Kamis, 24 Mei 2012

INTERNALISASI NILAI AL QURAN DALAM MENYIKAPI DEKADENSI MORAL

Tags

Oleh: Yetty Isna Wahyu Septiana


Perkembangan zaman dan teknologi saat ini telah banyak memberikan transformasi sosial khususnya pada aspek sikap dan moral. Perubahan tersebut telah banyak memberikan keleluasan pada pemilihan sikap dengan orientasi luas ke depan. Sebagai agama rahmatan lilalamin, islam tidak pernah menutup diri dari perkembangan zaman. Ia hadir ditengah pergulatan hukum jahiliyah yang mengakar pada kemerosotan moral. Hingga tak heran bila dalam masa kekhalifahan, dengan waktu singkat islam dengan kemajuan ilmu pengetahuannya mampu menguasai hampir duapertiga wilayah dunia. Tentu, yang menjadi pertanyaan ialah bagaimana islam mampu berpengaruh luas kala itu? pertanyaan yang tentunya relevan untuk diajukan pula saat ini. Peranan pemuda sebagai penyokong kedigdayaan islam tentu tidak dengan mudahnya dilupakan. Dengan dasar keimanan yang dibangun melalui pemahaman keilahian secara kaffah, telah menjadikan para pemuda dan sahabat kala itu menjadi pondasi dalam keberlangsungan pengaruh islam yang terintegrasi. Peran pemuda dalam kemajuan suatu bangsa sangatlah penting, hingga dalam pidatonya Presiden Soekarno pernah berkata, “berilah aku 10 pemuda, maka akan kuubah dunia”. Urgensi pemuda sebagai indivdiu yang produktif tentu menjadi dasar dan pondasi sistem keberlangsungan sebuah negeri. Pemuda telah dikenal sebagai manusia produktif yang idealis, berkontribusi melalui gagasan baru sekaligus dan pengontrol kebijakan di negeri ini.

Belajar dari itu semua, tentu kita tidak melupakan tokoh pemuda islam seperti Khalid Bin Walid yang saat usianya masih sangat muda, ia telah menjadi seorang panglima perang, atau Imam syafii seorang ulama besar yang memaksimalkan waktunya di usia muda sebagai hafiz Qur’an serta aisyah ra yang tatkala masih belia dikenal sebagai sosok yang cerdas dan memiliki keluasan ilmu dan wawasan. Adakah kita lupa dengan itu semua? islam telah dibangun dengan landasan keimanan serta ketaqwaan yang murni dari nurani. Lantas, bila kita hendak sedikit membandingkan dengan kondisi pemuda di negeri ini, perubahan sosial dan transformasi budaya sedikit demi sedikit menggerogoti fungsi pemuda sebagi agen pembangun negeri. Perubahan sikap melalui ideologi sekuler telah menjajah dan menyerang tiap sendi pemikiran serta tindakan umat di negeri ini, khususnya pemuda. Pemuda yang semula didaulat sebagai agen of change, banyak yang menyimpang dengan dalih keindividualitasan dan prinsip kebebasan yang dimiliki. Tidak heran kiranya bila kita sering dihadapkan pada banyak peristiwa naas di negeri ini. Kasus narkoba yang semakin tinggi, pemerkosaan disana-sini, hingga sikap hedonisme dan apatisme terhadap urusan yang menyakut negeri ini. Secara tidak disadari, kondisi ini merupakan bentuk perang pemikiran (ghowzul fikri) bagi generasi muda. Sejarah membuktikan bahwa islam tidak mampu dikalahkan secara fisik dalam konteks peperangan, namun musuh islam telah merumuskan strategi untuk merusak moral bangsa khususnya pemuda di negeri ini dengan melakukan perang pemikiran melalui berbagai strategi khususnya media.

