Oleh: Anatoli Kasparov Putu Abdullah
Tema ini bukanlah bermula dari ide penulis seorang diri, namun merupakan buah pertengkaran panjang (baca: perdebatan) dengan saudara penulis (akh Akur Wijayadi). Perdebatan itu dilandasi dari pepatah latin yang berbunyi “amantium irae amoris integratio est” (pertengkaran antarkekasih akan memperbarui cinta). Dan perdebatan penulis dengan akh Akur Wijayadi, kiranya akan memperbarui cara pandang kita. Sebenarnya tema ini akan diangkat menjadi tulisan beliau, oleh karena kesibukan dalam merampungkan tugas akhir skripsi sehingga terlupakan. Dengan alakadarnya tema ini coba saya selesaikan dengan sudut pandang yang berbeda tentunya..
Perspektif Pertama: Aktor yang terlupakan
Pagi hari sekitar empat bulan (Agustus) yang lalu insyaAlloh masih segar dalam ingatan. Didalam sebuah rumah kontrakan, tiba–tiba ada teman yang terlihat sedang bingung, sikap itu jelas terlihat dari polah dan paras wajahnya. Teman itu tiba-tiba keluar dari kamar dan pergi keteras sambil mengangkat sebuah telepon, yang penulis tahu telepon itu dari orang tuanya. Perbincangan jelas terdengar sampai kedalam tempat penulis beraktivitas. Namun setelah perbincangan terhenti teman itu tidak segera masuk kerumah, yang ada penulis melihat beliau sedang termenung dan menangis sambil duduk dibangunan teras. Coba bertanya perihal yang terjadi. Namun tidak disangka beliau berucap” kesalahan terbesar saya adalah bertemu dengan antum, pagi ini adalah hari terakhir harus regrisrasi di UNY tapi bingung bagaimana bayarnya. Saya tidak punya uang, terpaksa dan dengan “memaksa” harus minta uang lagi kepada orang tua, padahal semestinya saya sudah lulus setahun yang lalu dan tidak merepotkan bapak dan biyung lagi, hari ini saya sangat sedih karena sudah mengecewakan orangtua. Andai saja saya tidak bertemu antum pasti saya sudah lulus dan berprestasi secara akademik, namun sekarang yang saya rasakan adalah ketika sudah tidak diperlukan lagi, Saya ditinggalkan sendiri dengan berbagai kegagalanya tanpa ada yang mau peduli. Hanya menuntut tanpa mau memberi pengertian dan perhatian…”
Teman penulis dulunya adalah seorang aktivis pergerakan yang sangat militan, dan memiliki kontribusi yang besar dalam dunia pergerakan (baca: organisasi), sampai-sampai mengurus dirinya sendiripun kadang terlupakan, terutama dalam bidang akademik. Dampaknya sekarang beliau harus memperpanjang masa studinya. Menjadi keheranan penulis adalah, dulu dia tidak pernah mengeluh apalagi menangis meskipun seberat dan selelah apapun dalam menjalankan amanah. Tetapi sekarang meskipun badanya kuat dan tidak begitu lelah dalam beraktivitas, saya lihat Ia menangis serta mengeluh, mungkin beban pikiranya yang membuatnya menangis, terlihat jiwanya begitu lelah (rapuh). Kata-kata beliau diatas, penulis yakin bukan berasal dari hati kecilnya, karena penulis tahu bahwa dulu Ia sangat mencintai dunia pergerakanya dan sampai saat inipun Ia masih sangat mencintainya. Mungkin beliau saat itu baru merasa mendapat ujian kegagalan, namun seakan-akan teman-teman seperjuangan atau pregerakanya (baca: organisasinya) dimana Ia mengabdikan diri terlihat tidak peduli dan malah meninggalkanya sendiri. Mungkin Ia merasa menjadi orang yang terlupakan, terpinggirkan.
