Rabu, 23 Mei 2012

Sebuah Catatan Minor: Memahami Kembali Langkah Pemuda Islam dalam Menghadapi Degradasi Akhlak-Moral

Tags

Oleh: Ahda Abid Al-Ghiffari [1]

Di negeri ini, sejarah yang ditulis penuh sesak dengan kehadiran pemuda. Dosen, guru, dan para pendidik jenis lain sering menggunakan kata “pemuda” sebagai alat untuk mengobarkan semangat mahasiswa atau siswanya. Kita rujuk dari mulai terbentuknya kesadaran nasional di Hindia Belanda hingga Reformasi yang spektakuler itu, mengapa identik dengan pemuda? Di Hindia Belanda awal abad 20 lahirnya nasionalisme diidentikkan dengan pemuda, hingga rentang masa menjelang itu, pemuda didengungkan terus berpartisipasi menegakkan “keadilan” menurut versi mereka. Proklamasi kemerdekaan masih tetap digemborkan dengan semangat pemuda yang menuntut golongan tua agar segera singgah ke pelaminan kemerdekaan. Melompat jauh pada tahun 1966 ketika rezim Orde Lama sudah tak sanggup mengatasi para pemuda yang terus mendesak “penyegaran” bagi kehidupan masyarakat dan bernegara. Kemudian rentang tiga puluh dua tahun post-desakan itu, “penyegaran” yang dituntut oleh pemuda Angkatan 66 itu dipertanyakan lagi oleh para pemuda angkatan Reformasi. Terus saja kita mempertanyakan, apa yang mereka perjuangkan? Nasionalisme? Demokrasi? Kesejahteraaan? Tema-tema tersebut umum menjadi bahan diskusi yang lama-lama mungkin membusuk dan tinggal menjadi obrolan mahasiswa di sore hari yang penuh dengan guyonan belaka.

Apa salah berkata demikian? Bagaimana jika kita mempertanyakan, “di mana peran pemuda Islam pada masa-masa spektakuler dalam sejarah Indonesia yang penuh dengan romantisisme tersebut?” Apakah nihil, atau memang dikebiri dan dihapuskan perannya dalam historiografi Indonesia? Meskipun, pada waktu-waktu tertentu mereka (pemuda Islam) muncul di tengah pertentangan strategis antara pemuda-pemuda yang berideologi (agama) lain. Ahmad Khudori dalam sebuah kajiannya pernah mengatakan, “… Salah Satu cara musuh-musuh Islam untuk memutuskan Umat Islam dengan agamanya adalah memutus hubungan pemuda-pemuda Islam dari sejarah Umat Islam pendahulunya….” Mungkinkah telah terjadi suatu startegi untuk melemahkan pemuda Islam? Belum lagi jika kita mempertanyakan perannya dalam pembinaan aqidah, akhlak, dan moral masyarakat, tempat ia berenang di lautan kesengsaran, kecurangan, dan konspirasi setan-setan politik. Jelas, pemuda Islam bukanlah pemuda sekuler yang hanya menuntut kemerdekaan, nasionalisme, demokrasi dan ideologi lain, yang seharusnya para pemuda Islam itu sadar bahwa perjuangan tentang nasionalisme, demokrasi dan segala tetek bengeknya itu hanyalah buatan manusia, tak pantas diperjuangkan, kalau tidak ingin dikatakan hanya nafsu manusia belaka. Bukan saatnya lagi berteriak-teriak untuk menyadarkan mereka yang tidak mengerti tentang sejarah keterlibatan pemuda Islam di masa-masa kenangan itu. Bukankah action itu lebih bermanfaat?

Pemuda Islam itu, bergerak melalui idealita yang digariskan oleh Allah melalui dua pusaka populer milik umat Islam: al-Qur’an dan as-Sunnah. Kita tidak bisa memungkiri itu: bagaimana jadinya membicarakan pemuda Islam tapi lepas dari sudut pandang al-Qur’an dan as-Sunnah. Pemuda Islam dengan peranannya adalah sebuah integritas tiada habis, sebuah perenungan sepanjang zaman yang terus diperbincangkan. Kita kutip saja surat ali-Imraan ayat 104:

Allah Subahanahuwata’ala berfirman, yang artinya,
“Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang ma’ruf , dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung”