Al Quran dan hadist yang semula menjadi pegangan, terasa asing bila dibandingkan dengan ribuan kaset dan video porno yang mengiurkan, kajian yang menjadi majelis ilmu akan terasa aneh bila dibandingkan dengan konser musik yang berharga tiket jutaan. Belum lagi, atas dasar kepentingan dan perang, musuh-musuh islam telah mencuci otak bangsa kita sendiri dengan melahirkan agen-agen islam dengan pemikiran sekuler. Atas nama transformasi dengan mudahnya mengubah teks AlQuran lantaran dinilai tidak relevan dengan konteks sosial masa kini. Pemuda kita saat ini pun lebih simpatik dengan banyak mengidolakan sosok yang justru tidak pantas menjadi panutan dari segi akhlak dan moral. Secara sosial, hal tersebut dimahfumkan sebagai kemajuan budaya, banyak orang tidak mempermasalkan fenomena yang justru menjadi cikal bakal perbudakan. Generasi muda kita telah berada pada kondisi dekadensi moral yang akut, dimana kepentingan media, penguasa dan musuh islam saat ini telah menjadikan para pemuda menjadi boneka yang dengan mudahnya diputarbalikkan sesuai dengan keinginan mereka. Miris memang, disaat musuh islam tengah tertawa, pemuda kita semakin terlena. Agama hanya dijadikan sebagai sebuah simbol dan tanda sebagai warga negara, bukan klaim kesadaran yang membawa seseorang pada kebenaran.

Dekadensi moral itu semakin parah pula terjadi tatkala sikap dan ukhuwah yang terbina antar sesama semakin tipis, bukan tidak mungkin kepentingan akan sebuah persaudaraan hanya diwujudkan pada rasa simpatik semata tanpa tindakan nyata. Sebagai contoh ialah, perang antara Palestina dan Israel hanya dijadikan sebagai sebuah tontonan meski media telah mengekspos kejahiliyan Israel sebagai bangsa yang mengaku merdeka. Namun, apa yang terjadi ? rasa ukhuwah itu terkesan fatamorgana, ia luntur bersama dekandensi moral. Hanya ucapan kepedulian yang sepintas lalu, selebihnya akan lenyap bersama gemerlap dunia. Kesadaran menjadi barang langka saat ini.

Namun, di balik itu semua, kiranya ada yang perlu sejenak kita renungkan. Pemuda sebagai agent of change sebenarnya mampu kembali diwujudkan. Sudah saatnya pemuda kembali memegang kendali, bukan menjadi individu yang ditungangi. Lantas, bagaimana itu semua bisa terjadi? Pertanyaan utama ini dapat dijawab, tatkala pemuda mampu kembali disandingkan dengan Al Quran dan Hadist sebagai pedoman. Al Quran memuat nilai moral yang membawa seseorang pada kebenaran dan kebaikan. Sehingga internalisasi nilai tersebut mutlak disemaikan dalam jiwa para pemuda. Sehingga mampu secara perlahan mengikis dekadensi moral secara perlahan dan bertahap. Akar permasalahan dari dekadensi moral yang terjadi ialah pada pengembalian kesadaran pentingnya Al Quran dan Hadist untuk dijadikan pedoman. Dalam Al Quran telah dijelaskan mengenai akhlakul karimah. Karena sesungguhnya cikal bakal ilmu pengetahuan dibahas tuntas dalam Al Quran. Kondisi ini terjadi melalui pembangunan kesadaran dengan konsep pendidikan karakter yang mumpuni. Kesadaran dapat dibangun dengan banyak mengikuti kajian dan menggali ilmu disana-sini. Sehingga ilmu yang didapat menjadi pilar dalam membangun sikap, mengarahkan umat atau yang lebih mendasar adalah rekan sejawat. Disamping itu, dasar yang perlu dibangun lainnya ialah pemberdayaan dan optimalisasi waktu. Seringkali manusia tidak luput dari hal itu, dalam Hadist Riwayat Bukhari dan Ibnu Abbas ra dijelaskan bahwa “Ada dua kenikmatan yang kebanyakan manusia tertipu didalamnya, kesehatan dan kesempatan”. Berangkat dari hal tersebut, pemuda memiliki peran penting dalam mengoptimalisasikan waktu dalam berkarya dan menjadi bermanfaat bagi sesama. 

