Oleh Rakhyan Risnu S.
Amerika Serikat dan negara-negara Barat adalah
negara-negara maju dan penguasa di dunia, paling tidak saat ini. Mereka semua
adalah negara-negara demokrasi, sehingga kita sering menyebut bahwa
negara-negara yang demokrasi adalah negara-negara yang maju. Paling tidak itu
benar dengan berbagai teori dan bukti empiris keberadaan mereka saat ini.
Tapi kita bisa melihat keberadaan dua negara lainnya
yang tidak demokrasi yaitu China dan Singapura. Singapuran bukanlah negara
demokrasi, meski terlihat demokrasi tapi dia termasuk negara paling makmur di
dunia. Begitu juga dengan China. Jelas dia bukanlah negara demokrasi namun
perekonomiannya membuat kita terpana. China menjadi salah satu negara yang
diprediksi akan menyaingi perekonomian barat. China telah berhasil mematahkan
mitos sebuah hanya negara demokrasi yang akan menjadi negara yang makmur.
Lalu apa yang membuat Singapura atau China dan
negara-negara Barat sama-sama menjadi negara maju? Kesamaan mereka adalah
meritokrasi, sistem yang membuat yang paling berkompetenlah yang berkuasa.
Dalam sebuah pidato kebudayaan dengan tajuk 'Membangun
Budaya Demokrasi' di Djakarta Theatre disampaikan Senin, 17 Mei 2010 di Duren Sawit,
Jakarta. Anas menempatkan meritokrasi sebagai agenda terpenting dalam
membangun budaya demokrasi. Menurutnya meritokrasi
harus dijaga dari polusi politik uang dan, sebaliknya, meritokrasi yang kokoh
akan membentengi suatu organisasi dari politik uang. Meritokrasi
berasal dari kata merit atau manfaat, meritokrasi yang sebenarnya
menunjuk kepada suatu bentuk sistem politik yang memberikan penghargaan lebih
kepada mereka yang berprestasi atau berkemampuan. Saya sependapat dengan hal
ini, tidak hanya sekedar seseorang yang bermodal harta dan tampang dapat
menjadi seorang pemimpin. Melainkan dia haruslah mempunyai kemampuan atau
kompetensi yang kemudian dia juga mempunyai sebuah gagasan tentang konsep
hubungan masyarakat dan negara yang baik, dialah yang akan mendapatkan posisi
sebagai pemimpin. Dengan meritokrasi diharapkan
dapat melahirkan sejumlah pemimpin
yang kompeten setelah ditempa oleh proses dan memiliki akar dan penerimaan
publik.
Taqiyuddin Ibnu Taymiyah (1263-1328) dalam risalahnya
“al-Siyasah al-Syariyyah” (pemerintahan syariat) menegaskan bahwa tujuan
kekuasaan adalah memperbaiki agama manusia dan mengatur urusan dunia yang
tanpanya agama tidak sempurna. Agama tidak akan tegak tanpa kekuasaan dan
kekuasaan akan buta tanpa agama. Membangun dan mendirikan kekuasaan adalah
kewajban agama yang paling luhur. Tujuannya mengantarkan manusia pada
kebahagiaan dunia dan akhirat. Agama dan negara, kata Ibnu Taymiyah, ibarat
sekeping uang logam yang sisi-sisinya saling melengkapi. “Qawwamu al-din bi
al-saef wa al-mushaf,” tegas Ibnu Taymiyah. Maksudnya, agama tidak akan bisa
tegak kecuali dengan mushaf (al-Quran dan al-Hadits) dan pedang (kekuasaan).
Sehingga dengan merujuk dari yang disampaikan Ibnu Taymiyah, seorang pemimpin
yang baik bukan hanya memiliki kompetensi kecerdasan dan pemberani saja,
melainkan ia juga harus ditempa dengan nilai-nilai luhur sebuah agama. Sehingga
dia akan menjadi seorang pemimpin yang luhur dan bijaksana. Sistem Meritokrasi
ini sangatlah tepat jika dalam hal untuk menciptakan seorang pemimpin yang
cerdas dan begitu pula rakyatnya yang kritis. Karena dalam prosesnya, rakyat
akan berlomba dalam hal menjadikan dirinya memiliki kompetensi kecerdasan,
keberanian yang didampingi ruhaniyah yang luhur.
Selanjutnya mengenai mekanisme penunjukan, sebagai
salah satu mekanisme pemilihan dan penempatan posisi seorang pemimpin. Dalam
Islam sendiri tidak mengatur bagaimana prosesnya, hanya saja dalam sebuah
riwayat menjelsakan beberapa hal dalam proses pemilihan dan penempatan posisi
khalifah seperti Abu Bakar, Umar bin Khatab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi
Thalib. Mekanisme baiatlah yang menjadikan mereka sebuah khalifah. Keunikan
dari mekanisme ini adalah sebelum proses pembaiatannya, yaitu ada sebuah proses
penjajakan pendapat para sahabat/rakyat. Inilah yang dapat dikatakan sebuah
musyawarah besar dengan rakyat. Melibatkan segenap elemen, bukan hanya sebuah
golongan atau kabilah. Mereka yang akan dicalonkan diumumkan kepada masyarakat,
dan masyarakat berhak menilai dan membaiatnya. Siapa yang
dikehendaki oleh para sahabat atau mayoritas para sahabat, maka orang itu
dibaiat dan dengan itu ia menjadi Khalifah dan kaum muslim menjadi wajib untuk
mentaatinya. Lalu kaum muslim secara umum membaiatnya dengan baiat taat.
