Jumat, 11 Mei 2012

MENJAWAB DEGRADASI MORAL DENGAN OPTIMALISASI DAKWAH GENERASI MUDA ISLAM

Tags

Oleh: Yusuf Beni Prastawa(*)

Krisis moral yang menjangkiti negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia jelas menjadi sebuah aib sekaligus ironi tersendiri. Kasus-kasus korupsi di kalangan pejabat marak terjadi. Suap dan money politics telah menjadi hal biasa dalam percaturan politik. Belum lagi krisis moral generasi muda yang kian mengkhawatirkan belakangan ini. Politikus-politikus muda terjerat korupsi, meningkatnya kasus kehamilan di luar nikah, maraknya pergaulan bebas, penyalahgunaan narkoba, tawuran antar pelajar dan kecurangan dalam ujian nasional semakin menambah potret buram generasi muda bangsa ini. Padahal, salah satu tanda kehancuran suatu negeri adalah kehancuran moral generasi mudanya. Bisa dibayangkan bagaimana jadinya bangsa ini bila krisis moral yang menimpa tak segera teratasi.

Krisis moral generasi muda Indonesia mengindikasikan lemahnya karakter atau identitas keislaman para pemeluknya. Nilai-nilai luhur dalam ajaran Islam tak sepenuhnya terimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Di sisi lain, pendidikan agama yang seharusnya menjadi pondasi pembangunan karakter muslim sejati justru mendapat porsi yang minim dalam kurikulum. Sementara itu pola kehidupan masyarakat dewasa ini telah bergeser menjadi masyarakat sekuler. Gaya hidup materialistis dan hedonis turut menambah rancu keadaan. Akibatnya, tidak mengeherankan bila generasi muda rentan terjebak dalam pemikiran-pemikiran pragmatis dan gaya hidup yang hanya memperturutkan hawa nafsunya.

Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pembinaan moral, akhlaq, dan etika generasi muda akan berpengaruh siginifikan terhadap proses pembangunan peradaban suatu bangsa. Sayangnya, justru hal inilah yang saat ini terkesan diabaikan hingga degradasi moral dan akhlaq menggerogoti generasi muda tanpa tedeng aling-aling.

Meskipun upaya perbaikan moral mulai bermunculan seperti dengan pendidikan karakter, namun sejauh ini implementasinya masih minim dan kurang mendapat dukungan dari lembaga sosial di luar pendidikan formal seperti keluarga dan masyarakat. Hambatan lainnya, nilai-nilai yang ditanamkan dalam pendidikan karakter pada akhirnya terkesan bias akibat kontradiktif dengan kebobrokan moral yang terjadi di masyarakat yang secara “intensif” dipublikasikan media massa secara gamblang. Dengan kata lain tidak adanya ketersinambungan pendidikan karakter antara sekolah dan masyarakat hanya membuat pendidikan karakter “masuk telinga kanan, keluar telinga kiri.”

Dalam kondisi demikian, hanya gerakan perubahan dari kaum mudalah—selaku pewaris bangsa—yang dapat mengubah kebobrokan moral masyarakat. Tentu saja kaum muda yang dimaksud di sini bukan kaum muda yang gemar berhura-hura, penganut hedonis-sekulerisme, kurang terbuka daya kritis-intelektualnya serta acuh pada lingkungan sosialnya. Kiranya tidak berlebihan rasanya bila penulis katakan bahwa kaum muda yang berakhlaq, berkarakter, dan mampu ber-Islam secara kaffah-lah yang memungkinkan untuk melakukan revolusi moral di tengah masyarakat yang tengah “sakit.”

