Selasa, 20 Maret 2012

Sejarah Idealitas, Sejarah Realitas

Tags

Mata Pelajaran sejarah di sekolah Menengah Atas (SMA) mengalami benturan antara idealitas dan realitas di lapangan. Terutama benturan antara waktu yang diperkenankan dengan materi pelajaran sejarah yang berjibun, tentu amatlah tidak seimbang. Benturan itupun berdampak pula kepada guru sejarah sendiri yang harus berjibaku dengan segala tuntutan profesionalitas.

Etika idealitas berkata bahwa sejarah merupakan guru peradaban yang mengajarkan kebijaksanaan terhadap manusia, mengajarkan untuk belajar pada masa lalu supaya tidak mengulangi kesalahan pada masa sekarang untuk kehidupan yang lebih baik di masa depan. Bahkan Soekarno menekankan “Jas Merah!”, jangan sekali-sekali melupakan sejarah!. Namun realitas di lapangan berbicara lain, kejanggalan-kajanggalan terjadi pada pelaksanaan pembelajaran sejarah. Metode konvensional yang dibawakan oleh guru sejarah ditambah dengan alokasi waktu yang begitu mengungkung sejarah itu sendiri, tak ayal pelajaran ini pun di pandang sebelah mata sebagai dongeng pengantar sebelum tidur.

Alokasi mata pelajaran sejarah dirampok bahkan diperkosa menjadi satu jam pelajaran di kelas IPA. Sangat ironis untuk mengajarkan materi pelajaran sejarah dari mula masa zaman purba sampai era sekarang, diajarkan kepada siswa yang hanya alokasinya satu jam pertemuan tiap minggu untuk satu kelas. Guru sejarah pun, saya yakini, tidak menutup mata akan kasus dilematis ini. Mereka tentu sangat peka terhadap mata pelajaran yang diajarkannya. Namun sekali lagi, mereka tidaklah cukup mempunyai power besar untuk melawan kehendak dari ‘atas’ yang memberlakukan sebuah sistem menjerat leher guru. Seperti halnya yang dialami oleh Pak Sunarya, S.Pd, selaku guru pamong sejarah KKN-PPL di SMA N 1 Sanden, Bantul. Sudah 18 tahun dia bergulat dengan rutinitas pekerjaannya sebagai guru, sudah 18 tahun pula ia mencicipi asam garamnya menjadi bagian dari kaum Omar Bakri. Ia mengalami hal yang sama ketika dihadapkan pada situasi seperti yang sudah diulas diatas.

Ketika saya melakukan observasi di kelas 2 IPA 3. Pagi-pagi benar saya berangkat ke sekolah dari tempat nenek. Pak Sun, begitu saya memanggilnya, mengajar jam pertama sekolah. Kuperhatikan setiap gerak langkahnya mengajar, begitu sangat datar dengan metode cermah yang memakai sumber pembelajaran LKS. Murid-murid pun sebagian besar mengacuhkan apa yang dipelajari, ada yang bermain HP, mengobrol, dan sibuk mengurusi gelung konde rambutnya yang tak selesai-selesai sambil mendandani mukanya yang penuh dengan warna-warni make up. pukul delapan lewat 5 menit bel sudah berbunyi menandai pergantian jam mata pelajaran. Saya pun sempat kaget betapa sangat terbatasnya waktu untuk mempelajari materi sejarah saat itu, tentang masa kabinet liberal, hanya dalam waktu 1 jam pelajaran.

Saya berkeluh kepada Pak Sun di depan lobi ruang guru, “Pak, pantas saja sejarah menjadi pelajaran dongeng semata jika jam mata pelajaran  ini terbatas dan metode yang disampaikan pun hanya dengan media ceramah?!” imbuh saya mencoba sedikit menyinggung dia. “Saya pernah mengikuti PLPG UNY dan MGMP, apa yang diberikan selama PLG itu bagus dan sangat idealis, RPP harus seperti ini dan seperti itu, harus menggunakan metode dan media yang variatif dan kreatif. tapi kenyataannya di lapangan kan berbeda. Waktu dan sarana prasarana di sekolah tidak mencukupkan untuk menerapkan berbagai metode yang ada itu. Ya, harus dikuti saja, berjalan secara normatif sajalah!” suara beliau begitu datar mencoba menutupi kegelisahannya.

Namun, raut muka Pak Sun tidak dapat menyembunyikan kegelisahan sebagai pendidik menghadapi realitas dan terjebak dalam pusaran sistem. Permasalahannya adalah, sampai kapan Ia harus bermain kucing-kucingan dengan sistem? Sampai kapan idealismenya kan tenggelam dalam lautan pragmatime?
Begitu obrolan kami berdua mengalir begitu saja sampai tak terasa siang menggilas mentari. Pak sun begitu mirip mukanya dengan Nazaruddin Syamsudin tapi sayang nasibnya tak semirip Nazarudin. Namun ia masih bisa hidup bahagia dalam kesederhanaan sebagai guru bersama dua orang anaknya.
Sangat sebal memang melihat semua realitas tersebut, realitas yang harus dialami oleh penulis sendiri yang kelak kan menjadi guru. Menjadi ikan di dalam air laut yang keruh dan kotor yang sudah tercemari tumpahan minyak mengharuskan sang Ikan hanya diam sampai ia mati atau ia berusaha terus berenang ke bagian yang tidak tercemar. Tapi sangat sulit sekali dalam Negara yang serba birokratis bermental elitis yang masih mempertahankan status quonya sebagai bangsa yang hanya berkutat dalam kompromitas feodal.

Mengajarkan dan membangun kesadaran sejarah (consciousness of history) kepada generasi penerus bangsa merupakan tugas darurat yang harus dilakukan oleh guru sejarah di tengah bangsa yang dirundung alienasi sejarah bangsanya sendiri. Keluar dari sistem dan mencoba untuk membuat terobosan-terobasan baru (metode dan media pembelajaran kreatif daan inofaif) adalah wajib dilakukan guna membuka paradigma baru bahwa sejarah bukan semata pelajaran dongeng semata, sejarah bukan hanya mengajarkan fakta semata, tapi ujung dari sejarah adalah nilai dan hikamah (transfer of value). Mengajarkan sejarah tidak hanya di dalam kelas. Kita harus keluar dari empat tembok persegi putih dan mencoba mengaajarkan sejarah dalam ketauladanan kita sehari-hari. Jangan sampai bangsa ini menjadi bangsa tuna sejarah! Sejarah menjadi teralienasi, setiap orang menjadi asing akan sejarahnya masing-masing, bak kacang lupa akan kulitnya.
 
Oleh: Tubagus Umar Syarif Hadi Wibowo


EmoticonEmoticon

Laman