Demikianlah terwujud Khalifah dan ia menjadi wakil umat dalam menjalankan
pemerintahan dan kekuasaan. Mekanisme ini tidak didasarkan atas dasar nafsu atau
sebuah konspirasi belaka, melainkan didasrkan atas tingkat keshalihan, ilmu,
dan kebijaksanaannya. Hal ini juga berlaku bagi Abu Bakar yang
dilakukan sebuah musyawarah yang kemudian dilanjutkan baiat Abu Bakar.
Selanjutnya, kaum muslim diundang ke Masjid Nabawi lalu mereka membaiat Abu
Bakar di sana.
Ketika Abu Bakar merasa bahwa sakitnya akan membawa
maut, dan khususnya karena pasukan kaum muslim sedang berada di medan perang
melawan negara besar kala itu, Persia dan Rumawi, Abu Bakar memanggil kaum
muslim meminta pendapat mereka tentang siapa yang akan menjadi Khalifah kaum
muslim sepeninggalnya. Proses musyarawah itu berlangsung selama tiga bulan.
Ketika Abu Bakar telah selesai meminta pendapat kaum muslim itu dan ia akhirnya
mengetahui pendapat mayoritas kaum muslim, maka Abu Bakar mewasiatkan Umar,
yakni mencalonkan sesuai dengan bahasa kala itu, agar Umar menjadi Khalifah
setelahnya. Wasiat atau pencalonan itu bukan merupakan akad pengangkatan Umar
sebagai Khalifah setelah Abu Bakar. Karena setelah wafatnya Abu Bakar, kaum
muslim datang ke masjid dan membaiat Umar untuk memangku jabatan Khilafah.
Dengan baiat inilah Umar sah menjadi Khalifah kaum muslim, bukan karena
musyawarah yang dilakukan oleh Abu Bakar.
Imam Bukhari mengeluarkan riwayat dari jalan al-Miswar
bin Mukhrimah yang berkata : “.. Abdurrahman bin 'Awf mengetuk pintu rumahku pada tengah
malam, Ia mengetuk pintu hingga aku terbangun, ia berkata : “aku lihat engkau
tidur, dan demi Allah jangan engkau habiskan tiga hari ini dengan banyak
tidur.” Yakni tiga malam. Ketika orang-orang melaksanakan shalat subuh,
sempurnalah dilangsungkan bait kepada Utsman. Maka dengan baiat kaum muslim
itu, Utsman menjadi Khalifah, bukan dengan penetapan Umar kepada enam orang.
Kemudian Utsman terbunuh. Lalu mayoritas kaum muslim di Madinah dan Kufah membaiat
‘Ali bin Abi Thalib. Maka dengan baiat kaum muslim itu, Ali menjadi seorang
Khalifah.
Penunjukan seseorang untuk dapat mengisi posisi
tertentu tidak bisa didasarkan atas kedekatan atau karena sebuah tawaran
politik yang menggiurkan. Kita bisa mencontoh bagaimana Umar bin Khatab melarang anaknya sendiri untuk ikut dalam pemilihan kekhalifahan ketika dirinya
dalam kondisi kritis setelah ditikan oleh Abu Lu’lu, seorang Majusi, budak dari Mughirah bin Syu’bah. Mereka berkata: Berwasiatlah, wahai Amirul Mukminin, carilah pengganti.
Ia menjawab: Saya tidak mendapatkan orang yang lebih berhak dengan urusan ini
daripada sekumpulan orang yang ketika Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam
meninggal dunia beliau meridhai mereka. Kemudian Umar menyebut nama Ali,
Utsman, Zubair, Thalhah, Sa’d, dan Abdurrahman. (HR Bukhari) yang kemudian beliau menunjuk Ibnu Umar sebagai saksi dan tidak diperbolehkan melakukan campur
tangan dalam urusan ini.
Sehingga dalam hal ini dapat kita tarik sebuah
pemahaman, bahwa bagaimanapun juga mekanismenya “Meritokrasi maupun Penunjukan”
yang terpenting adalah proses pembinaan ruhiyah, fikrah dan jasadiyah seorang
pemimpin yang kemudian dia perlu untuk dapat menyampaikan gagasannya kepada
rakyatnya saat ia akan memimpin kelak. Ketika seorang pemimpin yang ruhiyah,
fikrah dan jasadiyah baik tetapi tidak dapat menyampaikan gagasannya dengan
baik, maka akan menjadi sebuah kepemimpinan yang buruk.
EmoticonEmoticon