Minggu, 20 November 2011

Dimensi

Tags

Oleh Inung Pratiwi
Sering kita memfonis orang dengan gelar kejelekan yang bemacam-macam (nggak perlu saya kasih contoh ya).Sering pula kita berprasangka nggak jelas pada orang-orang yang sebenarnya tidak kita kenal dengan jelas pula. Menilai seseorang itu tidak bisa hanya dengan satu parameter saja. Tidak bisa juga menilai dan menyelesaikan masalah hanya dengan sudut pandang ke-aku-an. Untuk lebih bijak kita harus menilainya dari banyak segi dan banyak posisi. Lama dong? Itulah gunanya ma’rifah.

Contoh tentang penilaian nih.

Wah dia gak solih nih. Pake celana jeans sih. Sadar atau tidak, orang shalih dimata kita hanya yang pake celana congklang doang. Padahal, siapa sih yang nggak bisa menyengaja pake celana gituan? Lebih murah lagi harganya dibanding celana jeans dan sejenisnya. (Wkwkwkwk… bagi cewek-cewek yang mamasang standar cowok berdasarkan celananya, hati-hati aja. Banyak peluang kena tipu lho. Karena luaran banyak polesan. hihihi).

Lagi. Itu akhwat nggak sholihah banget. Nonton bola ngakak-ngakak, teriak-teriak sampai kedengeran tetangga. Sadar atau tidak, wanita shalihah dimata kita mungkin orang-orang yang halus lembut dengan senyum malu-malu itu. Tega ya?! Bisa ngebayangin nggak sih gimana tersiksanya orang melakukan sesuatu yang dia tahu itu salah tapi dia belum bisa menahannya? Bagaimana jengkelnya pada diri sendiri orang yang ingin berubah tapi selalu terbentur oleh keterbatasan diri? Orang-orang seperti itu butuh bantuanmu saudara-saudara, bukan komentar sinis yang menyakitkan. (orang –orang yang selalu dihadapkan dengan kondisi ideal bahkan mungkin tidak bisa membayangkan keadaan ini. Emang apa sih susahnya nggak nonton bola? Mungkin itu komentar yang akan terlontar dan dia akan mengatasi kondisi ini dengan teori-teori yang nggak tepat sasaran dan nggak mengena)

Satu lagi deh. Itu orang udah tua baca Al-Quran kok blepotan baget? Sadar atau tidak orang shalih shalihah hanya dilihat dari bacaan Qurannya. Padahal wajar nggak dia belum lancar baca AlQuran Karena dulu nggak diajari sama orang tuanya dan kemudian dia baru mulai tahu kalau kita harus bisa membaca AlQuran setelah jatah usianya sudah banyak terlewati? Kasihan banget ya? Padahal semangat dan perjuangan itu pasti ada nilai kebaikannya lho.

Sekarang contoh kalangan idealis yang berfikir satu arah dengan sudut pandang ke-aku-an dalam menyelesaikan persoalan.

Jengkel nggak sih ketika kita curhat sama seseorang dijawab dengan jawaban idealis dan teoritis? Missal nih“aku tuh kerja sendiri lho mbak. Yang lain itu pada nggak jelas banget sih. Nggak beres semua kerjaannya. DiSMS juga nggak dibales lagi.” (seorang putri bercerita dengan sangat menggebu-gebu) si mbaknya menjawab enteng sambil sok mengelus pundaknya “sabar ya, dek?!”  iiiiihhhhh…. Rasanya Pengen nonjok langsung kalau dapet jawaban kayak gitu. Halo… Siapa sih yang nggak tahu konsep sabar? Semua orang juga tahu kalau harus sabar. Tapi bagaimana mendapatkan kesabaran dalam kondisi yang sulit seperti itu. Itu yang diinginkan si pencerita sebenarnya. Mungkin bagi si mbaknya nggak sulit buat sabar, tapi belum tentu bagi si pencerita. Standar sabar dan perjuangan mendapatkannya berbeda. Itu yang menjadi catatan.

Semua orang apa pun bentuk dan wujudnya selama tujuan hidupnya adalah Allah, insyaAllah dia Shalih dan Shalihah dalam levelnya masing-masing dengan kebaikan dan keterbatasan yang berbeda. PR kita adalah bagaimana kita bergotong royong saling membantu untuk terus naik ke level berikutnya hingga mencapai level tertinggi.
Semoga beberapa contoh kasus di atas dapat menjadi penguat kenapa kita perlu menyentuhkan pemikiran kita dengan realita agar tuntutan kita realistis tapi endingnya tetep idealis untuk menghindari langkah-langkah pragmatis yang merusak dan tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Emang pragmatis jelek? NO, selama masih bersanding dengan idealism.
Wallahua’lam
(tulisan ini lebih ditujukan pada diri sendiri dan semoga juga bermanfaat bagi yang lain)


EmoticonEmoticon

Laman