Oleh: Diar Rosdayana
Alkisah, dulu pernah hidup seorang Raja yang memiliki penyakit di hidungnya. Entah apa nama penyakitnya, yang jelas penyakit ini sangat langka. Semua tabib dikumpulkan untuk mencoba mengobati penyakit di hidung Sang Raja. Ternyata semuanya memberi kesimpulan yang sama: hidung Raja harus dipotong/diamputasi! Raja tercengang dengan pernyataan ini. Namun apa mau dikata, tabib senior pada saat itu mewakili tabib-tabib lainnya menyampaikan bahwa Raja tidak memiliki pilihan lain, jika hidungnya tidak segera dipotong maka dalam waktu dekat bisa dipastikan Sang Raja akan mati. Dilematis. Akhirnya dengan Sangat terpaksa Sang Raja pun merelakan hidungnya untuk dipotong. Krek!
Sebenarnya tidak semua rakyat mengetahui tentang berita ini. Hingga pada suatu hari, tibalah saatnya Sang Raja melakukan Inspeksi Mendadak (sidak) ke pasar-pasar yang ada di negerinya. Ketika masuk ke pasar tersebut, semua orang tidak kuat menahan tawa ketika melihat Sang Raja, karena dia tidak punya hidung! Namun karena rasa hormat sekaligus takut kepada Rajanya, mereka tidak menampakkan rasa gelinya melihat hidung Sang Raja yang raib dari tempatnya. Namun tidak demikian dengan anak-anak kecil yang ada di situ, mereka tidak tau kalau itu Raja dan kalaupun tau, mereka belum tau juga bagaimana seharusnya bersikap di depan Raja. Ketika melihat Sang Raja tidak ada hidungnya, sontak saja mereka langsung ketawa tanpa ditahan-tahan lagi.
Raja sangat marah dibuatnya, tapi dia tidak langsung memperlihatkan itu demi menjaga kewibaannya sebagai seorang Raja. Dia malu dan segera mengajak pasukannya pulang ke istana. Sesampainya di istana, dengan perasaan malu dan marah teramat sangat, keluarlah perintah dari Sang Raja: “Mulai hari ini, aku perintahkan bahwa semua orang yang ada di negeri ini, hidungnya harus dipotong!.” Semua kaget dengan perintah ini. Tapi mau gimana lagi, itu titah Raja dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Singkatnya, semua orang yang hidup di negeri tersebut hidungnya dipotong, tanpa kecuali.
Demikian yang terjadi. Hal ini tidak dilakukan satu kali. Setiap ada bayi yang lahir, maka hidungnya langsung dipotong. Terus menerus seperti itu dalam beberapa generasi. Hingga memasuki generasi tertentu, ternyata bayi yang terlahir sudah langsung tidak ada hidungnya. Mungkin dalam bahasa sains sudah menjadi faktor genetik gitu.
Minggu berganti minggu. Bulan berganti bulan. Tahun berganti tahun. Soekarno berganti Soeharto dan temen saya berganti celana (halah). Intinya waktu berjalan dan rakyat pun mulai terbiasa dengan kondisi tanpa hidung. Hingga pada suatu hari, datanglah seorang imigran ke negeri tersebut, dia niat untuk berdagang, dan tentunya dia masih punya bagian-bagian tubuh yang lengkap, termasuk hidung. Ternyata, setiap orang yang melihat si pedagang ini semuanya ketawa, karena dianggap aneh: dia memiliki hidung! Rakyat di negeri tersebut sudah terbiasa dan merasa normal tanpa adanya hidung, hingga ketika datang seorang yang berhidung, dia menjadi bahan ejekan semua orang. Si pedagang berusaha menjelaskan bahwa justru dialah yang normal dan orang-orang di situ yang tidak normal. Namun karena dia hanya sendiri, dia tetap merasa asing dan diapun balik lagi ke negerinya dengan perasaan aneh bercampur malu.
