Kamis, 24 Mei 2012

TITIK URGENSITAS; KESADARAN

Tags

Oleh: Irsyad


Semua akan berubah, sesuai hukum Allah dalam detik yang tak pernah sama dalam perjalanan waktu. Begitu juga bagaimana waktu mengubah sikap, dari sikap mengubah sedikit demi sedikit kebiasaan, hingga kebudayaan berasimilasi seiring waktu. Mebuahkan sebuah kebudayaan baru. Bisa menuju sesuatu yang lebih baik, atau sebaliknya terus turun menuju eliminasi hingga degradasi tajam meninggalkan keaslian dirinya. Dari detik yang kita lalui sekarang ini. Perubahan langsung terpampang ingin dinilai sebagai suatu kebebasan yang sepertinya takkan pernah berhenti digugat dan mengugat. Perubahan sekarang ini telah berjalan dalam dua kaki yang enggan beriring dalam setiap tapak.

Kaki kanan sebagai wujud arah ragawi sibuk berkutat dalam menghitung data hingga kemajuan otak kanan yang menghasilkan dunia maya, bahkan juara bola ataupun olimpiade fisika, ataupun jaringan yang menghubungkan orang yang jauh disana, dan lupa pada tetangga. Itulah kaki kanan yang mengalami perubahan yang katanya positif dalam bentuk raga, tapi mulai berborok dan kapalan.

Kaki kiri sebagai wujud perubahan jiwa serta sosial, mulai keropos dari dalam, walau dari luar terlihat gagah perkasa, walau dari luar terlihat kuat berdigdaya. Tapi sayang tulangnya terus mencari kebebasan konyol, kebebasan dari Pencipta yang akan selalu ada, serta kebebasan dari rasa berdosa. Tulang itu berusaha keluar dari daging. Tulang itu lupa siapa yang membuatnya berfungsi, dan apa fungsinya. Hingga banyak orang yang merasa tak lagi ada pembalasan atas dosanya, tak ada lagi tuhan dalam aktivitasnya, Allah hanya akan diingat jika memasuki mesjid dan pada hari raya.

Sekarang dua kaki tersebut adalah sebagian dari analogi kondisi pemuda Islam saat ini. Sebuah perubahan menuju kata degradasi moral.

Pemuda disini dititik beratkan pada kaum muda baik perempuan maupun laki-laki yang masih terbilang muda baik usia maupun secara mental yang mendekati kedewasaan. Akan tetapi defenisi yang ada itu semakin tak cocok saja. Pemuda sekarang lebih diasosiasikan sebagai remaja labil, yang sukanya urak-urakan, coba na-sini, dan hal ini ditutupi oleh sebuah kata-kata proses pencarian jatidiri. Banyak remaja sekarang yang berlindung dibalik kata-kata itu sehingga menyalah-artikan bagaimana pencarian jatidiri itu sendiri. Banyak yang merasa bahwa dengan menjadi berantakan itulah masa pencarian dirinya. Banyak yang senang pesta dan menggemari artis idola seperti tuhan saja. Anngapan itu terus bergulir, sehingga lupa apa sebenarnya pencarian jatidiri itu, dan pada akhirnya semua akan terasa hampa ketika baru ingat kalau dirinya itu punya agama. Para akademisipun bergumam “pemuda sekarang tak berkarakter”.

Perlu sebuah langkah sadar bahwa para pemuda, bukanlah mahluk merdeka yang bebas berbuat dosa. Perlu penekanan kesadaran itu.Dimulai dari dirinya sendiri, bukan dari pengajian di televisi yang lebih sering menjual produk bergizi daripada mengaji. Bukan juga dari ceramah ustad sok selebriti. Tapi sekali lagi dari dalam diri mereka. Jika kesadaran itu ada, maka pemuda Islam tak perlu mencoba dugem terlebih dahulu sebelum tobat. Karena adanya kesadaran sebagai mahluk yang merdeka dari mahluk lain, dan takkan pernah merdeka dari sang Khaliq. Hal ini akan membatasi diri masing-masing dalam pencarian jatidiri itu sendiri. Seperti para pemuda di zaman Nabi Muhammad SAW. Mereka mencari jatidiri mereka dengan sebuah kesadaran esensi seperti diatas, sehingga mereka berperang bukanlah sebagai tidak kriminalitas dan bentuk darah muda yang disalah-artikan, akan tetapi untuk membela agama Allah, sebagai rasa penghambaan atas Pencipta, dan tetap saja diri mereka muda seperti pemuda sekarang.

Disisi lain, pemuda sekarang sudah lupa siapa yang harus dicintai dan bagaimana sesuatu itu harus dicintai. Banyak yang jatuh cinta pada yang tak patut dicintai apalagi berlebihan setengah mati. Banyak yang jatuh cinta pada kehampaan. Mengeluarkan uang untuk mubazir yang akan dimubazirkan lagi. Seperti mencintai suatu hobi, musik, ataupu artis secra berlebihan. Seperti tak adalagi contoh yang patut untuk disukai lagi. Seperti tak adalagi tauladan yang cerita hidupnya lebih bagus lagi. Dan tentu saja efek tiru-meniru akan terbentang dalam gaya hidup pemuda islam yang salah idola itu.  Jadilah pemuda Islam yang dengan bangga mengatakan dirinya galau karena cinta. Galau dengan jebakan kata para selebrita dari televisi sana, dan merasa eksklusif dengan sosial media berjuta teman.

Perlulah seorang pemuda bertanya kepada dirinya, siapa yang pantas secara harfiah dan esensi mereka idolakan. Supaya mereka tahu siapa yang seharusnya dicintai, siapa yang harus ditangisi. Bukan sebagai hal yang normatif, akan tetapi secara spesifik, bahwa ada contoh tauladan yang terpatri namanya dalam al-Quran. Yang patut dicintai sepenuhnya-pun sudah terpampang dalam logika semesta bahwa sang budak sahaya akan menghamba pada Penciptanya.

Masih banyak degradasi warna kepudaran Islam yang terlukis dalam nada zaman yang bertitel kemajuan ini. Masih banyak yang harus dikritisi, tapi tak sebatas kata dalam artikel ataupun lembar kertas. Tapi dinamika kecil dalam percepatan berfikir dalam hatilah yang harus dibuktikan oleh pemuda itu sendiri, bukan untuk menjadi sok alim atau apa. Tapi untuk menjadi manusia merdeka yang sepenuhnya menghamba untuk Allah semata.

Dan dua kaki tadi tak lagi berjalan dalam dua arah, tapi bersatu seiring langkahnya pergi ke sebuah rumah sakit yang  bernama kesadaran. Itulah titik urgensitas dari keberadaan penerus zaman ini.



Lampiran Biodata Penulis

Nama: Irsyad
Alamat Sekarang: gg. Mesjid, kledokan ct no: c-38, rt/5 rw/2,     caturtunggal, depok, sleman, Yogyakarta
Pendidikan sekarang: Mahasiswa STTN-BATAN Yogyakarta
Tempat, Tanggal Lahir: Bukittinggi, 26 April 1992
Umur: 19 tahun
Kategori: Mahasiswa
Email: irsyaddilsyukri@yahoo.com
Telp/HP: 085297082087
No. (KTM): 031100240


EmoticonEmoticon

Laman