Kamis, 24 Mei 2012

PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM SERTA PENDIDIKAN KARAKTER PEMUDA ISLAM DAN IMPLIKASINYA TERHADAP MORAL

Tags

AGAMA ISLAM DAN DEGRADASI MORAL

Apakah agama tidak lagi mampu membentengi laju degradasi moral, sehingga setiap hari kita dijejali dengan perilaku amoral di tengah masyarakat? Menjadi menarik ketika Prof Duski Samad menyatakan bahwa perkembangan sosial kemasyarakatan di Ranah Minang, seperti budaya dan agama cenderung mengarah ke sisi gelap, (Haluan, 26/01/2012).

 Hal ini mengindikasikan bahwa keinginan untuk menapaki sejarah gemilang adat filosofi adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah (ABK-SBK) masih sebatas utopia, sebatas bualan yang tidak pernah membumi. Secara filosofi ABS-SBK baik, akan tetapi tatkala bersentuhan dengan realitas aplikasi, ternyata belum berjalan dengan baik, sehingga ABS SBK sebatas wacana yang ditinggal merana di ranah realita.
         
Jika halnya demikian, maka wajar laju dan daya gebrak dari ABS-SBK menjadi melempem. Bukti dari kemandulan dari ABS-SBK adalah makin meningkatnya penyakit sosial seperti yang disitir oleh Prof Duski Samad tersebut, yaitu tawuran, seks bebas, narkoba, gaya hidup semaunya, bahkan baru-baru ini tertangkap sepasang kekasih, yang sedang mesum di dalam mobil, ironinya ternyata pelaku perempuannya adalah salah satu mahasiswi perguruan tinggi umum negeri terkenal di kota Padang. Ini adalah fakta dan realitas dari tidak diaplikasinya dan berjalannya konsep ABS-SBK di Ranah Minang ini.

Seharusnya berbagai perilaku amoral yang terjadi di Ranah Minang ini menjadi cambukan dan tamparan keras bagi pemuka, ninik mamak dan intelektual muda yang disini adalah pmuda Islam Ranah Minang untuk bergerak cepat bagaimana mencari solusi yang tepat agar berbagai degradasi moral dapat dicegah dan ditangulangi. Jika ABS-SBK tidak berjalan dengan baik, tidak membumi dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, maka yang terjadi adalah tidak terkendalinya perilaku masyarakat Minangkabau, seperti kerusakan akhlak, dan degradasi moral. Seharusnya penerapan ABS-SBK menjadi prioritas, jika ABS-SBK diyakini mampu membawa perubahan yang lebih baik terhadap berbagai degradasi moral yang makin hari makin bertambah intensitasnya. Menerapkan ABS SBK menjadi kian penting tatkala ABS SBK diyakini masih mempunyai taji untuk diterapkan dan diejawantahkan di ranah kehidupan sosial kemasyarakatan di Ranah Minang ini. Tetapi jika ABS SBK masih sebatas wacana, symposium, seminar dan diskusi-diskusi massif, maka hal itu tidak akan membawa perubahan secara nyata dalam hal perubahan sikap dan perilaku generasi dan masyarakat Minangkabau. Maka dalam hal ini ABS SBK hanya sebuah mimpi yang tak pernah merealitas di kehidupan keseharian. Apakah mimpi-mimpi dan harapan bahwa ABS SBK masih layak dijadikan filosofi kehidupan di Minangkabau? Kenapa perlu juga kita bertanya sebab, ketika ABS SBK di gembar–gemborkan perubahan sampai saat ini belum juga dapat dinikmati oleh masyarakat Minangkabau, kalaupun dinikmati hal itu hanya sebatas wacana para intelektual di kampus-kampus dan berbagai forum ilmiah. Kalaupun ada yang beranggapan bahwa ABS SBK tidak mangkus, tidak mempunyai daya untuk menahan laju amoralitas, maka anggapan itu barangkali bukan pada tataran filosofinya, akan tetapi dalam hal aplikasi yang belum terealisasi dengan baik.  Jika ABS SBK terealisasi dengan baik dan nyata dalam kehidupan masyarakat Minangkabau, maka hal ini perlu dukungan dan kerja keras berbagai pihak, seperti ninik mamak, bundo kandung, dan alim ulama, pemerintah dan para intelek tual muda yaitu pemuda Islam untuk meru¬muskan kembali konsep ABS SBK dalam bentuk yang konkrit dan dapat diaplikasikan secara nyata dalam kehidupan masyarakat Minangkabau.