Cerita diatas tidak akan dilihat dalam perspektif hubungan antara hamba dengan Alloh SWT (Habluminalloh). Namun dilihat dari segi hubungan antara hamba dengan hamba (Habluminanas). Alloh SWT sudah tentu akan mengganti dengan balasan yang terbaik bagi hambanya yang telah berkontribusi untuk menjaga agamaNya. Apalagi memiliki banyak manfaat bagi yang lain, pasti balasan kebaikan tidak terhingga diperuntukan baginya. Masalah ini tidak perlu kita diskusikan ulang, sebab ini sudah keniscayaan dan bukan lagi asumsi atau opini. Namun bolehlah kita memberi kritik atau nasehat bagi sesama hamba yang tentunya dibarengi dengan spirit untuk menghadirkan perbaikan. Sebagai gambaran, dulu penulis pernah diingatkan oleh seorang ustad karena lupa untuk menepati sebuah janji, “…lupa itu adalah sifat manusia, tapi sebenarnya manusia bisa membuat dirinya untuk tidak lupa. Agar tidak lupa akan janji-janji, kita bisa mengiktiarkanya dengan menuliskan janji itu di buku, atau meminta yang lain untuk selalu mengingatkannya”.
Sepengetahuan penulis spirit pergerakan (organisasi) kita bukanlah sebuah kerumunan yang bergerak tanpa aturan. Di dalam kerumunan sesama orang tidak saling mengenal apalagi memperdulikan. Spirit pergerakan kita adalah spirit barisan yang rapi, disiplin dan saling mengerti antara siapa disamping, depan dan belakang dalam barisanya (saling peduli). Orang didalam pergerakan kita bukanlah sekedar “massa” yang bertindak tanpa tanggungjawab, tidak tahu hak dan kewajibannya. Anggota pergerakan kita adalah “kader” yang bertindak dengan rasa tanggungjawab, serta sadar hak dan keawajiban yang diatur secara jelas. Spirit barisan semestinya membawa pada perencanaan yang matang, terukur dan sistematis. Tidak bergerak secara sporadis tanpa adanya roadmap (peta jalan) yang jelas. Barisan menghasilkan pergerakan yang memiliki karakter predictable, dan credible. Barisan dibentuk oleh orang atau kelompok yang memainkan peran masing-masing secara dewasa dalam jalin kelindan interaksi antara hak dan kewajiban. Di dalam barisan, setiap pihak berperan secara beradab. Sementara itu, kerumunan adalah himpunan massa. Dalam kerumunan, setiap orang atau kelompok merasa kuat karena beraksi secara kolektif. Berlindung di balik kolektivitas, setiap anasir kerumunan merasa gagah menuntut hak-haknya sambil membunuhi hak-hak orang lain. Spirit “Kader” semestinya membawa setiap aktivitas yang dilakukan oleh anggota dilakukan dengan penuh tanggungjawab, peduli, rasional dan sesuai nilai-nilai yang digunakan oleh pergerakannya. Namun sebaliknya pergerakan (baca: Organisasi) semestinya juga memiliki tanggungjawab, perhatian, dan kepedulian terhadap kondisi anggota-anggotanya
Fenomena diatas semoga bukan memperlihatkan bahwa spirit “Barisan” dan “Kader” dalam pergerakan sudah mulai luntur. Lebih jauh lagi jangan sampai “kita” sudah tertular spirit kapitalisme. Secara sederhana kapitalisme dapat dimaknai dengan sebuah ajaran mencari keuntungan yang sebanyak-banyaknya untuk pribadi, tanpa perlu memperhatikan kebutuhan atau kepentingan yang lain. Jangan sampai kita kehilangan kepekaan nurani untuk mengerti dan memahami yang lain diluar pergerakan ataupun sesama anggota pergerakan, baik yang ditingkat elite maupun tingkat akar rumput. Mungkin sejenak kita perlu menutup buku teori, dan mulut dari berbagai kata-kata retoris yang sifatnya abstrak dan jauh dari kondisi sebenarnya. Dari cerita tersebut semoga dapat diambil hikmah dan pelajaran. Sehingga kedepan dapat melangkah kembali dengan menggunakan spirit “Barisan’ dan “Kader” serta meninggalkan jauh-jauh spirit “Kerumunan” dan “Massa” (terhindar dari sifat kapitalisme). Dan ibarat sebuah kumpulan buku cerita tentang kealpaan, semoga cerita diatas adalah kisah dihalaman terakhir.