Ayat tersebut sebenarnya merupakan “teori umum” atau pedoman yang populer bagi siapa saja yang ingin “menebarkan kebaikan.” Tak sulit mengatakan jika, tugas tersebut dilimpahkan pada segolongan kelompok yang paling banyak berada di masyarakat: Pemuda Islam! Maka, pemuda Islam adalah segolongan kelompok yang berada di masyarakat. Mereka adalah orang-orang yang cukup beridealisme hanya dengan al-Qur’an dan sunnah Nabi-nya, adapun nilai-nilai dan ilmu lain yang digunakan untuk mempertanyakan perannya adalah masalah metode, bukan metodologi. Sayyid Quthb pernah mengatakan:

Referensi utama yang diadopsi oleh generasi pelopor adalah al-Qur’an, hanya al-Qur’an semata… sabda-sabda dan petunjuk Rasulullah Saw merupakan satu dari beberapa konsekuensi yang bersumber dari al-Qur’an.[2]

Generasi pelopor yang dimaksud Sayyid Quthb adalah generasi sahabat ridwanullah ‘alaihim. Namun, bukankah tidak menutup kemungkinan, jika kita katakan bahwa ada generasi pelopor juga setelah generasi para sahabat tersebut, yaitu generasi pelopor yang meniru generasi sahabat? 

Pemuda dan Degradasi Moral: Revitalisasi Dakwah Aqidah Islam!
Sejarawan membagi periode perjuangan Nabi Muhammad dalam dua tempat penting di Arab: Makkah dan Madinah. Makkah adalah tempat Nabi Muhammad menyeru tauhid dan membangun aqidah sahabat-sahabatnya ketika pertama kali masuk Islam. sedangkan periode Madinah adalah tempat Nabi Muhammad membangun kekuatan, syari’at dan akhlak bagi umatnya. Ada satu cerita menarik yang di dapat dari periode Madinah tersebut. Suatu ketika, Nabi Muhammad tengah menemui para sahabatnya yang sedang berada di dalam sebuah kedai minuman. Para Sahabat tersebut sedang mabuk keras karena khamr yang dipesan mereka. Singkat kisah, Nabi Muhammad membacakan suatu ayat tentang larangan meminum khamr di depan para sahabatnya itu. Serentak setelah ayat tersebut dibacakan, para Sahabat nabi yang sedang mabuk tersebut lantas membuang khamr yang di pesannya, begitu pila dengan pemilik kedai minuman tersebut. Mereka sama-sama membuang khamr tersebut tanpa pandang bulu atau berikap eman-eman.

Demikian iman dan tauhid yang begitu kuat melekat di dalam dada para Sahabat tersebut. Iman dan tauhid tersebut adalah hasil binaan Nabi Muhammad pada periode Makkah. Begitu taatnya mereka kepada Allah dan Rasul-Nya: Sahabat dengan begitu saja, tanpa pikir panjang menaati perintah Allah dan Rasul-Nya tersebut. Aqidah adalah hal pertama yang dibina Nabi Muhammad Saw ketika menyampaikan risalah kenabiannya. Pada Periode Makkah, kerusakan akhlak dan moral sedang terjadi di tengah tatanan masyarakat Arab yang tradisional ortodoks. Terjadi sebuah konsekuen yang logis ketika tatanan mayarakat yang tradisional ortodoks hasil buatan manusia tersebut mengakibatkan kerusakan moral. Tak perlu penulis gambarkan kerusakan moral tersebut, karena terlalu banyak buku sejarah Islam yang menggambarkannya.

Di tengah kerusakan akhlak dan moral tersebut, ada juga sekelompok masyarakat yang masih ingin memperbaiki akhlak masyarakat Arab, namun kita tidak bisa memungkiri, karena pada gilirannya, sekelompok masyarakat tersebut, walaupun ingin memperbaiki kondisi moral masyarakat, namun juga masih melakukan peribadatan yang salah, atau masih terdapat peribadatan yang hanya meniru nenek moyang mereka: penyembahan terhadap berhala dan sejenisnya menjadi suatu hal yang biasa. Seaindainya Rasulullah pada awal perjuangannya berjuang untuk mengatasi degradasi ahklak-moral, Pan-Arabisme, dan pemberontakan melawan Romawi dan Persia (hal-hal lain yang dihadapi bangsa Arab), maka dakwahnya akan sangat diterima, bahkan didukung karena ia tidak akan menyinggung masalah-masalah peribadatan jahiliah. Sebaliknya, fakta sejarah yang ada, beliau terlebih dahulu menegaskan laa ilaaha illallah (tiada sesembahan lain yang patut disembah kecuali Allah) sebelum mengatasi masyarakat Arab yang rusak karena tatanan jahiliah hasil tradisi manusia itu.