Langkah yang bisa ditempuh tidak lain adalah dengan optimalisasi perjuangan dakwah. Syiar Islam dapat tersebar ke seantero dunia tak lepas dari dakwah yang terus digalakkan dengan semangat jihad. Masyarakat Arab dapat dikeluarkan dari masa jahiliyah karena adanya dakwah Islam yang dikomandani baginda Rasulullah SAW. Patut dicermati bahwa para mujahid yang bahu-membahu menegakkan syiar Islam diisi oleh para kaum muda. Para Khulafaur Rasyidin pun dulunya telah mendapat gemblengan dari Rasulullah SAW sejak berusia muda. Bahkan Ali bin Abi Thalib sudah dibina sejak usia 8 tahun. Proses regenerasi pun dapat berjalan dengan baik hingga mengantarkan Islam pada puncak kejayaannya dengan serangkaian penaklukan yang mencengangkan dunia saat itu. Lantas bagaimana menciptakan kaum muda yang memiliki kapasitas untuk meneruskan estafet dakwah tersebut?

Organisasi-organisasi kepemudaan Islam dapat dikedepankan sebagai media sosialisasi dan pembekalan kaum muda guna menjadi pelopor perubahan di lingkungannya. Organisasi tersebut sebenarnya sudah ada sejak lama dalam masyarakat. Karenanya, optimalisasi organisasi-organisasi kepemudaan Islam sangat esensial untuk mencetak generasi muda yang tidak hanya berkarakter Islam namun juga kritis dan kontributif dalam pembangunan moral masyarakat secara luas. Dengan kata lain, karakter “Islam” yang sudah dimiliki secara individual hendaknya dapat ditularkan dan disebarluaskan dalam kehidupan sosial sehingga menjadi alat penekan degradasi moral yang terjadi selama ini. Realisasinya yakni dengan mengembangkan gerakan dakwah dan jihad—amr ma’ruf nahi munkar.

Di lingkup pendidikan formal (sekolah) terdapat organisasi Kerohanian Islam (Rohis). Rohis sangat potensial untuk dijadikan media sosialisasi dan pembelajaran agama Islam di luar mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) yang notabene jutru mendapat porsi yang minim dalam kurikulum. Fokus organisasi Rohis di sekolah tidak melulu mengurusi kegiatan hari raya semata. Lebih dari itu Rohis seyogyanya mampu menjadi lembaga dakwah di sekolah guna menginternalisasikan nilai-nilai Islam dalam pembentukan karakter masyarakat sekolah. Caranya bisa ditempuh melalui pengadaan buletin dakwah, majalah dinding (mading), mengadakan pengajian rutin di sekolah, dan menggalakkan tadabur Al-Qur’an bagi siswa muslim sebelum pelajaran dimulai.

Selain Rohis, keberadaan “Remaja Masjid” pun dapat dijadikan wahana pengkaderan yang efektif guna membentuk generasi muda berkarakter muslim sejati dan tidak segan berkontribusi dalam perjuangan dakwah menghadapi krisis moral di masyarakat. Pemahaman remaja masjid hendaknya tidak dipersempit dengan para pemuda yang mengurusi kepanitiaan setiap hari raya atau mengajar anak-anak kecil membaca Al-Qur’an. Justru sebaliknya, Remaja Masjid dapat menjadi media dakwah yang efektif karena secara langsung melibatkan aspek pemuda di dalamnya. Langkah-langkah yang bisa ditempuh di antaranya: membuat buletin dakwah, mengadakan pengajian bertema pemuda (remaja), mengadakan bakti sosial, dan aktif membelajarkan Al-Qur’an serta menginternalisasikan nilai-nilai Islam pada generasi muda melalui TPA.