Perspektif Kedua: Kultur yang Terlupakan
Aktor, struktur dan kultur merupakan pilar penting bagi sebuah organisasi/ pergerakan. Kalau perspektif pertama diawal tulisan ini terkait yang terlupakan dijalan dakwah lebih pada aktor, perspektif selanjutnya adalah kultur. Bangunan pergerakan ini sangatlah kokoh dikarenakan memiliki resolusi konflik yang terlembaga secara baik. Sehebat apapun pertengkaran dalam tubuh pergerakan akan mudah diselesaikan secara kekeluargaan. Kultur tabayun menjadi cara strategis guna menetralkan kesalahpahaman. Kultur tabayun membuat kader menjadi tidak ada sekat dan kecurigaan. Semua masalah dapat diselesaikan secara terbuka dan kekeluargaan. Oleh sebab itu, kultur tabayun merupakan alat untuk merenda kekokohan gerakan. Sejalan dengan kultur tabayaun, kultur saling menasehati dan mendoakan juga merupakan perekat kuat tenun pergerakan. Diawal penulis masuk kedalam pergerakan ini, masih segar dalam ingatan betapa kedua kultur itu sangat melembaga. Sebagai contoh: pernah seorang sahabat mengingat “Apakah antum mengenal angka 22 akhi? Yah angka 22... sadarkah antum sudah menghuni Bumi Allah ini selama itu, lalu dengan angka itu, apakah yang sudah antum ukirkan di kanvas daratan ini. Sudahkah antum berbuat”. Kutipan ini merupakan bukti bahwa dalam dunia pergerakan kita telah tumbuh budaya saling menasehati, mengingatkan serta saling memberi tanpa banyak terlalu menuntut. Dengan itu kekokohan gerakan lambat laun akan terkonstruksi.
Kebiasaan untuk bertabayun, dan saling menasehati disadari atau tidak merupakan sarana yang sangat efektif guna memperkuat bangunan pergerakan. Kultur tersebut yang menjadikan bangunan tarbiyah ini menjadi kokoh dan memenangkan banyak kompetisi. Namun saat ini, kedua kultur itu terasa mulai tidak populer lagi. Mungkin karena merasa kokoh, menang dan sempurna muncul rasa berhak untuk memonopoli kebenaran, sehingga tidak perlu lagi bertabayun dan menasehati. Tabayun bukan hanya kewajiban bawahan terhadap atasan, namun juga atasan kepada bawahan. Menasehati kebaikan bukan hanya kewajiban atasan kepada bawahan, namun juga sebaliknya bawahan kepada atasan. Dengan terlupakanya kedua kultur ini, akibatnya adalah ketika masalah muncul lebih senang untuk membicarakan dibelakang dan tidak mengklarifikasi (mentabayunkan) langsung dengan pihak yang bersangutan. Ketika ada kesalahan lebih senang untuk “menggunjing” dan akhirnya menghukum dengan “cap” daripada menasehatinya untuk kembali kepada kebenaran, pada akhirnya nanti akan merobek tenun pergerakan kita. Kultur tabayun dan saling menasehati yang mungkin saat ini terlupakan dijalur (pergerakan) dakwah, penting untuk diingat kembali. Kalau kedua kultur ini benar terlupakan, bisa jadi kemenangan- kemenangan yang didapatkan saat ini sebenarnya adalah kekalahan yang tertunda. Semoga itu tidak terjadi…….
Note: Jika terdapat ketidaksepakatan dari tulisan ini silahkan diperdebatkan melalui artikel balasan. Penulis meyakini sebuah nasehat bijak yang mengatakan “Musuh didalam perdebatan sejatinya adalah teman didalam berfikir”.
