Oleh : Ibadurrahman Al-Hudhaiby
“Ini bukan akhir dari akhir, tapi awal dari sebuah awal.
Selalu seperti itu, sampai kapanpun”.
Dahulu kita mengawali langkah ini dengan sebuah tujuan yang mulia. Berangkat walaupun mungkin masih ragu. Tapi, waktu itu hati bertekad untuk tidak lagi melepaskan kesempatan terindah, karena hati tidak yakin sampai kapan ruh bertahan dalam raga ini. Kemudian kita mulai menjalani hari-hari dengan menata hati, menata diri berharap akan ada sebuah islah menyemai dalam kehidupan.
“Ini bukan akhir dari akhir, tapi awal dari sebuah awal.
Selalu seperti itu, sampai kapanpun”.
Dahulu kita mengawali langkah ini dengan sebuah tujuan yang mulia. Berangkat walaupun mungkin masih ragu. Tapi, waktu itu hati bertekad untuk tidak lagi melepaskan kesempatan terindah, karena hati tidak yakin sampai kapan ruh bertahan dalam raga ini. Kemudian kita mulai menjalani hari-hari dengan menata hati, menata diri berharap akan ada sebuah islah menyemai dalam kehidupan.
Namun, nyata bahwa jalan yang kita ambil bukanlah jalan tol yang tanpa hambatan. Jalan itu adalah jalan da`wah yang penuh dengan uji. Kadang ujian itu begitu dahsyat menempa, sehingga jiwa-jiwa tak bertameng keikhlasan akan runtuh satu persatu. Hanya jiwa yang merangkul pengorbanan (tadlhiyah) yang akan mampu menunjukan bahwa ia adalah pengembara sejati. Rasulullah SAW telah menjadi contoh jiwa pengembara sejati itu. Meskipun setiap hari adalah cacian, fitnah, lemparan batu dan kotoran, tetesan darah dan cucuran air mata tak pernah sedetik pun terlintas dalam pikiran manusia agung itu untuk menghentikan langkahnya, karena ia yakin perjalanan da`wah itu hanya akan berhenti ketika ruh tak lagi bersemayam dalam raga.
Ada sebuah kekuatan yang membuat Rasulullah SAW tetap bertahan dalam perjuangan da`wah. Kekuatan itu adalah cinta. Rasulullah SAW sangat mencintai umatnya, tergambar di saat-saat akhir hayatnya ia hanya berucap umati….umati…(umatku…umatku…). Itulah bara semangat yang selalu mengiringi kehidupannya sebagai seorang da`iyallah.
Memang sesekali hamasah (semangat) itu timbul dan tenggelam. Maka, ketika gundah meradang, berjalanlah di malam hari di tengah kota. Ketika gundah meradang melayanglah di terik siang di tengah hingar-bingar kota. Ketika gundah meradang menyelamlah di kesejukan desa dan pegunungan. Niscaya hati akan terguncang melihat fenomena yang berserakan. Maka, setelah itu masih adakah lintasan pikiran untuk menghentikan pengembaraan ini?
Wahai para pengembara da`wah, ketika perjalanan belum sampai penghujung, berpeganglah pada keistiqomahan. Karena, Rasulullah pun pernah diingatkan oleh Allah SWT untuk selalu menggenggam keistiqomahan itu :
“Maka tetaplah (istiqomahlah) kamu (Muhammad) pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS 11:12)
Keistiqomahan itu yang akan melahirkan sikap syaja`ah (keberanian). Dan hanya orang yang memiliki keberanian akan memiliki daya tahan yang luar biasa terhadap segala kesulitan, penderitaan, bahaya dan penyiksaan. Ibrahim AS meneguhkan hatinya untuk tak menghentikan pengembaraan da`wahnya saat dihempaskan ke dalam api yang berkobar oleh Namrudz. Begitupun Musa AS tak terlintas dalam pikirannya untuk menyerah dan menghentikan pengembaraan da`wahnya saat harus melewati Laut Merah. Keteladanan para sahabat, seperti Sumayyah, Khubaib bin Adi, Habib bin Zaid, Bilal bin Rabah, Mushab bin Umair, dan para sahabat lain semakin meyakinkan kita bahwa keistiqomahan dan syaja`ah adalah kekuatan yang harus selalu mengiringi pengembaraan para mujahid da`wah.
Terus berjalan, tak kenal kata henti. Kemudian dengarkanlah percakapan antara ombak dan pantai. Pantai bekata “aku telah lama berada di sini, tapi sampai sekarang aku tidak mengenal identitasku.” Kemudian ombak cepat menjawab dengan gusar. “Bagiku bergulung menuju tepian adalah ada dan diam berarti tidak ada.” Ombak disebut ombak hanya ketika ia bergulung dan bergerak. Tetapi, ketika ia mulai terdiam dan mereda, maka identitasnya sebagai ombak akan musnah.
Bagi pengembara da`wah, gerakan itu tidak hanya sekedar untuk mengukir identitas. Tapi, gerakan itu adalah pengembaraan menuju Zat Yang Maha Indah. Maka, perbekalan bukan hanya tiupan angin seperti halnya ombak yang menjadi ada karena tiupan angin itu. Tapi perbekalannya adalah setiap penguat azzam pengembaraan.
Teruslah berjalan wahai pengembara da`wah, karena engkau adalah pewaris Nabi. Ia telah menitipkan umat ini padamu. Maka, seorang pengembara da`wah tidak akan pernah terlena oleh tempat-tempat perhentian yang sejatinya hanyalah fatamorgana kehidupan. Seorang pengembara da`wah tidak akan pernah mengeluh karena jauhnya perjalanan. Ia hanya akan terus berteriak; “kami datang untuk membebaskan kalian dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang, kami datang untuk membebaskan kalian dari kesempitan dunia menuju keluasan dunia dan akhirat.” Wallahu alam bish shawab
Sumber:
http://arrahmaan-fise.webs.com
EmoticonEmoticon