Disamping itu, kita pun perlu merefleksi kembali pikiran-pikiran yang menjadi dasar kemajuan islam dulu. Peran pemuda lekat dengan kondisi keimanan, artinya segala sesuatu memang diniatkan untuk ibadah, kemanfaatan bagi diri sendiri dan orang lain. Iman tidak dapat diartikan secara sempit, melainkan sebagai refleksi dalam perbuatan di segala aspek dan bidang kehidupan mulai dari sisi politik ekonomi, pendidikan dll. Dari situlah maka aka nada transisi, agar para pemuda mampu kembali bertransformasi dan mengembalikan segala hal pada substansi yakni menjadi agent of change dalam mengatasi dekadensi moral di negeri ini. Permasalahan pokok yang menjadi dasar dari hal ini ialah, membangun kesadaran dengan pondasi islami diperlukan sejak dini. Bahwa perbuatan apapun yang dilakukan memiliki relevansi sebagai ibadah, keduanya tidak bisa terpisah. Disamping itu, peran pemuda lainnya ialah, ia mampu menempatkan posisinya sebagai insan yang iltizam, mengutip apa yang dijelaskan Syaikh Abdullah bin Abdurahman Al Jibrin menjelaskan bahwa iltizam adalah kata yang menunjukkan makan” menetapi” dan sunguh-sungguh terhadap syariat atau selainnya. Iltizam memiliki makna yang lurus dan tidak menyimpang berdasarkan pada As Sunnah dan berpegang teguh pada Sunnah, Giat menuntut Ilmu, meninggalkan Bid’ah dan kesia-siaan, berdakwah. Sehingga sikap ini mutlak diperlukan dalam membangun karakter sebagai individu. Mengingat membangun karakter yang dimulai sejak dini menjadi suatu nilai kunci dan banyak terjadi di lapangan ialah masa ketidakstabilan remaja dengan pengatasnamaan identitas dan jati diri telah menjadi dogma bahwa tatkala seseorang memilih pada jalur ketidakbenaran maka hal tersebut akan menjadi tradisi bagi dirinya sendiri. Maka hemat penulis layaknya dalam imunisasi sebagai sarana pengebalan diri, resistensi sosial sebagai wujud penjagaan terhadap identitas dan ideologi penting dilakukan dalam sebuah sistem, baik melalui jalur pendidikan, sosial, ekonomi dan budaya. Praktek ini dapat dilakukan sejak dini melalui kerjasama berbagai pihak, mulai dari diri sendiri, orang tua, guru, masyarakat dan pemerintah. Misalnya, dalam sistem pendidikan, praktek kebebasan memilih pilihan memang perlu dilakukan, namun stakeholder tetap bisa mengarahkan pada koridor dan nilai-nilai islam. Faktanya dilapangan, kebebasan yang mengadopsi barat cenderung tanpa sebuah batasan, seringkali ucapan orang tua yang menyerahkan segalanya ke anak seringkali disalah tafsirkan oleh anak itu sendiri. Sehingga perlu adanya rekonstuksi ulang pada makna kebebasan yang diberikan. Agar dasar tersebut menjadi mainset bagi pemuda dalam mengelola perannya bagi bangsa. Sikap iltizam yang dimunculkan diharapkan pula menjadi bekal bagi pemuda dalam memberdayakan diri sendiri dan lingkungan sekitar, tidak mustahil rasanya bila dekadensi moral yang terjadi dapat diminimalisir bahkan dihilangkan, bila pemudanya memegang itikad ini dan berpegang teguh pada Al Quran.


IDENTITAS PENULIS

Nama Lengkap: Yetty Isna Wahyu Septiana
Tempat, Tanggal Lahir: Wonogiri, 30 September 1991
Jenis Kelamin: Perempuan
Alamat Rumah: Blok E22A KarangMalang Sleman-Yogyakarta
No.Hp: 083867958162/085664947395
E-mail: yet_gabakawa@yahoo.com/kasca_fokus@yahoo.com
Agama: Islam
Pendidikan: S-1 Pendidikan Anak Usia Dini FIP UNY
Motto: Ikhlas tanpa batas







EmoticonEmoticon

Laman