Tema ini bukanlah bermula dari ide penulis seorang diri, namun merupakan buah pertengkaran panjang (baca: perdebatan) dengan saudara penulis (akh Akur Wijayadi). Perdebatan itu dilandasi dari pepatah latin yang berbunyi “amantium irae amoris integratio est” (pertengkaran antarkekasih akan memperbarui cinta). Dan perdebatan penulis dengan akh Akur Wijayadi, kiranya akan memperbarui cara pandang kita. Sebenarnya tema ini akan diangkat menjadi tulisan beliau, oleh karena kesibukan dalam merampungkan tugas akhir skripsi sehingga terlupakan. Dengan alakadarnya tema ini coba saya selesaikan dengan sudut pandang yang berbeda tentunya..
Perspektif Pertama: Aktor yang terlupakan
Pagi hari sekitar empat bulan (Agustus) yang lalu insyaAlloh masih segar dalam ingatan. Didalam sebuah rumah kontrakan, tiba–tiba ada teman yang terlihat sedang bingung, sikap itu jelas terlihat dari polah dan paras wajahnya. Teman itu tiba-tiba keluar dari kamar dan pergi keteras sambil mengangkat sebuah telepon, yang penulis tahu telepon itu dari orang tuanya. Perbincangan jelas terdengar sampai kedalam tempat penulis beraktivitas. Namun setelah perbincangan terhenti teman itu tidak segera masuk kerumah, yang ada penulis melihat beliau sedang termenung dan menangis sambil duduk dibangunan teras. Coba bertanya perihal yang terjadi. Namun tidak disangka beliau berucap” kesalahan terbesar saya adalah bertemu dengan antum, pagi ini adalah hari terakhir harus regrisrasi di UNY tapi bingung bagaimana bayarnya. Saya tidak punya uang, terpaksa dan dengan “memaksa” harus minta uang lagi kepada orang tua, padahal semestinya saya sudah lulus setahun yang lalu dan tidak merepotkan bapak dan biyung lagi, hari ini saya sangat sedih karena sudah mengecewakan orangtua. Andai saja saya tidak bertemu antum pasti saya sudah lulus dan berprestasi secara akademik, namun sekarang yang saya rasakan adalah ketika sudah tidak diperlukan lagi, Saya ditinggalkan sendiri dengan berbagai kegagalanya tanpa ada yang mau peduli. Hanya menuntut tanpa mau memberi pengertian dan perhatian…”
Teman penulis dulunya adalah seorang aktivis pergerakan yang sangat militan, dan memiliki kontribusi yang besar dalam dunia pergerakan (baca: organisasi), sampai-sampai mengurus dirinya sendiripun kadang terlupakan, terutama dalam bidang akademik. Dampaknya sekarang beliau harus memperpanjang masa studinya. Menjadi keheranan penulis adalah, dulu dia tidak pernah mengeluh apalagi menangis meskipun seberat dan selelah apapun dalam menjalankan amanah. Tetapi sekarang meskipun badanya kuat dan tidak begitu lelah dalam beraktivitas, saya lihat Ia menangis serta mengeluh, mungkin beban pikiranya yang membuatnya menangis, terlihat jiwanya begitu lelah (rapuh). Kata-kata beliau diatas, penulis yakin bukan berasal dari hati kecilnya, karena penulis tahu bahwa dulu Ia sangat mencintai dunia pergerakanya dan sampai saat inipun Ia masih sangat mencintainya. Mungkin beliau saat itu baru merasa mendapat ujian kegagalan, namun seakan-akan teman-teman seperjuangan atau pregerakanya (baca: organisasinya) dimana Ia mengabdikan diri terlihat tidak peduli dan malah meninggalkanya sendiri. Mungkin Ia merasa menjadi orang yang terlupakan, terpinggirkan.