***
Nah, sodara-sodara. Kira-kira seperti itulah yang banyak terjadi pada saat ini. Ada orang yang melakukan keburukan dan kemaksiatan, namun karena orang yang melakukan kesalahan/kemaksiatan itu banyak, juga dilakukan terus-menerus, hingga mereka tidak sadar bahwa itu perbuatan salah, bahkan mengganggap hal itu normal dan baik untuk dilakukan. Sementara di sisi lain, ada juga orang yang melakukan kebaikan, tapi karena sedikit orang yang melakukannya, hingga dia dianggap aneh ketika melakukan kebaikan tersebut.
Hittler juga pernah mengatakan: “Kebohongan yang disampaikan terus-menerus, suatu saat akan dianggap sebagai kebenaran”.
Banyak sekali contoh-contoh tentang hal ini. Misal nih, di masa SMA, ada seseorang rajin sholat. Pas kuliah, dia nge-kos tuh di tepat orang-orang yang ternyata ga pernah sholat, padahal sama-sama beragama Islam. Suatu hari dia sholat shubuh kesiangan. Hari pertama dia merasa ga enak hati. Hari kedua, ternyata kesiangan lagi. Terus menerus seperti itu di hari berikutnya hingga pada hari tertentu dia merasa biasa saja ketika sholat shubuh kesiangan. Dia fikir: “Ga apa-apalah gue sholat shubuh kesiangan, toh yang lain ga pada sholat shubuh.” Atau ketika dia ternyata benar-benar kebablasan sampai ga sholat shubuh, dia berkata: “Ga apa-apalah gue ga sholat shubuh, malah yang lain ga sholat 5 waktu.”
Atau coba kita saksikan sinetron-sinetron saat ini, banyak yang bercerita tentang kehidupan anak-anak sekolahan namun isinya ga lebih daari permasalahan pacaran, pelukan, ciuman, dan sebagainya. Ketika tayangan seperti ini banyak ditonton dan ditampilkan terus-menerus. Bisa jadi, akan timbul satu persepsi di benak kita bahwa: “Oh, ternyata pacaran di sekolah itu biasa kok.” Atau: “Oh, ciuman dan pelukan sama lawan jenis itu biasa aja, tuh mereka juga kayak gitu.” Atau: “Hari gini ga pacaran..?! Ga tau internet ya..?! NDESSSOOOOOO!!”
Atau di lain kasus, beberapa orang merasa risih memakai jilbab. Atau menganggap aneh melihat orang dengan jilbab gede (meski sebenrnya ga ada istilah jilbab kecil atau gede, karena semua jilbab harusnya gede). Hal ini terjadi, salah satunya karena, sekarang jauh lebih banyak orng yang ga menutup aurat, atau ada yang menutup aurat atau memakai ‘jilbab-jilbab palsu’. Penutup aurat yang Rasulullah mengatakan: “Berjilbab tapi telanjang”, yaitu orang-orang yang menutup aurat, namun asal menutup. Pake kerudung tapi juga pake jeans ketat. Pake kerudung tapi pake kaos adiknya (baca: kekecilan). Dan banyak juga yang terpengaruh dengan propaganda media. Ga mau melihat putri berjilbab lebar, dianggap ekstrimis. Pake cadar, disebut ninja. Ada putra berjenggot, disebut teroris, dan berbagai tuduhan-tuduhan lain terhadap berbagai kebaikan yang saat ini sedikit orang yang melakukan.
Nah, di sinilah pentingnya kefahaman dan daya kritis kita sebagai manusia yang berakal. Tentu tulisan ini tidak bermaksud untuk memberikan penghakiman terhadap siapa yang baik atau yang buruk. Atau tentang siapa yang layak masuk surga dan pantas masuk neraka. Namun saya hanya ingin memberi analogi sederhana tentang pilihan kita dalam bersikap. Hendaknya setiap yang kita lakukan itu berdasarkan kefahaman, bukan sekedar ikut-ikutan. Ga semua yang dilakukan oleh banyak orang itu berarti kebenaran, pun sebaliknya, ga semua yang dilakukan oleh sedikit orang itu berarti kesalahan. Berilmulah ketika beramal. Dan beramallah ketika memiliki ilmu.
EmoticonEmoticon