 Patut juga dipertanyakan, apakah ninik mamak dan intelektual Ranah ini yang belum serius mensosialisasikan konsep ABS SBK ditengah masyarakat, sehingga efek dari Filosofi ABS SBK belum terasa nyata menjadi pendobrak laju amoralitas di Ranah Minang ini? Jika letak permasalahanya pada tataran aplikasi, maka seharusnya perlu dicari konsep yang nyata, bagaimana penerapan ABS SBK dalam kehidupan masyarakat, apa hukumannya jika tidak melaksanakan, apa denda jika melanggar aturannya, seharusnya ada konsep yang jelas, sosialisasi yang lebih masif. Kalaupun sudah tertata dan terkonsep dengan baik dan rapi, maka perlu dicarai dimana kelemahan dan kekurangan sehingga ABS SBK tidak bejalan seba-gaimana mestinya.

         Akan tetapi, jika letak permasalahannya ada di pembinaan keagamaan, maka pembinaan keagamaan perlu dievaluasi kembali. Sehingga pembelajaran, pembinaan keagamaan benar-benar mampu mengendalikan perilaku amoral. Kita patut kembali merujuk ke belakang, lima belas dan dua puluh tahun ke belakang. Bagaimana keadaan pendidikan di Ranah Minang? Apakah telah berusaha membina perilaku dengan baik, atau malah meminggirkan pendidikan akhlak, dan cenderung mengutamakan materialisme belaka? Sebagaimana diketahui bahwa perilaku masyarakat hari ini adalah hasil pendidikan masa lalu.

Barangkali lima belas tahun atau dua puluh tahun kebelakang pendidikan keagamaan di Ranah Minang belum menjadi bagian penting dan mungkin masih sekedarnya sehingga pemahaman keagamaan tidak menjiwai dalam setiap individu masyarakat. Jika anggapan ini benar, bahwa perilaku masyarakat yang cenderung mengalami degradasi moral adalah akibat pendidikan masa lalu, maka hal ini hendaknya menjadi pelajaran bersama untuk lebih memperhatikan pendidikan yang mengutamakan pembentukan akhlak mulia. Kemudian, bagaimana sikap kita sebagai pemuda Islam yang merupakan Agen of Change tatkala mencermati hal tersebut? Langkah yang perlu dilakukan adalah mengupayakan kembali pembinaan akhlak di rumah sekolah, dan masyarakat. Pembinaan akhlak di berbagai kehidupan akan mampu memberi efek pencucian jiwa yang terlanjur beku oleh perilaku yang tertuju kepada perusakan ranah moralitas dan akhlak. Pembinaan akhlak di rumah perlu kembali dievaluasi dan dintensifkan, hal ini mengingat pendidikan akhlak di rumah dan peran orang tua sangat penting. Karena anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasranai ataupun Majusi. Hal ini juga telah diingatkan oleh Nabi Muammahd SAW sebagai berikut, “Tidaklah seorang anak itu dilahirkan, kecuali ia dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasranai ataupun Majusi.” (HR. Bukhari).

Dari hadis ini dapat dipahami bahwa sebenarnya peran dari orang tua sangat penting dalam membentuk akhlak. Ketika pendidikan, pembentukan kerpibadian diabaikan, maka dapat diprediksi perilaku anak yang tidak mendapatkan pendidikan agama yang kuat di keluarganya akan cenderung bersikap amoral, berbuat dan bertingkah laku menyimpang dari nilai-nilai agama. Jika, pembinaan keagamaan di rumah tangga belum maksimal, maka mulai saat ini kita sebagai pemuda Islam bangsa ini  hendaknya bersepakat untuk meneguhkan dan memulai kembali pembinaan keagamaan masyarakat Minang secara maksimal dan berke-lanjutan. Jika hal ini dapat dilakukan secara intens di Ranah Minang ini, maka dimungkinkan lambat laun degradasi moral dapat kita kikis dan kita cegah. Tidak ada kata terlambat untuk memulai yang lebih baik. Ketika disetiap keluarga telah mapan dan telah menerapkan pembinaan agama yang diberikan kaum pemuda Islam dengan baik, maka diharapkan terjadi perubahan perilaku di tengah masyarakat.