Cerita diatas tidak akan dilihat dalam perspektif hubungan antara hamba dengan Alloh SWT (Habluminalloh). Namun dilihat dari segi hubungan antara hamba dengan hamba (Habluminanas). Alloh SWT sudah tentu akan mengganti dengan balasan yang terbaik bagi hambanya yang telah berkontribusi untuk menjaga agamaNya. Apalagi memiliki banyak manfaat bagi yang lain, pasti balasan kebaikan tidak terhingga diperuntukan baginya. Masalah ini tidak perlu kita diskusikan ulang, sebab ini sudah keniscayaan dan bukan lagi asumsi atau opini. Namun bolehlah kita memberi kritik atau nasehat bagi sesama hamba yang tentunya dibarengi dengan spirit untuk menghadirkan perbaikan. Sebagai gambaran, dulu penulis pernah diingatkan oleh seorang ustad karena lupa untuk menepati sebuah janji, “…lupa itu adalah sifat manusia, tapi sebenarnya manusia bisa membuat dirinya untuk tidak lupa. Agar tidak lupa akan janji-janji, kita bisa mengiktiarkanya dengan menuliskan janji itu di buku, atau meminta yang lain untuk selalu mengingatkannya”.
Sepengetahuan penulis spirit pergerakan (organisasi) kita bukanlah sebuah kerumunan yang bergerak tanpa aturan. Di dalam kerumunan sesama orang tidak saling mengenal apalagi memperdulikan. Spirit pergerakan kita adalah spirit barisan yang rapi, disiplin dan saling mengerti antara siapa disamping, depan dan belakang dalam barisanya (saling peduli). Orang didalam pergerakan kita bukanlah sekedar “massa” yang bertindak tanpa tanggungjawab, tidak tahu hak dan kewajibannya. Anggota pergerakan kita adalah “kader” yang bertindak dengan rasa tanggungjawab, serta sadar hak dan keawajiban yang diatur secara jelas. Spirit barisan semestinya membawa pada perencanaan yang matang, terukur dan sistematis. Tidak bergerak secara sporadis tanpa adanya roadmap (peta jalan) yang jelas. Barisan menghasilkan pergerakan yang memiliki karakter predictable, dan credible. Barisan dibentuk oleh orang atau kelompok yang memainkan peran masing-masing secara dewasa dalam jalin kelindan interaksi antara hak dan kewajiban. Di dalam barisan, setiap pihak berperan secara beradab. Sementara itu, kerumunan adalah himpunan massa. Dalam kerumunan, setiap orang atau kelompok merasa kuat karena beraksi secara kolektif. Berlindung di balik kolektivitas, setiap anasir kerumunan merasa gagah menuntut hak-haknya sambil membunuhi hak-hak orang lain. Spirit “Kader” semestinya membawa setiap aktivitas yang dilakukan oleh anggota dilakukan dengan penuh tanggungjawab, peduli, rasional dan sesuai nilai-nilai yang digunakan oleh pergerakannya. Namun sebaliknya pergerakan (baca: Organisasi) semestinya juga memiliki tanggungjawab, perhatian, dan kepedulian terhadap kondisi anggota-anggotanya
Fenomena diatas semoga bukan memperlihatkan bahwa spirit “Barisan” dan “Kader” dalam pergerakan sudah mulai luntur. Lebih jauh lagi jangan sampai “kita” sudah tertular spirit kapitalisme. Secara sederhana kapitalisme dapat dimaknai dengan sebuah ajaran mencari keuntungan yang sebanyak-banyaknya untuk pribadi, tanpa perlu memperhatikan kebutuhan atau kepentingan yang lain. Jangan sampai kita kehilangan kepekaan nurani untuk mengerti dan memahami yang lain diluar pergerakan ataupun sesama anggota pergerakan, baik yang ditingkat elite maupun tingkat akar rumput. Mungkin sejenak kita perlu menutup buku teori, dan mulut dari berbagai kata-kata retoris yang sifatnya abstrak dan jauh dari kondisi sebenarnya. Dari cerita tersebut semoga dapat diambil hikmah dan pelajaran. Sehingga kedepan dapat melangkah kembali dengan menggunakan spirit “Barisan’ dan “Kader” serta meninggalkan jauh-jauh spirit “Kerumunan” dan “Massa” (terhindar dari sifat kapitalisme). Dan ibarat sebuah kumpulan buku cerita tentang kealpaan, semoga cerita diatas adalah kisah dihalaman terakhir.
