manusia dari kaum terindas untuk bangkit dari ketertindasannya itu, ya bisa dibilang suatu revolusinerisasi dari kaum tertindas melalui pendidikan, hal tersebut beliau lihat dari konteks pada wilayah yang sedang menglami penjajahan, bukan berarti pada zaman sekarang hal tesebut tidak relevan lagi, justru yang beliau katakan masih terlihat, walaupun bukan dalam bentuk formal (penjajahan).
Beliau juga menyatakan, faktor yang paling penting dalam dunia pendidikan ini bukanlah belajar membaca dan menulis, yang bisa jadi proses tersebut tidak disertai dengan penglihatan yang kritis terhadap konteks sosial mereka. [9] Apa yang beliau katakan memang terjadi pada dunia pendidikan, khususnya Indonesia, hanya mengajarkan pengetahuan dari itu parahnya lagi terkadang peserta didik hanya menyalin apa yang ada di buku. Peserta didik hanya identik dengan kelas, buku, pena, dan guru. Peserta didik tidak diaktualkan dalam konteks sosial yang ada.
Jadi, seyogyanya, guru (pendidik) dan murid (peserta didik), sama-sama bertindak dalam dan bertindak terhadap kenyataan, sama-sama menjadi subjek-subjek, bukan hanya dala tugas menyingkap kenyataan, supaya mengetahuinya secara kritis, namun juga dalam tugas menciptakan kembali pengetahuan tadi. Selagi mereka memperoleh pengetahuan tentang kenyataan melalui reungan dan tindakan bersama, mereka menemukan diri sebagai pencipta-pencipta yang permanen.[10] Dengan bagitu, maka tidak akan ada lagi peserta palsu, melainkan peserta yang terlibat penuh dengan komitmen terhadap pemanusiaan. [1] Dwi Sisiwoyo dkk, Ilmu Pendidikan, UNY Press: Yogyakarta, 2008, Hal;15
[2] Ibid,,,Hal; 18-19
[3] Paulo Freire dkk,Menggugat Pendidikan; Fundamentalis, Konservatif, Liberal, Anarkis, Pustaka Pelajar: Yogyakarta, Cetakan ke-VI, 2006, Hal: 434-435
[4] Ibid,,Hal: 435
[5] Ibid,,,Hal; 438-439
[6] Paulo Freire,Pendidikan Sebagai Proses, Pustaka Pelajar: Yogyakarta, Hal: 10-11
[7] Opcit,,,Paulo Freire dkk, Hal:444
[8] Opcit,,,Paulo Freire, Hal: 13
[9] Ibid,,,Hal:29
[10]Opcit,,,Paulo Freire dkk, Hal: 457