Dalam upaya peningkatan kembali pembinaan dan pembiasaan perilaku agama di rumah tangga kita perlu mencontoh bagimana Lukman mendidik dan membina anak-anaknya dalam hal keagamaan. Lukman mendidik rasa agama kepada anaknya dapat dipahami dari firman Allah sebagai berikut. “Hai anakku, dirikanlah salat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).”(QS. Lukman: 17). Jika mencontoh bagaimana Lukman menanamkan rasa keagamaan kepada anak-anaknya, maka disini diperlukan juga langkah tegas dan nyata yang harus dilakukan oleh para orang tua dewasa ini adalah bagaimana menanamkan rasa ketuhanan kepada anak. Jika hal ini telah dilakukan dengan baik oleh para orang tua, maka degradasi moral dapat dicegah sedini mungkin, bahkan ateisme dapat dicegah.

Azyumardi Azra, yang pernah menyatakan bahwa orang Minangkabau terjebak dalam materialisme, sehingga mereka bangga menyekolahkan anak-anak mereka di perguruan tinggi umum,dengan harapan akan lebih membawa harapan lebih baik, jika dibandingkan sekolah dan kuliah di sekolah agama dan perguruan tinggi agama. Tidak heran, jika pendidikan yang berabu agam di Ranah Minang mengalami pasang surut, kalau tidak dkatakan jalan di tempat. Atau barangkali, Ranah Minang telah mendapatkan karma dari perilaku tidak adil terhadap pendidikan agama atau pendidikan yang berbau agama, mungkin di satu sisi pendidikan non agama menjadi idola dan menjanjikan di sisi duniawi, akan tetapi di sisi lain, ada hal yang dilupakan, yaitu pendidikan akhlak terabaikan, pembinaan akhlak menjadi terdangkalkan. Maka tidak heran jika hari ini peristiwa seks bebas, seks di luar nikah, mesum terus terjadi di Ranah Minang ini.

Untuk itu perlu kiranya kita kembali menapaki dan meyakini bahwa pendidikan keagamaan itu penting, pembinaan keagamaan di rumah, sekolah dan masyarakat juga penting dalam upaya mencegah degradasi moral di Ranah Minang. Kita hendaknya menyadari dan merenungi firman Allah sebagai berikut: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan ”(QS. At-Tahrim: 6) hendaknya kita perteguh keimanan, perteguh kembali penjagaan, pemeliharaan terhadap keluarga  kita agar terbebas dari api neraka, baik neraka dunia maupun neraka akherat. Hal ini tentunya makin menyadarkan kita bahwa agama akan mampu mendobrak degradasi moral di Ranah Minangkabau ini, dan menggantinya dengan akhlak mulia.

10 Aspek Degradasi Moral dan 11 Prinsip Pendidikan Karakter
         
Selain pembaharuan Pendidikan Agama Islam yang nyata, juga sangat diperlukan pembaharuan pendidikan karakter yang harus dimiliki oleh seluruh intelektual muda yakni  khususnya pemuda Islam. Mengapa saya katakan demikian karena pemuda Islam selain aqidahnya saja yang  harus baik tetapi juga harus memperbaiki akhlaq atau perilakunya melalui pendidikan karakter. Menurut Thomas Lickona (Sutawi, 2010), ada 10 aspek degradasi moral yang melanda suatu negara yang merupakan tanda-tanda kehancuran suatu bangsa.

Kesepuluh tanda tersebut adalah:
1.    meningkatnya kekerasan pada remaja
2.    penggunaan kata-kata yang memburuk
3.    pengaruh peer group (rekan kelompok) yang kuat dalam tindak kekerasan
4.    meningkatnya penggunaan narkoba, alkohol dan seks bebas
5.    kaburnya batasan moral baik-buruk,
6.    menurunnya etos kerja
7.    rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru
8.    rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara
9.    membudayanya ketidakjujuran
10.    adanya saling curiga dan kebencian di antara sesama.
      
Meski dengan intensitas yang berbeda-beda, masing-masing dari  kesepuluh tanda tersebut tampaknya sedang menghinggapi negeri ini. Dari kesepuluh tanda-tanda tersebut, saya melihat aspek yang kesembilan yakni membudayanya ketidakjujuran tampaknya  menjadi persoalan serius di negeri ini. Kejujuran seolah-olah telah manjadi barang langka.
        
Atas dasar  itulah maka  pendidikan karakter menjadi amat penting. Pendidikan karakter menjadi tumpuan harapan bagi terselamatkanya bangsa dan negeri ini dari jurang kehancuran yang lebih dalam.
       