Bandingkan dengan sekarang, terlalu banyak orang yang menyeru terhadap perbaikan moral, bahkan ada banyak juga yang bersembunyi di balik slogan pendidikan karakter, sebagai upaya membentuk masyarakat yang bermoral. Namun, kita juga tidak dapat memungkiri, orang-orang yang menyeru tentang perbaikan moral tersebut adalah orang Islam yang “tak sadar dien Islam.” Mereka ingin memperbaiki moral masyarakat dengan alternatif dan slogan-slogan lain, selain Islam, meskipun, sekali lagi, kebanyakan dari mereka adalah muslim. Bukannya ingin membicarakan masyarakat yang sekuleristik, namun konsekuensinya tetap saja mengacu pada hal tersebut. Masyarakat yang sekuleristik tidak akan mengacu pada tindakan-tindakan non-relijius untuk mengatasi persoalan-persoalan duniawi yang menurut mereka hanya bisa diselesaikan dengan solusi-solusi duniawi pula. [3]  Akankah kita termasuk golongan yang seperti itu?

Inilah suatu awal untuk mempertanyakan peran pemuda Islam dalam membendung degradasi moral. Pemuda Islam tidak hanya akan menyeru pada hal-hal yang frontal untuk mengatasi degradasi moral. Lebih dari itu, memahamkan kepada pelaku degradasi moral tentang “mengapa mereka tidak boleh melakukan hal-hal yang mengakibatkan kerusakan akhlak-moral,” melalui pemahaman dien Islam lebih penting dibanding terus-menerus secara teratur meneriakkan “berantas kemaksiatan,” meskipun hal tersebut juga perlu dilakukan sebagai nahi mungkar ketika kondisi masyarakat sudah tidak bisa diajak “berkompromi” lagi. Maka di sinilah perlunya untuk memulai gerakan pembendungan degradasi moral tersebut melalui pemahaman aqidah Islam yang benar menurut tradisi pemikiran ahlus sunnah wal jamaah. Dengan kata lain, pemuda Islam itu bukan hanya sekelompok insan yang meneriakkan slogan-slogan “pembendungan degradasi moral”, namun pemuda harus lebih dalam tenggelam pada perjuangan aqidah Islam sebagai cara yang prinsipil untuk menangani masalah kerusakan moral, atau setidaknya, ia sadar bahwa berteriak tentang “penegakkan Islam” di bumi adalah lebih penting, dibanding jika hanya berteriak “marilah kawan-kawan, kita perkuat national character building kita dengan semangat nasionalisme!!” yang nampak emosional, persuasif dan retorik namun terefleksikan dengan omong kosong belaka.

 Apa yang harus dilakukan pemuda Islam? Dari penjelasan di atas, telah jelas bahwa poin terpenting dan utama yang harus diperbuat untuk memposisikan diri di tengah masyarakat yang sebagian besar collapse akhlaknya adalah dakwah aqidah. Inilah yang dicontohkan Rasulullah dalam membina ummat-nya, dan inilah yang harus diamalkan pemuda Islam. Mereka yang memiliki visi mengadopsi dan belajar dari sejarah kenabian untuk dijadikan pedoman langkah-langkahnya di zaman ini, maka tidak berlebihan jika kita mengatakan pemuda Islam adalah golongan yang sadar sejarah. Secara aplikatif, pemuda Islam adalah bagian yang unggul dan produktif secara usia. Mereka adalah golongan yang relatif mampu menghidupkan pengajian-pengajian aqidah dalam masyarakat. Ini tidak mudah, tantangan selalu dihadapi, karena dakwah aqidah yang sesungguhnya pasti akan bertentangan dengan “apa yang diyakini masyarakat.” Berkaitan dengan ini, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani menuturkan:

Rasulullah Saw adalah suri teladan yang baik dalam memberikan jalan keluar bagi semua problem umat Islam di dunia modern sekarang ini pada setiap waktu dan kondisi. Hal ini yang mengharuskan kita memulai dengan apa-apa yang telah dimulai oleh Nabi kita, yaitu pertama-tama memperbaiki apa-apa yang telah rusak dari aqidah kaum muslimin. Dan yang kedua adalah ibadah mereka. Serta yang ketiga adalah akhlak mereka…. sesungguhnya urusannya tidaklah mudah sebagaimana yang disangka oleh sebagian mereka… dan di antara mayoritas kaum muslimin pada masa ini yang mengucapkan kalimat [thayyibah] (laa ilaaha illallah –pen) tetapi tidak memahami maknanya secara benar.[4]

Demikian, sudah saatnya, pemuda Islam memberi perhatian lebih terhadap dakwah aqidah ini jika menginginkan sebuah tatanan masyarakat yang unggul akhlaknya, atau dalam bahasa yang populer “masyarakat yang berakhlak mulia.” Sebuah masyarakat yang didiami oleh pemuda Islam, sebagai “elemen tengah” telah memiliki sebuah kunci untuk membentangkan sebuah peradaban. Maka tidak heran jika Rasulullah Saw menyebut Ali bin Abi Tholib, seorang pemuda cerdas saat itu yang menjadi salah satu Khulafaur Rasyidin yang terkenal  itu, sebagai “kuncinya ilmu.” Kembali kita bertanya, adakah suatu peradaban yang unggul akhlak-moralnya tanpa disertai pemuda dan aqidah Islam yang kuat? Tidak terlalu berlebihan jika kita mengatakan, sepertinya mustahil mengawang-awang atau membolak-balik buku sejarah untuk menemukan sebuah peradaban yang lebih baik akhlak dan moralnya tanpa disertai dengan aqidah Islam yang mapan. Wallahu’alam bishawab.[]

Catatan Kaki:
  1. Peserta Islamic Article Competition (IAC), Mahasiswa UNY jurusan Pendidikan Sejarah (2009) NIM: 09406241042, pemerhati dunia dakwah, aktifis dan pegiat kegiatan dakwah remaja masjid.
  2. Sayyid Quthb, 2009, Ma’alim Fi Ath-Thariq, a.b. Mahmud Harun Muchtarom, Yogyakarta: Uswah, hlm. 34.
  3. Sekuleristik, atau sekulerisme secara umum merupakan salah satu “virus” yang menyerang Islam (secara historis maupun normatif) yang hakikatnya, semua muslim sejati “berhak” melindungi dirinya dari virus ini. Seluruh ulama Islam yang tahu tentang paham pemisahan agama dengan urusan-urusan publik ini, sadar tentang bahayanya yang terus menggerogoti Islam. M. Natsir (dan kawan-kawannya), seorang ulama dan politikus pada masa Orde Lama, telah menyadari tentang sekulerisme tersebut, di saat kebanyakan ulama ortodoks masih belum sadar terhadap paham ini. Padahal paham ini sudah dihembuskan sejak kolonialisme modern bercokol di negeri-negeri Timur. Lihat Thohir Luth, 2005 (cetakan kedua), M. Natsir: Dakwah dan Pemikirannya, Jakarta: Gema Insani, hlm. 115.    
  4. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, 2001, “At-Tauhid Awwalan Ya Du’atsal Islam”, a.b. Fariq Gasim Anuz, Tauhid: Prioritas Pertama dan Utama, Jakarta: Darul Haq, hlm. 9 dan 32.

Referensi
  • Al-Qur’an Al-Karim
  • Sayyid Quthb, 2009, Ma’alim Fi Ath-Thariq, a.b. Mahmud Harun Muchtarom, Yogyakarta: Uswah.
  • Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, 2001, “At-Tauhid Awwalan Ya Du’atsal Islam”, a.b. Fariq Gasim Anuz, Tauhid: Prioritas Pertama dan Utama, Jakarta: Darul Haq.
  • Thohir Luth, 2005 (cetakan kedua), M. Natsir: Dakwah dan Pemikirannya, Jakarta: Gema Insani.    


   

1 komentar so far

Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kita perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu


EmoticonEmoticon

Laman