Perspektif Kedua: Kultur yang Terlupakan
Aktor, struktur dan kultur merupakan pilar penting bagi sebuah organisasi/ pergerakan. Kalau perspektif pertama diawal tulisan ini terkait yang terlupakan dijalan dakwah lebih pada aktor, perspektif selanjutnya adalah kultur. Bangunan pergerakan ini sangatlah kokoh dikarenakan memiliki resolusi konflik yang terlembaga secara baik. Sehebat apapun pertengkaran dalam tubuh pergerakan akan mudah diselesaikan secara kekeluargaan. Kultur tabayun menjadi cara strategis guna menetralkan kesalahpahaman. Kultur tabayun membuat kader menjadi tidak ada sekat dan kecurigaan. Semua masalah dapat diselesaikan secara terbuka dan kekeluargaan. Oleh sebab itu, kultur tabayun merupakan alat untuk merenda kekokohan gerakan. Sejalan dengan kultur tabayaun, kultur saling menasehati dan mendoakan juga merupakan perekat kuat tenun pergerakan. Diawal penulis masuk kedalam pergerakan ini, masih segar dalam ingatan betapa kedua kultur itu sangat melembaga. Sebagai contoh: pernah seorang sahabat mengingat “Apakah antum mengenal angka 22 akhi? Yah angka 22... sadarkah antum sudah menghuni Bumi Allah ini selama itu, lalu dengan angka itu, apakah yang sudah antum ukirkan di kanvas daratan ini. Sudahkah antum berbuat”. Kutipan ini merupakan bukti bahwa dalam dunia pergerakan kita telah tumbuh budaya saling menasehati, mengingatkan serta saling memberi tanpa banyak terlalu menuntut. Dengan itu kekokohan gerakan lambat laun akan terkonstruksi.
Kebiasaan untuk bertabayun, dan saling menasehati disadari atau tidak merupakan sarana yang sangat efektif guna memperkuat bangunan pergerakan. Kultur tersebut yang menjadikan bangunan tarbiyah ini menjadi kokoh dan memenangkan banyak kompetisi. Namun saat ini, kedua kultur itu terasa mulai tidak populer lagi. Mungkin karena merasa kokoh, menang dan sempurna muncul rasa berhak untuk memonopoli kebenaran, sehingga tidak perlu lagi bertabayun dan menasehati. Tabayun bukan hanya kewajiban bawahan terhadap atasan, namun juga atasan kepada bawahan. Menasehati kebaikan bukan hanya kewajiban atasan kepada bawahan, namun juga sebaliknya bawahan kepada atasan. Dengan terlupakanya kedua kultur ini, akibatnya adalah ketika masalah muncul lebih senang untuk membicarakan dibelakang dan tidak mengklarifikasi (mentabayunkan) langsung dengan pihak yang bersangutan. Ketika ada kesalahan lebih senang untuk “menggunjing” dan akhirnya menghukum dengan “cap” daripada menasehatinya untuk kembali kepada kebenaran, pada akhirnya nanti akan merobek tenun pergerakan kita. Kultur tabayun dan saling menasehati yang mungkin saat ini terlupakan dijalur (pergerakan) dakwah, penting untuk diingat kembali. Kalau kedua kultur ini benar terlupakan, bisa jadi kemenangan- kemenangan yang didapatkan saat ini sebenarnya adalah kekalahan yang tertunda. Semoga itu tidak terjadi…….
Note: Jika terdapat ketidaksepakatan dari tulisan ini silahkan diperdebatkan melalui artikel balasan. Penulis meyakini sebuah nasehat bijak yang mengatakan “Musuh didalam perdebatan sejatinya adalah teman didalam berfikir”.
EmoticonEmoticon