Meski hingga saat ini belum ada rumusan tunggal tentang pendidikan karakter yang efektif, tetapi barangkali tidak ada salahnya jika kita mengikuti nasihat  dari Character Education Partnership bahwa untuk dapat mengimplementasikan program pendidikan karakter yang efektif, seyogyanya memenuhi beberapa prinsip berikut ini:

  1. Komunitas sekolah mengembangkan dan meningkatkan nilai-nilai inti etika dan kinerja sebagai landasan karakter yang baik.
  2. Sekolah berusaha mendefinisikan “karakter” secara komprehensif,  di dalamnya  mencakup berpikir (thinking), merasa (feeling), dan melakukan (doing).
  3. Sekolah menggunakan pendekatan yang komprehensif, intensif, dan proaktif dalam  pengembangan karakter.
  4. Sekolah menciptakan sebuah komunitas yang memiliki kepedulian tinggi.(caring)
  5. Sekolah menyediakan kesempatan yang luas bagi para siswanya untuk melakukan berbagai tindakan moral (moral action).
  6. Sekolah menyediakan kurikulum akademik yang bermakna dan menantang, dapat menghargai dan menghormati seluruh  peserta didik, mengembangkan karakter mereka, dan berusaha membantu mereka untuk meraih berbagai kesuksesan.
  7. Sekolah mendorong siswa untuk memiliki motivasi diri  yang kuat
  8. Staf sekolah ( kepala sekolah, guru dan TU) adalah sebuah komunitas belajar etis yang senantiasa  berbagi tanggung jawab dan mematuhi nilai-nilai inti yang telah disepakati. Mereka menjadi  sosok teladan bagi para siswa.
  9. Sekolah mendorong kepemimpinan bersama yang memberikan dukungan penuh terhadap gagasan  pendidikan karakter dalam jangka panjang.
  10. Sekolah melibatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam upaya pembangunan karakter
  11. Secara teratur, sekolah melakukan asesmen  terhadap budaya dan iklim sekolah, keberfungsian para staf sebagai pendidik karakter di sekolah, dan sejauh mana siswa  dapat mewujudkan karakter yang baik dalam kehidupan sehari-hari.
  12.         
Berkaitan dengan pengembangan dan peningkatan nilai-nilai inti etika di sekolah, tentu saya gembira jika sekolah-sekolah kita dapat menempatkan kejujuran sebagai prioritas utama dalam pengembangan program pendidikan karakter di sekolah. Gordon Allport menyebutkan bahwa kejujuran adalah mahkota tertinggi dari sistem kepribadian individu. Jadi. sehebat apapun kepribadian seseorang jika di dalamnya tidak ada kejujuran, maka tetap saja  dia hidup tanpa mahkota, bahkan mungkin justru dia  bisa menjadi manusia yang berbahaya dan membahayakan. Maka dari itu bagi seluruh kaum pemuda Islam diseluruh pelosok negeri ini sekali lkagi peran, aksi dan kontribusi kita disini sangat berpenagruh dalam mewujudakn negara Indonesia tercinta ini sebagai negara yang bermoral dan berkarakter jujur, tegas, pemberani layaknya sosok kholifah Umar bin Khattab.

Sumber Referensi:
Departemen Agama RI. 98. Al Qur’an dan Terjemahannya. Semarang: Asy-Syifa’
Syaikh Yusuf An-Nabhani. 2006. Ringkasan Riyadhush Shalihin. Bandung: Irsyad Baitus Salam
http://harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=12946:agama-islam-dan-degradasi-moral&catid=11:opini&Itemid=83




Biodata Diri:
Nama: Fahmi Nediyansyah
Tempat, tanggal lahir: Pekalongan, 23 Maret 1993
Alamat asal: Jl. Veteran Gg. IIA/14, Kraton Lor, Pekalongan Utara, Pekalongan
Agama: Islam
Pekerjaan:  Mahasiswa UNY, Pend. Administrasi Perkantoran FIS UNY
 Cp:  085216618279 /  085729342698
Prestasi yang pernah diraih:
LITM Bidang Makanan Tradisional Juara 2 Tingkat Provinsi DIY 2011
LITM Bidang Pariwisata Juara 2 Tingkat Provinsi DIY 2011
Penerima penghargaan PRESMA ( Prestasi Mahasiswa ) di Bidang Penalaran dan Pengabdian Masyarakat UNY 2012


EmoticonEmoticon

Laman