Sebenarnya, di luar dua organisasi tersebut banyak sekali organisasi kepemudaan Islam lain di masyarakat. Sayangnya, tidak sedikit di antara organisasi-organisasi kepemudaan ini yang justru dijadikan alat politik (dipolitisasi) sehingga tujuan awal yakni perbaikan akhlaq dan moral umat menjadi rancu. Tak bisa dipungkiri pula bahwa telah muncul stigma keliru dalam masyarakat yang menganggap organisasi-organisasi kepemudaan Islam sebagai organisasi yang rawan disusupi teroris atau organisasi “tukang onar” yang loyal terhadap kekerasan. Akibatnya, timbulah keengganan masyarakat terutama kaum muda untuk turut serta dalam kegiatan dakwah dalam organisasi-organisasi tersebut, entah karena ketiadaan minat atau justru karena larangan orangtua. Keengganan semacam ini juga kerap muncul akibat perasaan minder dan tidak cukup percaya diri karena minimnya ilmu agama yang dimiliki.

Bila sudah demikian bukan berarti dakwah harus terhenti. Dakwah harus tetap berlangsung meski tidak selalu di bawah naungan organisasi-organisasi kepemudaan islam tertentu. Yang terpenting, jangan sampai semangat dakwah generasi muda Islam padam. Bukankah pemuda yang senatiasa melakukan ketaqwaan dan mendekatkan diri kepada Allah termasuk salah satu golongan yang mendapat perlindungan di hari yang saat itu tidak ada perlindungan selain perlindungan Allah? Dalam hal ini, peran para pemuka agama, para orangtua, dan guru sangat penting. Generasi muda harus dibiasakan dengan nilai-nilai Islam sejak dini. Selain itu, semangat amr ma’ruf nahi munkar harus dipupuk agar tak lekang termakan perubahan sosial-budaya yang semakin tidak kondusif bagi proses internalisasi nilai-nilai Islam, baik di dalam keluarga maupun masyarakat.

Dakwah bersifat fleksibel sehingga dapat dilakukan kapanpun dengan media apapun asal sesuai tuntunan Islam. Dakwah melalui media massa atau situs jejaring sosial bisa dijadikan sarana dakwah alternatif yang mampu mengubah paradigma banyak orang sekaligus. Pengguna situs jejaring sosial macam facebook dan twitter sangat banyak, sehingga sangat potensial untuk dijadikan media dakwah.

Media massa terutama koran yang notabene merupakan “bacaan rakyat” juga cocok dijadikan media dakwah. Tidak ada salahnya mencoba mengirimkan artikel ke media massa tersebut. Perkara termuat atau tidaknya bukan menjadi soal. Namun semangat melanjutkan estafet dakwahlah yang lebih utama. Untuk mewujudkan hal tersebut, kemampuan menulis patut ditingkatkan. Contohlah para tokoh Islam terdahulu macam Imam Syafi’i dan Hasan Al-Banna yang mampu menulis hingga beribu-ribu halaman hingga menjadi kumpulan kitab yang syarat ilmu bermanfaat. Bukankah ilmu yang bermanfaat merupakan salah satu sedekah jariyah?

Kiranya, sudah saatnya degradasi moral yang melanda bangsa ini tidak dilawan dengan tindakan represif yang tak manusiawi apalagi demonstrasi anarkhis yang justru dapat menjatuhkan citra Islam. Dakwah harus mengutamakan aspek penyadaran umat (intelektualitas), sama halnya ketika Rasulullah SAW berdakwah di tengah masyarakat Arab Jahiliyah. Pendekatan dengan kesadaran terbukti jauh lebih efektif daripada pendekatan represif. Keyakinan bahwa degradasi moral yang meracuni bangsa ini dapat teratasi harus tetap menyala. Di pundak para pemudalah kunci penyelesaian problema ini berada. Degradasi moral yang terjadi hanya dapat teratasi apabila kaum muda bahu-membahu turut berkontribusi untuk menanggulanginya melalui kegiatan dakwah, ber-amr ma’ruf nahi munkar sekaligus menunjukkan kapasitas dirinya sebagai hamba Allah—pengemban risalah rahmatan lil ‘alamin.

Wallahu a’lam bish shawab.

(*)  Mahasiswa Pendidikan IPS (2010)
      Fakultas Ilmu Sosial
    Universitas Negeri Yogyakarta


EmoticonEmoticon

Laman